Kolom Nasional

Menanti Janji PSSI tentang Liga 1 dan Beberapa Catatan Lain

Ajang Piala Presiden 2017 baru saja selesai dengan tampilnya Arema Cronus sebagai kampiun setelah mengalahkan PBFC. Di balik gempita yang dihadirkan, publik sepak bola tanah tentu belum puas jika hanya disuguhi kompetisi pra-musim. Apalagi, PSSI baru pimpinan Edy Rahmayadi telah mengundur kepastian bergulirnya kompetisi Liga 1 yang sejatinya akan dimulai pada 26 Maret 2017.

Selain itu, di balik Piala Presiden, publik disuguhi oleh beberapa permasalahan yang jika tidak diselesaikan (serta dijelaskan) akan mencoreng kepengurusan jenderal yang juga memimpin Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) ini.

Pertama, adanya sejumlah nama di formatur PSSI yang merangkap jabatan. Seperti yang telah ditulis Ganesh Alyosha di Football Tribe Indonesia (20/2), adanya nama-nama yang juga memiliki jabatan di klub sepak bola rentan menciptakan adanya konflik kepentingan.

Bagaimana mungkin, Iwan Budianto yang merupakan CEO Arema Cronus memiliki jabatan di PSSI? Iwan diberi jabatan sebagai Kepala Staf Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Indonesia (Kastaftum PSSI). Wewenang dan kewajibannya juga tidak jelas karena di situs resmi PSSI sendiri tidak ada keterangan mengenai hal itu. Transparansi kepada publik seharusnya bukan hal yang sulit dilakukan karena kini teknologi informasi telah begitu canggih.

Selain Iwan, ada nama Yoyok Sukowi (CEO PSIS) dan Pieter Tanuri (Presiden Direktur Bali United) yang juga memiliki jabatan di klub dan PSSI.

Edy juga membuat suatu blunder saat melantik wasit-wasit yang akan memimpin Piala Presiden 2017. Saat melantik 40 wasit dan asisten pada 2 Februari lalu, Edy juga menyinggung soal praktik menyuap wasit yang menurutnya harus dihentikan. Tetapi, ia kemudian menyebut Iwan pernah melakukan praktik kotor tersebut.

Lucunya, Iwan yang berada dalam tudingan justru menjawabnya dengan santai, serta mengakui bahwa memang ia pernah melakukannya. Seperti yang dilansir Republika (7/2), Iwan menjawab,

“Dulu. Insya Allah sekarang enggak, Pak.”

Saya tidak tahu apakah itu merupakan bentuk Freudian slip, sebagai kelakar yang ternyata kebablasan, tetapi ini seharusnya membuat kita prihatin dan menuntut jawaban. Praktik suap, entah itu dilakukan di masa lalu atau saat ini, harus ditindak tegas. Tetap apa yang terjadi? Pelakunya justru menjabat posisi strategis di badan tertinggi sepak bola tanah air.

Dialog di atas dianggap enteng seperti persoalan sepele. Saya membandingkannya dengan suatu peristiwa di sekolah dasar. Guru yang mengajar memberi petuah kepada anak didiknya. “Anak-anak, sudah gede tidak boleh mengompol, ya. Sebelum tidur pipis dulu, cuci muka, baca doa, baru kalian boleh tidur. Budi, kamu saya dengar masih mengompol, ya? Malu, sudah gede.”

Kemudian Budi menjawab, “Insya Allah sudah enggak, Bu Guru. Terakhir mengompol sebulan yang lalu.” Anda tentu memaklumi jawaban Budi, tetapi jengkel melihat dialog antara Edy dengan Iwan yang bahkan terjadi di depan awak media yang meliput.

PSSI pimpinan Edy menganggap suap sebagai persoalan sepele di saat publik telah lama menantikan adanya struktur sepak bola yang transparan, akuntabel, dan profesional.

Jika melihat jawaban dari Iwan saat ‘dituduh’ Edy, serta bagaimana PSSI era baru tidak menjelaskan persoalan ini, PSSI memang belum bertindak tegas demi profesionalitas sepak bola nasional. Jika memang terbukti telah melakukan suap, orang seperti Iwan harus minggat jauh-jauh dari sepak bola dan diproses sesuai hukum.

