Marcus Rashford adalah salah satu figur sepak bola yang aktif menyuarakan isu-isu di luar lapangan. Mulai dari tahun 2020, kiprahnya di luar lapangan seolah memberikan semangat baru bagi sepak bola yang kini menjelma menjadi sebuah industri.
Sejak setahun lalu Rashford sering meyuarakan hak anak-anak di Inggris dengan mendesak pemerintah untuk membantu penyediaan makanan di sekolah terutama untuk keluarga berpenghasilan rendah yang mengalami tantangan berat selama pandemi COVID-19.
Aksinya selama tahun 2020 tersebut boleh dikatakan sama relevannya seperti Greta Thunberg pada tahun 2018 ketika dia memimpin protes perubahan iklim karena emisi karbon hasil buangan manusia.
Berkat rangkaian aksi yang ia lakukan, Rashford juga dianugerahi oleh salah satu majalah terkemuka di dunia, TIME, sebagai salah satu dari 100 orang paling berpengaruh di dunia saat ini.
Aksi sosial penggawa Manchester United ini kemudian seolah menjadi benchmark baru bagi pesepak bola di seluruh dunia. Mereka bisa menunjukkan bahwa sebagai olahragawan bergaji tinggi bisa berkontribusi lebih untuk kesejahteraan masyarakat.
Selama beberapa bulan terakhir, semakin banyak klub sepak bola dan komunitas fansnya yang telah berusaha untuk mengaitkan diri pada suatu permasalahan sosial dan berinisiatif dalam melakukan suatu gerakan.
Mereka mencoba menggunakan kekuatan sepak bola untuk mendukung suatu tindakan sosial atau kadang-kadang bisa juga menyentuh sisi politik.
Forum daring World Football Summit yand diadakan pada 23-27 November 2020 yang mempertemukan sekitar 2.134 petinggi klub, otoritas liga, dan pemimpin federasi dari 107 negara juga mendukung semangat baru dari sepak bola ini.
Para pesepak bola sekarang bisa menyadari bahwa mereka tidak hanya melakukan aksi dalam “perjalanan karier” tetapi juga dalam “perjalanan tujuan”.
Mereka bisa terkait dalam suatu kegiatan yang positif (seperti amal, yayasan, atau suatu gerakan), baik secara kolektif atau individual, dan hal tersebut dapat menaikan citra positif mereka.
Beberapa pemain, seperti Hector Bellerin dari Arsenal telah berhasil tampil jauh lebih menarik dan bijaksana dengan aktif di berbagai kegiatan tersebut daripada menjadi seseorang yang hanya sekadar menendang bola di lapangan.
Dari cabang olahraga lain, LeBron James juga mendukung semangat baru sepak bola ini dan menegaskan ia berada di jalan yang sama seperti Rashford dan Bellerin. Seperti yang ia katakan dalam Goal.com baru-baru ini, ia tidak akan tutup mulut dan tutup mata terhadap isu-isu sosial.
“Saya berbicara tentang masyarakat saya dan juga tentang kesetaraan, ketidakadilan sosial, rasisme, penindasan voters yang sistematis, dan hal-hal lain yang terjadi di komunitas kami. Saya sebagai atlet juga merupakan bagian dari komunitas saya, saya telah melihat hal-hal yang sedang terjadi. Masyarakat membutuhkan suara.”
“Saya adalah suara mereka dan saya menggunakan platform sebagai public figure dan kelebihan saya dalam ekonomi untuk membantu segala kesulitan yang terjadi tidak hanya di komunitas saya, tetapi di seluruh negara ini, dan di seluruh dunia,” ucap pemilik saham minoritas Liverpool FC ini.
Dalam kaitannya dengan sumbangsih terhadap dunia sosial, sepak bola mungkin sudah sedikit terlambat. Dunia korporasi misalnya, sudah sejak lama telah memperkenalkan konsep Corporate Social Responsibility (CSR).
Mereka aktif mendorong generasi muda untuk berkontribusi bagi masyarakat sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan citra perusahaan dan juga memposisikan orang-orang yang terlibat didalamnya sebagai warga yang memiliki kedudukan di masyarakat.
Fenomena ini juga memperjelas bahwa karier seseorang bisa terus ditingkatkan secara positif bukan hanya melalui prestasi di kantor, tetapi bisa juga ditentukan oleh aktivitas ekstrakurikuler di lapangan yang didukung oleh perusahaan.
Sepak bola (terutama di negara maju) sekarang sudah tidak terpisahkan dengan dunia korporasi, di mana kekayaan pribadi yang sangat besar dapat diakumulasikan dalam jangka waktu yang relatif singkat. Mereka disebut-sebut sudah sewajibnya ikut aktif membantu dalam pengembangan kesejahteraan masyarakat karena memiliki kekuatan ekonomi yang lebih.
Tetapi para pesepak bola secara individu tampaknya mendapat lebih banyak tekanan karena memiliki gaji yang begitu tinggi. Mereka dipandang tidak pantas menerima bayaran yang terlampau tinggi bahkan melampaui bayaran pekerja sosial yang perannya lebih vital di lingkungan masyarakat seperti guru, dokter, aparat keamanan, dan pekerja sosial lainnya.
Selalu ada kebencian terpendam dari orang-orang yang berasal dari keluarga miskin terhadap mereka yang menghasilkan uang banyak padahal “tidak berbuat apa-apa”.
Bagaimanapun juga, saat ini tim-tim sepak bola telah menanggapi cara masyarakat berpendapat dan pesepak bola sudah mulai memiliki sikap yang berbeda dan lebih inklusif. Keberhasilan perusahaan tidak hanya dibangun di sekitar keuntungan ekonomi, tetapi juga keuntungan masyarakat.
Jika kini kita melihat sepak bola sebagai sebuah industri dan menerapkan apa yang sudah dilakukan dalam dunia korporasi selama bertahun-tahun, maka sejatinya konsumen akan selalu tertarik pada perusahaan dengan catatan CSR dan citra yang baik. Oleh karena itu, klub sepak bola dan para pemainnya juga akan selalu dinilai dari cara mereka berinteraksi dengan masyarakat.
Ini bukan hanya tentang amal, tetapi juga tentang inklusivitas, dukungan untuk komunitas, dan cara mereka memperlakukan penggemar dalam konteks yang beragam.
Perlahan namun pasti, proses pergeseran semangat sepak bola telah dimulai. Marcus Rashford tidak akan menjadi pemain terakhir yang menjadi berita utama atas tindakannya di luar lapangan sepak bola. Dan dalam waktu dekat, Barcelona tidak akan menjadi satu-satunya klub sepak bola yang mengklaim “Mes que un club” atau “lebih dari sebuah klub” sebagai marwahnya.
*Penulis adalah fans The Blues Chelsea yang tetap setia mendukung walaupun kerap gonta-ganti pelatih. Bisa disapa di akun Twitter @CFC_Atma