Sejak PSSI mengesahkan regulasi pemain asing dengan komposisi 2+1(+1), pembahasan mengenai marquee player mendadak menjadi viral. Penerapan perekrutan marquee player sebenarnya bukan isu baru. Major League Soccer (MLS) dan A-League di Australia sudah menerapkan program perekrutan marquee player untuk menaikkan animo penonton agar datang ke stadion.
Di Indonesia, sejujurnya saja, kita tidak butuh marquee player untuk menaikkan animo penonton datang ke stadion. Di awal medio 2000-an saja, puluhan ribu orang rela memanjat pohon dan pagar luar stadion untuk bisa masuk menonton ke dalam stadion. Jadi, sebenarnya apa keuntungan marquee player bagi Indonesia?
Sebelum berbicara keuntungannya, kita perlu menelisik lebih jauh bagaimana penerapan rekrutmen marquee player di beberapa kompetisi sepak bola negara-negara selain Indonesia. Untuk contoh mudahnya dan tidak terlalu jauh dari negara kita, saya ambil contoh sepak bola India lewat Indian Super League (ISL) yang memang nama liganya mirip dengan nama resmi liga kita sebelum negara api menyerang.
Regulasi untuk merekrut marquee player di India sekilas mirip dengan apa yang diterapkan PSSI untuk Liga 1 nanti. Syarat marquee player di India adalah pemain sepak bola yang di masa jayanya, adalah golongan pemain kelas dunia. Dan siapa yang menentukan kualitas marquee player yang bisa mereka rekrut harus kelas dunia? Tentu saja regulator liga di India, bukan Shah Rukh Khan.
Berbeda dengan di Indonesia yang tengah gegap gempita karena kedatangan Michael Essien ke Persib Bandung, India sudah lebih dulu mencengangkan dunia dengan mendatangkan nama-nama yang jauh lebih tenar daripada Essien. Dimulai dari eks pemain Liverpool, Luis Garcia, sebagai marquee player pertama di ISL pada tahun 2014 lalu, tiap tahunnya mereka terus mendatangkan nama-nama tenar.
Tercatat ada Alessandro Del Piero, Robert Pires, David Trezeguet, Roberto Carlos, Fredrik Ljunberg, Nicolas Anelka sampai legenda hidup sepak bola Islandia, Eidur Gudjohnsen. Daftar yang luar biasa, ya? Itu saya belum memasukkan nama-nama seperti John Arne Riise, Adrian Mutu, Lucio, hingga Diego Forlan, lho.
Kamu sebaiknya tidak perlu heran, karena memang India jauh lebih matang dalam mengurus iklim kompetisi sepak bolanya di sana. Sekadar trivia, ketika India sudah mencanangkan misi untuk mengirimkan astronotnya ke luar angkasa sebagai program pemerintah untuk lima tahun ke depan, seperti Anda tahu, sekumpulan orang-orang di Indonesia masih percaya bahwa Bumi itu bulat, teman-teman. Jadi, maklumi saja kenapa sepak bola India mampu membuat seorang Roberto Carlos dan Del Piero sudi mampir ke sana.
Karena kalian sudah tahu sekilas info tentang marquee player di luar Indonesia, kita akan tiba di satu pertanyaan: Sepenting apa sih sebuah kompetisi memiliki marquee player?
Jawabannya, tentu saja untuk menaikkan gengsi, dan seperti yang sukses dilakukan Persib Bandung dengan Essien, menaikkan brand image klub. Indonesia tidak butuh pemain yang pernah bermain di Piala Dunia untuk menarik minat penonton agar datang ke stadion. Sepak bola negara ini butuh nama-nama pemain kelas dunia itu untuk mendongkrak penjualan jersey resmi klub sekaligus sebagai legitimasi untuk menancapkan supremasi mereka. Saya rasa itu sedikit alasan kenapa Madura United bertekad mengikuti jejak Persib dengan mengincar Peter Odemwingie.
Opini saya, di satu sisi, marquee player ini bagus untuk membantu klub-klub di Indonesia merasakan rasanya bernegosiasi kontrak dengan para pemain profesional yang sudah kenyang pengalaman bermain di Eropa dengan sistem kontrak yang lebih rapi dan profesional. Setidaknya manajemen tim-tim lokal kita bisa belajar bagaimana tantangannya melakukan deal kontrak dengan pemain yang pernah menikmati sistem kontrak ala Eropa.
Selain itu, sisi negatifnya, marquee player ini juga bisa menimbulkan dilematis tersendiri. Seperti biasa, lagi-lagi kita perlu ambil contoh dari saudara Asia kita, India. Karena sebagian dari mereka datang saat usia sudah senja, tidak semuanya mampu tampil baik dan prima. At least, mereka bukan Zlatan Ibrahimovic yang di usia 35 tahun, masih mampu mencetak 20 gol lebih. Ini yang perlu diperhatikan, khususnya di Indonesia.
Klub-klub di Indonesia jangan hanya tergiur mendatangkan marquee player, tapi alpa untuk menaati satu hukum penting: bahwa ini semua tentang kualitas, bukan kuantitas. Lagipula, PSSI sudah menjelaskan bahwa marquee player ini sifatnya opsional. Klub boleh mencoba kalau punya bujet dan perencanaan matang soal manfaat dari kedatangan marquee player ini. Kalaupun tak memiliki dana dan perencanaan untuk itu, juga tak mengapa.
Jadi daripada berlomba-lomba untuk mendatangkan marquee player, sebaiknya klub-klub Liga 1 berlomba-lomba untuk memastikan mereka punya dana yang cukup untuk setidaknya mengarungi musim kompetisi mendatang agar tidak ada cerita gaji tertunggak. Kelemahan orang-orang Indonesia, terkadang mereka lupa bahwa godaan mendatangkan pemain bintang kelas dunia bisa membutakan rasionalitas mereka tentang apa yang lebih penting di manajemen sepak bola.
Sebab tidak semua peserta Liga 1 adalah tim mapan dan kaya raya seperti Persib Bandung. Sesederhana itu.
Isidorus Rio (@temannyagreg)
Editor Football Tribe Indonesia