Suara Pembaca

Kerja, Kerja, Kerja, Oriundi!

Ketika Maurizio Sarri ditunjuk menggantikan Antonio Conte awal musim lalu, Jorginho adalah pemain pertama yang terlintas di pikirannya. Sarri mengajak sang pemain berdarah Brasil itu turut berganti seragam. Sarri butuh Jorginho, sebaliknya si pemain berutang pada sang altenatore. Gaya main Napoli hendak Sarri bawa ke Stamford Bridge dan Jorginho adalah kepingan yang paling ia butuhkan.

Skema permainan Sarri yang mengandalkan umpan pendek dan pengusaan bola saat di Napoli dianggap begitu memukau. Bagaimana tidak, Chelsea sebelumnya dikenal sebagai tim pragmatis yang lebih doyan memarkis bus. Permainannya asal menang, indah belakangan.

Meski begitu, pragmatisme Chelsea selalu saja mempersembahkan gelar. Kedatangan Sarri dan Jorginho serasa bakal melengkapi kebahagian para penggemar, sebab gelar akan diraih lewat permainan berkelas.

Awalnya, skema Sarri dan kepiawaian Jorginho berjalan mulus di beberapa laga musim 2018/2019. Jorginho bertugas sebagai pusat aliran bola ke seluruh bagian lapangan dan tempo, serta arah permainan bergantung padanya.

Seperti di Napoli, Jorginho diplot sebagai deep-lying playmaker yang oleh banyak penggemar menyamakan dirinya dengan Pirlo. Sampai akhirnya, skema itu berjalan buntu dan di saat bersamaan, permainan Jorginho terbaca oleh lawan.

“Anak kesayangan Sarri”. Begitulah sebagian penggemar Chelsea mencemooh Jorginho. Sekumpulan pengemar di tribun Stamford Bridge meneriakkan “boooooo!” pada sang pemain ketika Chelsea mengalami fase inkonsistensi. Sarriball melempem di lapangan. Jorginho dianggap biang keladi, tentu saja bersama sang pelatih.

Baca juga: Di Manapun Berada, Jorginho Selalu Ada

Posisi Jorginho sebagai deep-lying playmaker kerap dihujat, karena dianggap sebagai titik lemah ketika menghadapi serangan tim-tim Inggris yang banyak mengandalkan kecepatan. Lubang di lini belakang Chelsea dipengaruhi oleh ketiadaan pemain bertipe pemutus serangan lawan.

Sebenarnya ada, tapi Sarri malah menaruh Kante di posisi gelandang tengah kanan dengan instruksi lebih banyak melakukan serangan. Praktis, kelambatan transisi dan kurangnya kemampuan defensif Jorginho berpengaruh pada fase bertahan Chelsea.

Alhasil, sepanjang musim, permainan Chelsea dan Jorginho naik turun. Kendati hampir meraih Piala Carabao, bertengger di empat besar, dan menutup musim lalu dengan trofi Liga Europa, Jorginho belum mengambil hati sebagian besar penggemar The Blues.

Apa lagi, Sarri yang kemudian pergi ke Juventus, seakan memberi beban baru bagi Jorginho. Selama ini, Sarri adalah pelindungnya sejak dari Naples hingga London. Karier sepak bolanya cukup bergantung pada si bekas bankir. Sarri meninggalkan Jorginho sendirian, menghadapi cacian para penggemar.

Kata Tuhan, nasib seseorang bergantung bagaimana ia berusaha mengubahnya. Jorginho memilih bertahan di Chelsea, berjuang sendiri untuk membuktikan diri. Sebab, ini bukan kali pertama sang pemain bangkit berjuang.

Baca juga: Perjuangan Itu Bernama Jorginho

Di usia 15 tahun saat pindah ke Italia dari Brasil, Jorginho bertarung dengan nasib. Awal merintis karier di Italia, Jorginho mengalami kesulitan hidup gara-gara ditipu oleh seorang agen. Upahnya di Verona dipotong oleh agen tersebut dan Jorginho terpaksa membiayai kebutuhannya hanya dengan uang 20 euro per minggu.

Sempat ingin menyerah, sang ibu meminta Jorginho untuk tetap bertahan. Jorginho pun berjuang dan menampilkan yang terbaik di Hellas Verona. Transfer musim panas 2014 membawa Jorginho bergabung ke Napoli.

Bersama Sarri yang datang semusim kemudian, Jorginho menemukan performa terbaiknya dan empat tahun berikutnya berlabuh di Chelsea. Tapi, nasib baik Jorginho sebatas di Napoli. Sampai kualifikasi Piala Eropa 2020 dihelat, Jorginho bukan apa-apa di level timnas.

Jorginho pernah dipanggil oleh timnas Italia U-21, tetapi tidak sempat bermain di laga resmi. Performa apiknya saat membela Napoli pun belum membuat pelatih Italia memanggilnya. Sebelum EURO 2016, Jorginho masuk daftar pemain timnas Italia yang dibesut Conte. Sayang, namanya gagal menembus komposisi pemain resmi di perhelatan sepak bola antarnegara Eropa itu.

Sempat dilirik otoritas sepak bola Brasil, Jorginho bertaruh pada takdir dengan memilih paspor Italia. Di tahun-tahun berikutnya, Jorginho belum banyak mendapat panggilan. Pada ajang kualifikasi Piala Dunia pun, Jorginho baru mendapat menit bermain saat kegagalan Italia di play-off melawan Swedia.

Jorginho sadar bahwa statusnya sebagai oriundi (pemegang paspor Italia non-pribumi) kerap kali jadi penghambat. Belum banyak pelatih Italia yang ramah terhadap oriundi, termasuk altenatore saat ini, Roberto Mancini.

Baca juga: Furbizia yang Menular ke Stranieri di Liga Italia

Namun, berkat kerja keras Jorginho selama ini di atas lapangan, akhirnya mementahkan anggapan tersebut saat kualifikasi Piala Eropa 2020 beberapa waktu lalu. Roberto Mancini menulis nama Jorginho untuk mengisi satu slot di posisi gelandang tengah Italia dalam dua pertandingan terakhir. Nasib baik semakin berpihak.

Kerja, kerja, kerja! menjadi prinsip utama Jorginho saat ini. Musim baru bersama Frank Lampard di Chelsea membuka lembaran bahagia bagi sang oriundi. Meski penampilan Chelsea secara keseluruhan belum stabil, Jorginho mulai memberi dampak berarti.

Energinya di lini tengah The Blues mengular ke seisi lapangan dan membantu para pemain muda Chelsea bertarung tanpa henti. Jorginho mengatakan bahwa skema Lampard lebih memberinya kebebasan untuk berkreasi dalam menyerang dan mengendalikan permainan.

Satu hal lagi yang memancar dari diri Jorginho adalah aura kepemimpinan. Beberapa waktu lalu, Frank Lampard memberi tanggung jawab baru kepada Jorginho sebagai wakil kapten. Melangkahi dua pemain senior Chelsea, Willian dan Pedro.

Seketika, tidak ada chantsBoooooo!” lagi  dari para penggemar saat dirinya menguasai bola. Seisi tribun telah jatuh hati pada Jorginho dan penggemar cilik mulai meminta seragamnya seusai laga.

 

*Penulis adalah blogger dan jurnalis paruh waktu. Penikmat sepak bola dari pinggiran. Dapat ditemui di akun Twitter @bedeweib.