Selain itu, dari penyelenggaraan Piala Presiden lalu, kita bisa melihat bagaimana PSSI tidak bisa bertindak tegas dengan stasiun TV yang mendapatkan hak siar. Budi Windekind, penulis Football Tribe Indonesia yang juga penggemar Persebaya, menyamakan stasiun-stasiun televisi yang ada telah bertindak sebagaimana Firaun yang seenak jidat mengubah jadwal pertandingan.

Bayangkan, pesepak bola kita bermain di jam 10 malam (bahkan lebih), apa tidak gila? Olahraga yang merupakan sarana mengolah kesehatan justru merusak kesehatan itu sendiri. Jam biologis manusia sudah teratur: malam adalah waktu beristirahat. Yang terjadi, karena kalah berunding dengan pihak TV, pesepak bola Indonesia justru melanggar jam biologis tersebut.

Melihat animo yang luar biasa besar, seharusnya PSSI bisa bersikap tegas kepada stasiun TV. Pertandingan, jika tidak ada peristiwa force majeur, harus terlaksana sesuai jadwal yang telah ditetapkan.

Saat memberi kepastian soal mundurnya liga, Edy menyatakan bahwa itu karena dirinya ingin para peserta liga mencapai persiapan yang matang. Seperti yang diberitakan Superball.id (21/2), Edy berkata, “Saya ingin melihat terlebih dahulu persiapan tim-tim menyambut Liga 1. Saya ingin benar-benar klub di Indonesia siap karena saya ingin kompetisi tersebut berkualitas bukan berkuantitas.”

Untuk klub-klub dengan finansial baik seperti Persib Bandung, hal ini bukan kendala berarti. Skuat Maung Bandung diberitakan berlibur selama empat hari usai Piala Presiden, untuk kemudian melangsungkan tur ke Purwokerto. Begitu pun dengan Semen Padang. Ketidakjelasan kompetisi membuat para pemain memilih berlibur sementara beberapa anggota manajemen kembali bekerja karena mereka diberkahi status sebagai karyawan PT. Semen Padang.

Bagaimana dengan klub-klub yang tidak memiliki status seperti Persib atau Semen Padang? Untuk menjalankan aktivitas klub, tentu membutuhkan biaya. Jangankan untuk melakukan tur seperti Persib, sasana berlatih dan stadion pun membutuhkan biaya perawatan.

Jika ketidakjelasan ini dibiarkan terus berlarut, kesiapan justru tak mereka miliki. Hal ini akan berimbas pada mangkraknya kerjasama dengan apparel dan sponsor, terlunta-luntanya kontrak pemain, dan kacaunya rencana pembiayaan (budgeting plan) klub dalam mengarungi kompetisi.

Hari ini, Senin 13 Maret 2017, melalui pernyataan anggota Exco Yunus Nusi, PSSI telah memutuskan akan menggelar Liga 1 pada 15 April. Sementara Liga 2 akan melangsungkan sepak mula pada 17-18 April.

Tetapi hal itu tidak keluar langsung sebagai pernyataan resmi PSSI. Laman berita di situs resmi PSSI, pssi.org, belum mencantumkan berita mengenai kick-off perdana Liga 1 yang digadang-gadang akan menjadi kompetisi sepak bola profesional. Yunus pun, seperti yang dilaporkan Detik (13/3) berkata bahwa ini bukan keputusan final karena PSSI masih akan melakukan sosialisasi dengan seluruh klub yang ada.

Belum setahun, roda kepengurusannya telah menciptakan sejumlah masalah dan pertanyaan penting. Sebagai penggemar sepak bola, tentu kita yang paling dirugikan (selain para pemain dan pelatih). Untuk Anda yang masih skeptis terhadap sepak bola nasional (seperti saya), jadikan janji PSSI ini sebagai bahan pertaruhan dengan kawan-kawan. Karena PSSI sendiri menganggap praktik suap sebagai peristiwa biasa.

Menurut Anda, apakah jadwal Liga 1 akan kembali molor? Menurut saya, sih, iya.

Tuntasi janjimu, PSSI!

Author: Fajar Martha
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com