Suara Pembaca

Apakah Barcelona Masih “Més Que Un Club”?

Tahun 1899, sekelompok bangsawan dari Inggris, Swiss, datang ke Katalunya untuk urusan bisnis. Namun, kedatangan mereka pada akhirnya bukan hanya untuk urusan bisnis semata, kebanyakan dari mereka memiliki ketertarikan yang sama terhadap sepak bola.

Akhirnya, pada 29 November 1899, kelompok yang dikomandoi oleh Joan Gamper bersama Carles Pujol, Gualteri Wild, Otto Maier, John Parsons, William Parsons, Lluis d’Osso, Bartomeu Terrados, Pere Cabot, Otto Kunzle, Enric Ducal, dan Josep Llobet, membentuk sebuah klub sepak bola di Katalunya, yang saat ini dikenal sebagai Football Club Barcelona.

Sama seperti motto dari klub Barcelona yakni “Més Que Un Club” atau yang memiliki makna “Lebih dari sekadar klub”, dalam perjalanannya, Barcelona bukan hanya dikenal sebagai klub sepak bola semata. Barcelona adalah sebuah simbol perjuangan rakyat Katalunya yang merasa tertindas di bawah kepemimpinan Raja Franco saat itu.

Franco adalah seorang jenderal yang menjadi penguasa diktator di Spanyol pada tahun 1930-an. Sejak dulu, orang-orang Katalunya menganggap diri mereka bukan bagian dari Spanyol, dan merupakan bangsa yang berada di bawah “penjajahan” Spanyol.

Franco saat itu melarang penggunaan bendera dan bahasa daerah Katalunya. FC Barcelona kemudian menjadi satu-satunya tempat di mana sekumpulan besar orang dapat berkumpul dan menjadikan klub tersebut simbol perlawanan. Warna biru dan merah khas klub Barcelona menjadi pengganti yang mudah dipahami dari warna merah dan kuning yang merupakan simbol bendera Katalunya.

Baca juga: Lima Hal yang Ditunggu dari LaLiga 2019/2020

Selain simbol perjuangan, FC Barcelona adalah simbol kemanusiaan. Di saat banyak klub yang mulai tergiur dana dari pihak sponsor, Barcelona masih berpegang teguh pada prinsip mereka yang anti dengan embel-embel sponsor pada seragamnya, karena mereka tidak mau menodai salah satu simbol perlawanan tersebut. Bahkan, sponsor pertama yang menempel pada jersey Blaugrana adalah UNICEF, sebuah lembaga amal untuk anak-anak

Kesepakatan sponsor ini pun terbilang tidak biasa, karena Barcelona justru berkontribusi mendonasikan 1,5 juta euro per tahun kepada UNICEF (0.7 persen dari total pendapatan) melalui FC Barcelona Foundation. Melihat kesepakatan ini, boleh dibilang Barca-lah yang menjadi sponsor UNICEF, bukan sebaliknya.

Selain itu, Barcelona juga menjadi wadah bagi pemuda Katalunya menyalurkan serta mengembangkan bakat sepak bola mereka. Akademi La Masia terkenal menghasilkan banyak pemain hebat. Lionel Messi, Xavi Hernandez, Andres Iniesta, Pep Guardiola, dan Carles Puyol menjadi nama-nama terbaik lulusan La Masia.

Bahkan 3 nama yang disebut pertama pernah sama-sama masuk menjadi 3 kandidat teratas Ballon D’Or 2010. Sebuah pencapaian yang dirasa akan sulit ditiru akademi manapun.

Baca juga: Para Pemain Muda yang Siap Menggebrak LaLiga 2019/2020

Dari segi permainan pun Barcelona memiliki identitas tersendiri. Siapapun pelatihnya, dan gaya apapun yang dipakai, karakternya hanya satu: Menyerang!

Ketika menyerang, mereka diibaratkan seperti orang Katalunya yang ingin mendobrak dominasi Spanyol. Untuk itulah Barcelona pantang bermain bertahan, karena itu adalah simbol ketakutan. Kalah atau menang adalah hal biasa. Tapi keberanian memegang karakter, itulah yang menjadi simbol perlawanan. 

