Jelang deadline day pendaftaran pemain di putaran pertama Go-Jek Traveloka Liga 1 2017, beberapa klub akhirnya memperkenalkan marquee player mereka. Dimulai dari PS TNI hingga teranyar isu pergerakan transfer Barito Putera. Sayangnya, tak sedikit nada miring yang menyertai kehadiran sang pemain berlabel istimewa tersebut.
Pertanyaan mulai dari esensi marquee hingga sulitnya mencari informasi pemain yang bersangkutan berseliweran di dunia maya belakangan ini, meski terkadang Wikipedia akhirnya jadi referensi utama. Benarkah mereka marquee player? Atau hanya representasi adu gengsi klub?
Jika merujuk pada draf regulasi PSSI yang sudah direvisi, ke-14 marquee player Liga 1 sejauh ini memang bisa dikatakan masuk dalam kriteria. Marquee player yang dimaksud PSSI adalah pemain yang masuk skuat tim nasional dalam tiga edisi Piala Dunia terakhir (2006, 2010, dan 2014) atau dalam delapan tahun terakhir memperkuat klub dari liga top Eropa, meliputi: Liga Primer Inggris, La Liga, Bundesliga 1, Serie A, Eredivisie, Ligue 1, Turki Superlig, dan Liga Primeira Portugal.
Nama pertama yang jadi pemicu regulasi marquee player di Liga 1, Essien, tentu sangat memenuhi kriteria tersebut. Pun halnya dengan Peter Odemwingie. Tak heran jika sorotan dunia langsung tertuju pada sepak bola Indonesia.
Mulai dari sentimen positif, hingga meme muka sedih Odemwingie saat diperkenalkan Madura United, diterima Liga 1. Satu yang pasti, baik Essien dan Odemwingie merupakan dua nama yang sudah fasih di luar kepala pencinta sepak bola Indonesia. Pamor liga yang dimulai pertengahan April 2017 lalu akhirnya mulai terangkat, berbanding lurus dengan salah satu tujuan PSSI memperkenalkan marquee player.
Ekspektasi yang mesti direvisi
Imbas dari kedatangan keduanya, plus Carlton Cole ke Persib, membuat berita transfer sepak bola Indonesia jadi sangat amat menarik untuk diikuti. Nama-nama beken mulai dari Douglas Maicon, Diego Forlan, Marouane Chamakh, Didier Drogba, Robin van Persie, hingga si bengal Emmanuel Adebayor, mulai dikaitkan dengan kepindahan ke klub peserta Liga 1.
Wajar memang mengingat fenomena marquee player yang dimulai pada Major League Soccer (MLS) di Amerika Serikat lewat istilah designated player, identik dengan pemain kelas dunia.
Dimulai dengan David Beckham, MLS akhirnya jadi salah satu destinasi menarik bagi pemain top yang masanya beringsut habis. Thierry Henry, Drogba, Steven Gerrard, Frank Lampard, sampai Marco Di Vaio, merupakan deretan alumni kasta tertinggi sepak bola di AS tersebut.
Contoh terdekat ada A-League Australia dan Indian Super League (ISL). Nama liga terakhir bahkan menyedot perhatian publik sepak bola dunia berkat kesuksesan menggaet para legenda yang masih aktif bermain, seperti Forlan, Florent Malouda, Lucio, John Arne Riise, Helder Postiga, serta tak ketinggalan dua pemain yang kini hijrah ke Liga 1, Momo Sissoko dan Didier Zokora.
Akan tetapi yang terjadi belakangan di Liga 1 malah membuat ekspektasi pencinta sepak bola nasional yang tadinya mulai tinggi, harus sejenak direvisi. Geliat transfer pemain berlabel top selanjutnya tak sedikit membuat beberapa pihak mengernyitkan dahi.
Shane Smeltz dikenal sebagai penyerang ulung timnas Selandia Baru dan manajemen Borneo FC pasti punya alasan kuat merekrut pencetak gol ke gawang Italia di Piala Dunia 2010 lalu itu. Tapi, butuh waktu sedikit lebih lama untuk menelaah kiprahnya selama ini.
