“Saat ini, kisah Manchester United dan konsistensi bagai ceritaku denganmu yang tak kunjung bersatu. Menanti adalah hal terbaik dan satu-satunya yang bisa kulakukan.”
Pada musim 2019/2020 Manchester United mengawali musim dengan kemenangan empat gol tanpa balas melawan Chelsea, namun para Red Army dibuat deg-degan hingga pekan terakhir demi mengamankan satu tiket ke Liga Champions.
Setan Merah harus jatuh bangun hingga akhirnya dapat nangkring di posisi ketiga klasemen di bawah rival sekota, Manchester City dan Liverpool di pucuk klasemen.
Pada saat itulah, harapan pendukung Manchester United kembali tergugah meski tampil inkonsisten sepanjang musim. Harapan tentang kembalinya perjalanan Sang Setan Merah di kompetisi tertinggi Eropa.
Dalam lain cerita, tepatnya di Liga Europa, skuad asuhan Ole Gunnar Solskjaer ini juga tidak memuaskan. Di perempat-final mereka harus bersusah payah melawan wakil dari Denmark, Copenhagen.
Baru pada menit ke-95 Bruno Fernandes berhasil mengonversi gol dari penalti yang diberikan wasit dan menjadi satu-satunya gol pada laga itu.
Akhirnya, dengan susah payah Manchester United berhasil menembus semi-final dan ditantang oleh rajanya Liga Europa, Sevilla. Pertandingan yang berakhir dengan skor 2-1 untuk kemenangan Sevilla tersebut menjadi akhir cerita perjalanan Setan Merah di Liga Europa musim lalu.
Awal musim 2020/2021 yang buruk bagi Setan Merah
Takluk di tangan Crystal Palace menjadi pembuka perjalanan inkonsisten Manchester United di Liga Inggris musim ini. Memalukannya, laga tersebut digelar di Old Trafford. Pertandingan pertama, kalah di kandang pula. Sebuah awal cerita yang tak diinginkan oleh siapa pun.
Lawatan pertama di Liga Inggris, The Red Devils sukses membungkam Brighton dengan drama penalti di menit 90+10 yang dieksekusi dengan sukses oleh Bruno Fernandes, dan berhasil mengunci kemenangan dengan skor 2-3.
Namun pada pekan ketiga, Manchester United kembali tampil inkonsisten. Paul Pogba dkk. menjamu Tottenham yang datang dengan nakhoda anyar mereka, Jose Mourinho—yang juga pernah menangani klub tuan rumah pada 2016-2018.
Pertandingan yang bertajuk big match tersebut terkesan berat sebelah, pasalnya Anthony Martial yang diganjar kartu merah kontroversial dari wasit setelah membalas sikutan Erik Lamela menjadi awal petaka bagi kubu Setan Merah.
Keadaan tersebut dimanfaatkan oleh Harry Kane dkk. untuk bermain dengan superior, total 62 persen penguasaan bola berhasil diraih oleh mereka dan menutup laga dengan skor telak 1-6 untuk kekalahan sang tuan rumah.
BACA JUGA: Kado Pahit untuk Setan Merah
Perjalanan di Liga Champions yang (awalnya sempat) manis
Berbekal kekalahan menyakitkan dari Tottenham, United terbang ke Prancis, bertandang ke markas raksasa Ligue 1, Paris Saint-Germain (PSG).
Tanpa diduga, Ole tidak menurunkan formasi pakemnya, 4-2-3-1. Seakan mengerti bahwa PSG jauh lebih kuat, skuat Setan Merah pun turun dengan formasi 3-4-3 dengan duet Rashford dan Martial sebagai ujung tombaknya—sekaligus mematahkan anggapan bahwa pelatih asal Norwegia ini miskin strategi.
Terbukti dengan skema tiga beknya, Neymar dan kolega tidak mampu berbuat banyak. Gol PSG pun dicetak oleh kesalahan antisipasi dari Martial. Laga ini ditutup dengan skor 2-1 untuk kemenangan Manchester United.
Pada pekan kedua, United dihadapkan dengan tim yang naik daun di Bundesliga, RB Leipzig. Bermain di Theatre of Dreams—julukan Old Trafford—pasukan Julian Nagelsmann dibuat tak berkutik dan dipaksa mengakui kekalahan dengan skor telak lima gol tanpa balas. Dua kemenangan ini membuat United bertengger di puncak klasemen Grup H.
Di dua laga awal di Eropa Setan Merah seakan kembali berjodoh dengan konsistensi meraih tiga angka satu demi satu pertandingan. Namun siapa sangka perjalanan inkonsistensi tersebut kembali datang bagai mimpi buruk bagi Manchster United.
Inkonsistensi yang melekat pada Manchester United
Performa inkonsiten Manchester United tidak dapat dimungkiri lagi. Keangkeran Old Trafford juga memudar seiring berjalannya waktu.
Dari lima laga yang digelar di Theatre of Dreams musim ini, The Red Devils hanya mampu meraup kemenangan sekali dan sekali seri, sisanya adalah kekalahan.
Laga teranyar, Arsenal datang ke markas kebesaran Sang Setan dan mempermalukan empunya kandang dengan skor tipis 0-1.
Di Liga Champions pula, pekan ketiga United tak berjalan indah seperti sebelumnya. Bertandang ke markas Istanbul Basaksehir, United dipaksa menyerah dengan skor 2-1. Pertahanan Harry Maguire cs. yang berantakan menjadi sorotan pada laga ini.
Dengan performa yang bisa disebut inkonsistensi dan klub sebesar Manchester United yang hanya berjarak 7 poin dari jurang degradasi, posisi kepelatihannya terancam karena hanya mampu memperoleh 10 poin dari 7 pertandingan di Liga Primer Inggris.
Meskipun menang 1-3 dari Everton di laga terakhir sebelum jeda internasional, patut ditunggu gebrakan apa lagi yang akan dibuat oleh The Babyface, Ole Gunnar Solskjaer, demi mengamankan posisi Manchester United sekaligus posisinya sebagai juru taktik The Red Devils.
Semoga saja Manchester United tak lagi tampil ikonsisten seperti yang sudah-sudah. Semoga saja cerita indah Setan Merah bisa berakhir happy ending musim ini, seperti cerita aku dan kamu suatu hari nanti.
*Penulis menyukai gaya bermain Bastian Schweinsteiger, apalagi saat berseragam Setan Merah. Pada saat itulah penulis menyukai klub Manchester United. Suka menulis apa saja, enggak hanya tentang bola. Bisa ditemui di akun Twitter @starklightyear.