Namun, semua hal di atas, seakan luntur perlahan tergerus waktu. Barcelona yang sekarang adalah “Mismo Que Un Club” atau jika diartikan “Sama seperti klub lainnya”. Barcelona yang sekarang, seperti mengkhianati apa yang mereka tanam sejak lama.

Semua ini dimulai pada 2010, yaitu saat pergantian presiden dari Joan Laporta ke Sandro Rosell, membawa perubahan drastis terhadap FC Barcelona, dan membuat identitas Més Que un Club mulai hilang perlahan dalam tubuh Barcelona.

Dari segi sponsor, Barcelona mulai tergiur dengan iming-iming uang yang bisa didapatkan dari jenama tertentu yang ingin namanya terpampang di jersey Barcelona. Apa lagi saat itu Barcelona termasuk dalam tim  yang sangat menjual baik dari sisi penjualan jersey maupun pamor di kalangan masyarakat. Ditambah di era industri, tidak bisa dipungkiri bahwa kucuran dana dari sponsor yang sangat besar sangat berpengaruh ke keuangan klub.

Akhirnya sebuah kesepakatan dengan Qatar Foundation membuat sang klub Katalunya bakal mengantongi 30 juta euro per tahun hingga 2016, dengan sejumlah tambahan bonus tergantung sukses yang mereka raih di lapangan.

Dikutip dari Guardian, kesepakatan kontrak 150 juta euro merupakan nilai terbesar dalam sejarah sepak bola, bahkan dua kali lipat dari yang didapat Real Madrid sebesar 15 juta euro per musim dari Bwin.

“Dengan ini, Barcelona menjadi klub dengan sponsor terbesar dalam sejarah sepak bola – dan dalam keadaan krisis ekonomi,” kata wakil presiden, Javier Faus, setelah pengumuman sponsor baru. Meski begitu, sejatinya prinsip kemanusiaan masih dianut Barca, karena sejatinya Qatar Foundation merupakan yayasan yang bergerak untuk memajukan pendidikan, pengetahuan ilmiah, riset dan pengembangan komunitas negara-negara arab yang didirikan pada 1995.

Logo Qatar Foundation pun akhirnya dipasang di bagian depan jersey, sementara logo UNICEF dipindahkan ke bagian belakang di bawah nomor punggung pemain.

Setelah dua tahun berjalan, Barca mengonfirmasi jika mereka akan menggunakan logo Qatar Airways di bagian depan seragam, memecahkan tradisi klub yang tidak menggunakan sponsor perusahaan selama 113 tahun berdirinya klub.

Baca juga: No. 17 di Barcelona, Antara Beban dan Kepercayaan

Dengan nilai 25 juta paun per tahun, presiden Sandro Rosell menegaskan perusahaan penerbangan itu akan menggantikan logo Qatar Foundation di bagian depan mulai 1 Juli 2013, sementara logo UNICEF tetap berada di bagian belakang seperti sebelumnya.

Dari sisi pemain, Barcelona juga mengalami pergeseran filosofi. Kita masih ingat pada medium 2000-an awal, Akademi Barcelona dikenal sebagai salah satu akademi terbaik, bahkan saat itu banyak dari fans Barcelona yang mengkritik kampanye Los Galacticos yang diusung Real Madri. Mereka berdalih tetap mampu meraih kesuksesan meskipun hanya berbekal pemain lulusan akademi.

Kenyataannya memang benar, Barcelona saat itu mampu meraih treble winners pada musim 2008/2009 dengan berbekal mayoritas pemain akademi, bahkan dengan pelatih yang juga lulusan La Masia, Pep Guardiola.

Namun, seiring dengan datangnya pendapatan dari sponsor, hal itu turut bergeser. Barcelona yang sekarang, sama saja seperti Real Madrid. Dilansir dari Transfermarkt, sejak tahun 2014 Barcelona telah menghabiskan dana sebesar 1,08 miliar euro. Jumlah itu melebihi PSG dan Manchester City yang terkenal boros dalam pembelian pemain. Ironisnya, jumlah itu jauh di atas Real Madrid yang bahkan hanya menghabiskan 747,3 juta euro dalam 5 tahun.

