Suara Pembaca

Noda Pekat Sepak Bola Brasil dan Komparasi dengan Indonesia

Pertanyaan ini adalah sebuah pertanyaan besar yang sejak lama bersemayam di kepala saya. Mungkin ada banyak yang beranggapan bahwa berlebihan sepak bola Indonesia yang masih karut-marut dikaitkan dengan tanah yang konon menjadi asal muasal olahraga paling populer abad 21 ini.

Bagaimana tidak, membandingkan Brasil yang telah sukses meraih lima gelar Piala Dunia, dengan Indonesia yang menjuarai turnamen regional saja susahnya minta ampun. 

Akan tetapi pemikiran saya tidak muncul begitu saja tanpa alasan. Membaca salah satu bab dari buku karya jurnalis olahraga kondang dari Amerika, Franklin Foer, yang berjudul Memahami Dunia Lewat Sepak Bola, membuat saya menyadari, sejatinya kedua negara ini memiliki latar belakang yang cukup mirip.

Satu hal mendasar yang menjadi kesamaan dari dua negara beda benua, ini adalah cara mereka menikmati sepak bola.

Dengan berbagai latar belakang kemiskinan, anak-anak dari kedua negara sama-sama belajar mencintai si kulit bundar dari jalanan. Mereka terbiasa bermain di gang sempit, tanpa sepatu, atau bahkan menggunakan botol bekas sebagi obyek untuk ditendang.

Baca juga: Gabriel Jesus dari Suburbia

Meskipun prestasi kedua timnas bagai bumi dan langit, antusiasme suporter dari kedua negara terhadap timnas mereka sama-sama luar biasa.

Beberapa kalangan mengatakan bahwa buruknya prestasi sepak bola Indonesia disebabkan tidak kompetennya pengurus federasi saat ini. Berbagai dugaan, dari mulai korupsi, suap, hingga mafia yang telah mengatur siapa juara liga sudah sering keluar masuk telinga.

Bisa jadi hal tersebut memang sumber masalahnya. Namun Brasil seakan ingin menolak anggapan bahwa hal tersebut masalah besar, karena sesungguhnya sepak bola Brasil juga pernah -atau bahkan masih- diterpa badai yang jauh lebih besar dari sepak bola Indonesia.

Situasi itu terjadi ketika akhir abad 20. Kala itu federasi mereka dipimpin oleh seorang pengacara bernama Ricardo Teixeira. Dari awal penunjukan Teixeira, sudah banyak yang kabar miring yang menimpanya.

Bagaimana tidak, seorang pengacara tak dikenal, tak pernah memiliki keterlibatan apapun dalam sepak bola ataupun olahraga sebelumnya, tiba-tiba terpilih sebagai presiden federasi sepak bola Brasil. Faktor presiden FIFA saat itu, Joao Havelange, yang merupakan mertua Teixeira, diyakini menjadi faktor utama terpilihnya sang pengacara.

Penyimpangan pun terlihat di masa kepemimpinan Teixeira. Deretan mobil yang makin lama makin mewah di garasi, sebuah apartemen di Miami, Amerika Serikat, dan sekelompok pengawal pribadi telah ia investasikan sejak ia berhasil menjadi presiden federasi.

Bahkan ketika federasi yang memiliki inisial CBF tersebut diterpa utang besar-besaran, gaji Teixeira malah naik lebih dari 300 persen. Sebuah penyimpangan yang orang paling dungu sekalipun akan menyadarinya. Tetapi Teixeira berhasil lolos dari jeratan hukum, karena keterbatasan undang-undang yang berlaku di Brasil saat itu.

Para pemilik klub di Brasil pun tak kalah berdosanya. Presiden klub Vasco da Gama, Eurico Miranda, pernah menyelewengkan dana 34 juta dolar dari NationsBank yang saat itu ingin membangun dinasti baru di pasar Brasil. Dana tersebut ia gunakan untuk membayar dealer mobil, investasi bisnis, kartu kredit, dan dosa gelap lainnya.

Begitu pula dengan klub lain seperti Palmeiras, Flamengo, hingga klub lagendaris dari tokoh kartun Jepang, Tsubasa Ozora, Sao Paulo. Hampir semua klub memiliki dosa yang setara.

Baca juga: Andrea Agnelli, Peaky Blinders, dan Pelindung Nyonya Tua

Jika dibandingkan dengan Indonesia saat ini, tentu masalah di sepak bola Indonesia terbilang tidak lebih besar. Masalah mafia bola yang didukung langsung pemberantasannya oleh pemerintah hingga polisi, masalah jadwal karut marut yang bisa diatasi dengan meningkatkan kompetensi operator liga, atau masalah permusuhan antarsuporter yang bahkan sekarang pihak kepolisian juga turut serta membantu mendamaikan. Tentu kita sangat beruntung dibanding Brasil era akhir abad 20.

Namun keberuntungan akan masalah tersebut berbanding terbalik dengan keberuntungan atas prestasi. Sepak bola Brazil tahun 1990-an mungkin terlihat kacau, namun timnas mereka justru berhasil berbicara banyak di ajang Piala Dunia.

Meraih gelar juara di Amerika Serikat setelah melalui drama adu penalti melelahkan dengan Italia tahun 1994, menjadi runner-up sebelum ditumbangkan tuan rumah Prancis di tahun 1998, hingga berhasil menjuarai Piala Dunia di tanah Asia tahun 2002 setelah menaklukkan Jerman.

Deretan prestasi luar biasa yang seakan ingin mengungkapkan, bahwa kacaunya situasi federasi tidak berimbas signifikan bagi prestasi tim Selecao.

Baca juga: Perjalanan Brasil Menjuarai Piala Dunia 2002: Kesuksesan yang Sulit Diulang Kembali

Bandingkan dengan Indonesia. Sejak permasalahan dualisme kurang lebih sewindu silam, prestasi timnas kita terus merosot. Capaian terbaik kita hanya mampu menjadi runner up Piala AFF yang notebene hanya kompetisi regional kawasan Asia Tenggara.

Timnas Garuda bahkan tak pernah bisa lolos Piala Asia sejak menjadi tuan rumah tahun 2007. Sebuah fakta yang menunjukkan bahwa kita memang tunduk terhadap masalah yang ada.

Mungkin masih banyak yang merasa perbandingan antara sepak bola Brasil dengan sepak bola Indonesia sangat tidak berimbang. Namun kembali, pertimbangan latar belakang yang serupa menjadi alasan kenapa kedua negara layak dibandingkan.

Bahkan sampai era sekarang, meskipun Brasil sukses menyelenggarakan Piala Dunia 2014, isu korupsi masih tetap menjalar di federasi Brasil. Bahkan beberapa tokoh politik pun mulai turut mencoba menggaet wajah sepak bola Brasil demi menaikkan elektabilitas mereka. Sebuah pemandangan yang tak asing lagi bagi kita di Indonesia.

Akan tetapi kembali ke pertanyaan awal, mengapa sepak bola Indonesia tak bisa semaju Brasil? Mengapa bahkan untuk memenangi kompetisi regional saja susahnya sungguh minta ampun bagi Indonesia? Sebuah kutukan kah Atau kesamaan nasib dengan bangsa penjajah kita, Belanda, yang belum pernah meraih gelar internasional?

Masih menjadi pertanyaan besar dalam diri saya, mengapa sepak bola kita tak bisa seperti Brasil.

 

*Penulis merupakan seorang mahasiswa Institut Teknologi Bandung yang gemar menganalisis sepak bola Indonesia. Bisa dihubungi di ID LINE: achmzulfikar