Fondasi sepak bola Brasil bukan berada dalam tahapan yang sifatnya rasional seperti yang ada di Jerman ataupun Inggris. Sepak bola Brasil sifatnya lebih estetis, bagaimana olahraga ini berada dalam lingkup yang sama dengan seni di negara tropis tersebut. Selain itu, sepak bola Brasil juga kental dengan klenik dan salah satu yang terbesar adalah soal kiper berkulit hitam.
Brasil punya tradisi unik. Untuk sektor kiper, mereka selalu memercayakan posisi tersebut kepada para pemain berkulit putih. Faktanya pun membuktikan bahwa ketika berhasil menjadi juara dunia, gawang-gawang Brasil selalu dikawal oleh kiper-kiper berkulit puith. Gilmar dos Santos menjadi penjaga gawang Brasil ketika mereka menjadi juara dunia pada tahun 1958 dan 1962. Dilanjut dengan Felix Venerando pada Piala Dunia 1970, Claudio Taffarel pada Piala Dunia edisi 1994, dan Marcos Silveira pada Piala Dunia 2002.
Mitos soal kiper berkulit putih ini berada di tahapan yang sama dengan klenik lain di sepak bola Brasil. Misalnya seperti kebiasaan mereka untuk memotong kambing berwarna hitam jelang turnamen internasional, yang dipercaya sebagai penolak bala, mitos soal kiper berkulit putih ini bahkan sudah begitu mengakar. Mitos ini dimulai pada Piala Dunia 1950, yang melibatkan kiper Brasil saat itu, Moacir Barbosa.
Kegagalan yang tidak termaafkan
Kembali ke partai final Piala Dunia 1950, Brasil yang berstatus sebagai tuan rumah jelas diunggulkan. Semua suporter tuan rumah yang menyaksikan pertandingan di sore yang cerah di Maracana tersebut jelas mengusung optimisme yang tinggi, apalagi Selecao juga tidak terhentikan sejak fase awal. Di babak utama, mereka juga menang besar atas Swedia dan Spanyol masing-masing dengan skor 7-1 dan 6-1.
Optimisme semakin melambung tinggi untuk Brasil bisa meraih gelar juara Piala Dunia pertama mereka ketika Albino Friaca mencetak gol pembuka pada pertandingan tersebut. Kurang lebih sepuluh menit kemudian, petaka datang. Uruguay yang menjadi lawan Brasil pada pertandingan tersebut kemudian berhasil membalikkan keadaan. Pepe Schiaffino dan Alcides Ghiggia mencetak gol ke gawang Brasil sekaligus membuat Uruguay kembali meraih gelar sebagai juara Piala Dunia.
Emosi jelas memuncak. Kemenangan yang sudah ada di depan mata kemudian buyar begitu saja. Kiper Brasil di pertandingan tersebut, Moacir Barbosa, menjadi pesakitan. Moacir dianggap tidak kuasa untuk menghentikan gol-gol yang bersarang di gawangnya, apalagi kedua gol yang dibuat oleh Uruguay semua berasal dari proses yang hampir serupa: serangan yang berawal dari sisi kanan.
Moacir yang berkulit hitam kemudian dianggap menjadi biang penyebab kegagalan Brasil. Hingga kemudian muncul klenik yang bersifat rasial, bagaimana gawang Brasil harus terus diisi oleh para pemain berkulit putih. Bahkan ada anekdot yang hadir di Brasil sana mengacu kepada Moacir, “berlatih yang keras hingga engkau kelak jadi seperti Gilmar Dos Santos, jika tidak maka nasibmu akan seperti Moacir Barbosa,” sebuah nasihat yang pasti diberikan kepada kiper-kiper muda. Moacir seakan menjadi tabu bagi sepak bola Brasil.
Butuh waktu hampir setengah abad untuk mendobrak klenik ini. Nelson Dida yang memulainya saat Brasil melawan Ekuador pada tahun 1995. Media cetak olahraga terbesar di Brazil, Globo Esporte, bahkan sampai membuat tajuk utama bertuliskan, “Dida, O Homem Que o Quebrou Tabu“, yang apabila diterjemahkan ke bahasa Indonesia berarti “Dida, orang yang melanggar tabu”.
Dida bahkan kemudian sampai meminta publik sepak bola Brasil memaafkan Moacir. Namun, permintaan tersebut tidak pernah dikabulkan hingga ajal menjemput Moacir. Bahkan pada pemakamannya di tahun 2000, tidak ada ucapan simpati dan tidak ada satupun pihak dari asosiasi sepak bola Brasil yang datang ke pemakamannya.
Klenik yang kemudian berkembang menjadi ketabuan ini terus berlanjut hingga saat ini. Selepas Dida, gawang Brasil kemudian terus dikawal oleh kiper berkulit putih. Bahkan di skuat yang akan tampil di Piala Dunia 2018 nanti, tiga kiper Brasil yaitu Alisson Becker, Ederson Moraes, dan Cassio Ramos, semuanya merupakan kulit putih.