Alih-alih akan kembali menyeimbangkan antara pemain bintang dengan lulusan La Masia, Barcelona malah semakin jor-joran dalam membeli pemain. Ousmane Dembele, Malcom, Philippe Coutinho, dan Arturo Vidal, menjadi bukti betapa entengnya Barcelona dalam mengeluarkan uang.

Baca juga: Malcom dan 6 Kasus Pembajakan Pemain di Bursa Transfer

Hingga puncaknya pada 18 April 2018, Barcelona bermain tanpa satu pun pemain La Masia tatkala berhadapan dengan Celta Vigo di Balaidos. Padahal pada 25 November 2012, saat menghadapi Levante, sejak menit ke-14, FC Barcelona bermain dengan 11 produk La Masia di dalam lapangan setelah Martin Montoya masuk menggantikan Dani Alves yang cedera.

Dilansir dari laman Transfermarkt, sejauh ini Barcelona memiliki 23 pemain dari 24 pemain utama yang akan didaftarkan untuk mengarungi kompetisi LaLiga musim 2019/2020. Dari 23 nama tersebut, hanya ada 7 pemain yang berasal dari La Masia, mereka adalah Gerard Pique, Jordi Alba, Sergio Busquets, Sergi Roberto, Carles Alena, Rafinha, dan Lionel Messi. 5 dari 7 pemain tersebut sudah berusia di atas 28 tahun.

Legenda Barcelona, Rivaldo, mengkritik Barcelona yang saat ini lebih sering belanja pemain daripada mengorbitkan para pemain muda hasil binaan akademi La Masia.

“Kita selalu berbicara tentang produk akademi berkualitas seperti Xavi Hernandez, Andres Iniesta, dan Carles Puyol. Mereka sekarang sudah tidak ada di klub,” kata Rivaldo dikutip dari Goal, Jumat (04/1).

“Sejak tiga pemain itu, kita sudah tidak pernah lagi melihat pemain dari La Masia yang berkualitas. Barcelona punya struktur pembinaan yang bagus, mereka harus fokus dengan itu sekarang,” ujar Rivaldo menambahkan.

Baca juga: Estadi Johan Cruyff: Bukti Harumnya Nama Sang Legenda Belanda di Barcelona

Dari segi taktik, selepas perginya Pep Guardiola dan Luis Enrique, seperti ada yang berbeda dari permainan Blaugrana. Mereka yang dikenal dengan taktik menyerang sebagai bentuk perlawanan, justru sekarang lebih bermain bertahan. Bahkan di kalangan fans Barca pun menyadari hal tersebut. Apalagi di bawah asuhan Ernesto Valverde, Barcelona dianggap telah kehilangan identitas Tiki Taka mereka.

Modernisasi memang menuntut adanya perubahan dari sebuah klub agar tidak kalah dengan zaman. Namun, sangat disayangkan jika nilai-nilai yang sudah ditanam hampir 120 tahun rusak begitu saja. Apalagi, jika dilihat dari segi historis, slogan “Mes Que Un Club” sangat kental dengan perlawanan rakyat Katalunya terhadap ketidakadilan.

Penulis sejatinya adalah seorang Madridista, saya juga yakin, tulisan ini akan menimbulkan banyak pro dan kontra. Penulis sangat terbuka apabila ada koreksi maupun ingin berdiskusi lebih lanjut, karena sejatinya penulis sangat mengagumi idealisme dan filosofi Barcelona dalam slogan “Mes Que Un Club” dan sangat menyayangkan apabila idealisme yang dibangun sejak lama, luntur begitu saja.

 

*Penulis adalah seorang Madridista yang sedang menjalani masa kuliah di Teknik Elektro, Universitas Negeri Surabaya. Bisa ditemui di akun Twitter @Rijalf19