Uncategorized Kolom

Antara Raisa-Isyana dan Gerrard-Lampard

Izinkan saya membuat pengakuan singkat sebelum memulai artikel ini. Sebagai pria fana yang biasa saja dan sebisa mungkin menghindari sifat munafik, melihat serta mendengarkan Raisa Andriana dan Isyana Sarasvati merilis video klip bersama adalah satu dari seratus hal yang ingin saya lakukan sebelum mati. Dan untungnya, 30 Maret 2017, hal tersebut terjadi dan andai kiamat terjadi esok hari, saya akan mati dengan tenang.

Pertanyaannya, apakah Anda juga merasakan hal yang sama dengan saya?

Semua dimulai sejak awal tahun 2017 ketika rencana proyek kerja sama kedua penyanyi rupawan ini mulai diapungkan ke publik. Jarang terdengar perkembangan kabarnya, tiba-tiba, pada 22 Maret 2017, lewat salah satu kicauannya di akun Twitter pribadinya, Raisa Andriana mengunggah sebuah foto throwback dengan dibubuhi sebuah tagar yang membuat imaji pria-pria haus asmara menggelegak, yakni #RaisaxIsyana.

Sejak kemunculan perdananya di blantika musik Indonesia, Isyana adalah penyanyi muda potensial yang digadang-gadang akan menjadi pesaing kuat hegemoni Raisa, ratu pop ballad Indonesia yang perlahan mulai dikultuskan para pendukungnya.

Isyana, kala itu, menawarkan apa yang (mungkin) sedikit kurang dari Raisa. Saya merasa berdosa kepada Raisa karena menulis kalimat tersebut, tapi to be fair, Isyana memang menawarkan sesuatu yang berbeda. Ia bertalenta dan latar belakang pendidikan musiknya pun bagus karena  merupakan alumnus sekolah musik di Singapura dan Inggris.

Gadis 23 tahun ini juga memiliki musikalitas yang lebih lengkap dan corak musik yang lebih modern dan beragam. Lirik-lirik lagunya juga mudah dicerna dan dipahami pendengar. Tapi, apakah itu membuatnya akan menggeser hegemoni Raisa?

Nyatanya, tidak begitu. Lagu-lagu Raisa terbukti masih catchy dan digemari banyak orang. Bahkan, ia sanggup melelehkan hati jutaan penggemar sepak bola tanah air kala mengunggah foto dukungannya untuk timnas U-23 Indonesia.

Tak cukup sampai di situ, di ajang Piala AFF 2016 kemarin, Raisa juga sempat memberikan dukungannya pada salah satu bintang timnas, Andik Vermansyah, yang menderita cedera dan harus absen di final kedua di kandang Thailand.

Hal-hal ini menegaskan satu hal, Raisa masih dominan, namun Isyana pun juga semakin merangsek menuju kepopuleran yang sama dengan seniornya tersebut. Lalu, dimulailah kebiasaan buruk rakyat Indonesia, membandingkan keduanya.

Tak jarang, pertanyaan seperti “Raisa atau Isyana?” ditanyakan orang-orang secara berkala dan menjadi topik obrolan hangat di kafe-kafe tengah kota hingga warung-warung kopi pinggiran. Anda harus mengerti, pertanyaan ini sulit untuk dijawab. Keduanya sama-sama indah, sama-sama dikultuskan penggemarnya dan sama-sama bertalenta.

Maka dari itu, daripada memilih salah satu, kenapa tidak digabungkan saja keduanya? Daripada membuat publik terbelah dan harus memilih satu di antara mereka, kedua penyanyi solo wanita papan atas Indonesia ini memutuskan merilis karya duet yang harus diakui cukup sukses merebut perhatian penikmat musik tanah air. Sebagai bukti, lagu Anganku Anganmu sudah menjadi lagu nomor satu di pre-order iTunes Indonesia.

Melihat kesuksesan awal yang diraih dari proyek #RaisaxIsyana, saya teringat misteri hebat nan pelik di balik kisah kehebatan dua gelandang hebat Inggris di masanya, Steven Gerrard dan Frank Lampard.

