Suara Pembaca

Pele: Sepak Bola, Ginga Style dan Idealisme

Pele yang saat itu berusia 9 tahun kala melihat ayahnya menangisi kekalahan Brazil melawan Uruguay di final Piala Dunia 1950 berjanji suatu saat nanti akan membawa Brasil menjuarai Piala Dunia. Alasan ini yang tumbuh menjadi pupuk yang menyuburkan bakat Pele menjadi salah satu legenda sepak bola termasyhur.

Piala Dunia Brasil 1950, hampir seluruh rakyat Brasil sedih, murung, dan terpukul usai laga final. Alasannya Brasil merupakan tuan rumah Piala Dunia pertama pasca berakhirnya Perang Dunia II. Menjuarai Piala Dunia di rumah sendiri seolah menjadi harga mati yang tak bisa ditawar dan ditunda lagi.

Tak terkecuali ayah Pele, Dondinho, yang bersama teman-temannya menyaksikan seluruh jalannya pertandingan melalui siaran radio  di satu sudut kota di wilayah perkumuhan di Brasil. Dondinho sangat mencintai sepak bola, wajar karena dulunya ia adalah seorang pesepak bola profesional di liga Brasil namun harus pensiun lebih cepat akibat cedera parah dan diabaikan begitu saja oleh klubnya.

Praktis Dodinho menyisakan trauma yang amat dalam. Hidupnya pun berubah dan berakhir dengan pilihan menjadi petugas cleaning service, sementara ibu Pele, Celeste Arantes, bekerja sebagai pembantu rumah tangga paruh waktu di sebuah rumah mewah di kawasan Kota Tres Coracoes, Brazil.

BACA JUGA: Sekali Lagi, Maracana Mengemban Tugas Mulia

BACA JUGA: Gabriel Jesus dari Suburbia

Meski mewarisi bakat luar biasa dari ayahnya, lahir dari keluarga yang hidup dalam garis kemiskinan membuat Pele sangat kesulitan sekadar untuk memiliki sepatu sepak bola. Ditambah ibunya tidak benar-benar mengizinkan Pele menjadi seorang pesepak bola profesional membuat kemampuan dan bakatnya hanya tersalur di jalanan.

Atas restu ayahnya, Pele kecil bersama teman-temannya mengikuti turnamen lima lawan lima di pinggiran kota sekaligus sebagai awal baginya berkesempatan mengikuti seleksi akademi klub Santos.

Saat itu legenda Brazil Waldemar de Brito turun langsung menyaksikan Pele, ia tertarik pada keahlian Pele dan kemudian berbicara pada Dodinho soal kemungkinan anaknya mengikuti seleksi untuk akademi Santos. Mengetahui ada ajakan dari Santos, tanpa tedeng aling-aling ibunya menolak.

Sampai pada satu ketika, beberapa tahun setelah tawaran Santos datang sat Pele sudah menginjak 15 tahun, ibunya melihat langsung Dondinho dan Pele berlatih mengontrol bola menggunakan buah mangga. Di situ ibunya menyadari betapa cintanya Pele pada dunia sepak bola: Sepak bola menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari diri Pele.

Ibunya kemudian mengontak kub untuk menanyakan kemungkinan Pele bisa berlatih dan bermain di Santos. Singkatnya Pele bergabung dengan Santos, ia berhasil memukau suporter yang mengelu-elukan namanya dan memujanya bak dewa penyelamat. Gol demi gol ia ciptakan, setiap gerakannya mampu menghipnotis puluhan ribu suporter yang menyaksikannya di stadion.

Santos pun tak kuasa melepasnya saat timnas Brasil memanggil Pele untuk persiapan Piala Dunia 1958 di Swedia. Saat itu ia berusia 16 tahun dan tidak mudah baginya bisa menembus tim utama. Alasannya waktu itu adalah masa-masa dimana Brasil mulai meninggalkan permainan akrobatik “Ginga Style”.

Gaya permainan khas Tim Samba yang dianggap gagal karena tidak mampu menghadirkan tropi di Piala Dunia 1950 dan Piala Dunia 1954. Sementara pelatih Brazil Vicente Feola menginginkan Brasil bermain dengan umpan-umpan pendek, tendangan akurat dan kompak secara tim dengan mengandalkan kecepatan layaknya para pemain Eropa.

Sementara gaya permainan Pele dianggap sangat kuno, ia kerap menggiring bola seorang diri “one man show”. Situasi ini diperkuat oleh kehadiran striker keturunan Italia, Jose Altafini, yang permainannya dianggap mirip dengan striker legendaris Italia Valentino Mazzola.

Perpecahan di tubuh timnas Brasil jelang Piala Dunia 1958 tidak bisa dihindari. Dikotomi pemain yang mendukung revolusi mengikuti perkembangan khas Eropa yang dimotori oleh Altafini dengan kelompok pemain yang masih kental dengan “Ginga Style” seperti Garrincha, Didi dan Pele pun terjadi.

BACA JUGA: Kerja, Kerja, Kerja, Oriundi!

BACA JUGA: Moacir Barbosa dan Mitos Kiper Kulit Putih di Timnas Brasil

Ginga Style tidak lepas dari sejarah panjang perjuangan kemerdekaan Brasil. Secara historis, Ginga Style adalah gaya pertarungan jalanan para budak Afrika yang dibawa kolonilisme Portugal kala menjajah Brasil di abad ke-16.

Tapi pasca kemerdekaan Brasil, Ginga Style dilarang, membuat sepak bola menjadi satu-satunya panggung orang-orang jalanan Brasil untuk mempertontonkan teknik bela diri tersebut. Ginga Style selanjutnya menggambarkan seseorang yang bisa mengikuti arus dan memiliki kecerdasan jalanan.

Kekacauan di tubuh tim masih terus berlanjut kala badai cedera datang di babak kualifikasi Piala Dunia 1958 saat Brasil bersua Inggris. Diantaranya adalah striker andalan Brazil Jose Altafini. Pun dua pemain andalan Brasil, Dino Sani dan Joel, juga mengalami cedera cukup parah. Brasil dalam posisi yang berbahaya, karena selain banyaknya pemain yang cedera mereka juga mengalami krisis identitas permainan.

Previous
Page 1 / 2