Mungkin sama halnya dengan kehadiran Juan Pablo Pino di Arema FC, Jose Coelho di Persela Lamongan, sampai Anmar Almubaraki, marquee player Persiba Balikpapan yang tak lolos seleksi Persija Jakarta. Atau bahkan Persija lewat Bruno da Silva Lopes, yang mendapat predikat tersebut berkat sempat dipinjamkan ke klub Portugal, Estoril. ‘Kloter’ ini sedikit diwarnai dengan kabar gembira kedatangan peraih titel Liga Champions 2005 bersama Liverpool, Momo Sissoko, yang resmi berkostum Mitra Kukar.
Duo Portugal, Elio Bruno Teixeira Martins di PS TNI dan Paulo Sergio Moriera Goncalves pada kubu Bhayangkara FC, menjadi rombongan selanjutnya bersama Nick van der Velden (Bali United) dan Tijani Belaid (Sriwijaya FC), serta isu merapatnya Douglas Packer ke Barito Putera. Satu nama cukup tenar adalah Zokora, yang menerima pinangan Semen Padang.
Karena pamor bukanlah segalanya
Lewat fenomena tersebut, timbul opini bahwa beberapa klub mengambil celah untuk tetap bisa mendatangkan pemain asing tambahan, lewat label marquee player. Sementara ada yang pro dan kontra, pembenaran atas status tersebut wajib dilakukan mengingat tak seperti liga lainnya, kompetisi di Indonesia terbilang kejam dalam hal depak-mendepak pemain yang dianggap kurang berkontribusi.
Pada akhirnya, tujuan untuk menaikkan pamor Liga 1 bukanlah sesuatu yang mutlak terjadi. Terpenting mutu kompetisi harus terus naik dan para marquee player bisa berkontribusi tak hanya bagi klub, tapi juga rekan setimnya.
Pasalnya, sepak bola kadung jadi olahraga rakyat di Indonesia. Tak sulit memopulerkan olahraga si kulit bundar ke seantero daerah di Indonesia. Di luar negeri pun, antusiasme suporter tanah air tak diragukan lagi.
Hingga memasuki pekan ketiga, performa marquee player di Liga 1 masih sangat beragam. Mulai dari gol yang sudah disumbangkan Odemwingie dan Essien, sampai debut identik yang berujung kartu kuning, oleh Sissoko dan Zokora. Jelas, bahwa label bintang tertinggi klub, tak selalu jaminan kualitas, terlebih sosok-sosok beken ini sudah jauh melewati masa kejayaannya atau dalam kata lain, mulai memasuki usia pensiun.
Malah, pemain yang sebelumnya tak didaftarkan sebagai marquee player, Wiljan Pluim, yang menjelma jadi integral penting permainan PSM Makassar. Eks Vitesse Arnhem yang telah membela Juku Eja sejak Torabika Soccer Championship (TSC) 2016 ini jadi pendikte permainan kelas wahid di Liga 1, ditopang dengan postur tubuhnya yang menjulang.
Satu lagi yang jadi modal berharga marquee player yang dirasa tak terlalu marquee amat adalah porsi sorotan media yang terlalu menohok kepada mereka. Ini bisa jadi keuntungan untuk fokus berlatih dan memberikan yang terbaik untuk tim.
Jadi, sama saja dong, antara marquee player atau pemain asing non-marquee? Tanpa mendiskreditkan kehadiran mereka, pertanyaan semacam ini jelas masih amat bisa diperdebatkan. Namun, komitmen selalu seratus persen di lapangan dan perangai baik, merupakan hal yang paling mendesak dibutuhkan liga sepak bola Indonesia saat ini, apapun statusnya dalam tim, dari pemain U-23, pemain lokal senior, pemain asing, hingga marquee player.
Author: Perdana Nugroho
Penulis bisa ditemui di akun Twitter @harnugroho