***

Steven Gerrard dan Frank Lampard adalah dua kutub yang sama. Mereka tak saling tarik-menarik karena kutub mereka memang tak berbeda. Mereka sama-sama ikon klub, legenda besar di timnya masing-masing, dan menjadi kultus bagi suporter mereka. Gerrard adalah Liverpool dan Lampard, walau berasal dari akademi West Ham United, sudah sah statusnya sebagai salah satu legenda besar Chelsea sepanjang masa.

Di era medio awal 2000-an, skuat timnas Inggris kala itu sangat potensial. Mereka memiliki kapten flamboyan, David Beckham, yang mengisi satu posisi tetap di sayap kanan. Dan di posisi gelandang tengah, kuota itu terpenuhi dengan kehadiran Gerrard, Lampard dan one of the best midfielder in the world, Paul Scholes.

Tapi kita semua tahu kemudian, tidak pernah ada pelatih timnas The Three Lions yang sanggup memaksimalkan potensi hebat gelandang-gelandang jenius tersebut. Parahnya lagi, ketidakmampuan Inggris memaksimalkan Gerrard dan Lampard, berujung pada karier internasional Paul Scholes yang berakhir tragis.

Walau memiliki posisi yang sekilas sama, Gerrard dan Lampard bukan tidak mungkin untuk bermain bersama. Kesalahan bukan pada potensi mereka berdua, namun kepicikan pelatih-pelatih timnas Inggris terdahulu yang tidak mampu menemukan skema main yang pas untuk keduanya. Gerrard yang enerjik dan memiliki daya jelajah tinggi bisa ditempatkan sedikit ke dalam, mengingat suami Alex Curran ini juga memiliki Hollywood Pass dan tendangan jarak jauh yang melegenda.

Sedangkan Lampard, yang lebih taktis dan cerdas, bisa dimainkan sebagai gelandang serang yang lebih maju ke depan, memberi Inggris kreativitas yang mereka rindukan selepas pensiunnya Paul Gascoigne. Kenyataan peliknya, semua itu hanya tinggal pengandaian belaka. Selepas Gerrard pensiun, beberapa minggu setelahnya, top skor sepanjang masa Chelsea tersebut menyusul koleganya dari Merseyside untuk gantung sepatu, dan sekali lagi, Inggris melakukan bakat terbaik mereka dalam sepak bola: menyia-nyiakan potensi hebat pesepak bolanya kala berseragam timnas.

***

Itulah kenapa kesuksesan Raisa berduet dengan Isyana seharusnya memberi bukti bahwa semua bakat hebat itu selalu menemukan jalannya untuk bermain dan berkarya bersama. Xavi Hernandez dan Andres Iniesta bisa mendominasi dunia dan Eropa bahkan sukses memberi prestasi tertinggi bagi Spanyol dan Barcelona. Cristiano Ronaldo dan Gareth Bale juga nyatanya mampu membawa Los Blancos merengkuh dua trofi Liga Champions Eropa dalam tiga tahun terakhir.

Menilik hal ini, saya teringat tulisan Dewi Lestari dalam kumpulan cerita pendeknya di buku Filosofi Kopi dalam bab “Mencari Herman” yang berujar, “Karena satu melengkapi, tapi dua membunuh”. Dan memang begitu adanya, Gerrard dan Lampard seharusnya saling melengkapi satu sama lain seperti duet Raisa dan Isyana, karena keduanya tidak akan ‘membunuh’ satu sama lain. Dan Inggris hanya bisa merelakan dan merenungi hal tersebut sambil menengok fakta miris bahwa gelandang tengah mereka kini berisi nama Jake Livermore.

NB: Anggap saja video ini bonus karena Anda membaca artikel ini sampai akhir. Lagipula, kapan lagi baca artikel bonus video Raisa-Isyana, kan?

Isidorus Rio Turangga – Editor Football Tribe Indonesia