Di tim inilah terkenal satu pemain yang menentang omong kosong dilarang gondrong yang juga diurusi oleh pemerintah Medici saat itu. Pemain yang dimaksud adalah Afonso Celso Garcia Reis alias Afonsinho yang lahir pada 3 September 1947. Afonsinho bermain untuk Botafogo sejak 1965 dan pada awal 1970, ia dipinjamkan ke Olaria.
Tak hanya situasi sosial politik yang bersinggungan antara Brasil dan Indonesia sebagaimana saya ceritakan di awal tulisan ini. Afonsinho pun juga memiliki kesempatan yang membawanya ke Indonesia. Pada bulan Mei 1970, Olaria berkunjung ke Indonesia dan melangsungkan tiga pertandingan melawan Persija, Pardedetex, dan Tim Nasional Indonesia.
Nahas bagi Afonsinho, usai kunjungan ke Indonesia tersebut, Botafogo membatalkan masa peminjamannya saat ajang Piala Dunia selesai di bulan Juni. Di bulan Agustus, Botafogo menggelar latihan perdana pasca libur Piala Dunia.
Afonsinho datang ke tempat latihan dengan tampilan yang sedikit berbeda dari sebelum-sebelumnya: rambut gondrong dan brewok yang tebal. Xisto Toniato yang merupakan direktur klub tidak menyukai penampilan tersebut. “Dia terlihat seperti Fidel Castro atau bahkan Che Guevara,” katanya.
Xisto pun akhirnya sepakat bersama sang pelatih, Mario Zagalo untuk melarang Afonsinho ikut berlatih selama ia tidak “memantaskan” penampilannya sebagai pesepak bola profesional. Menariknya sosok Mario Zagalo sendiri adalah pelatih yang sama yang membawa Brasil juara Piala Dunia 1970.
Afonsiho menolak. Baginya, gaya rambut gondrong dan brewok tersebut tidak lebih dari sekedar fashion. Euclides de Freitas dalam The International Journal of History of Sport (2014, 31:10) awalnya Afonsiho tidak berusaha untuk membuat pernyataan politis apa pun lewat penampilannya.
Justru, ia menganggap kampanye dilarang gondrong ini adalah larangan omong kosong yang lantas membuat Afonsiho menjadikan rambut gondrong dan brewok tebalnyanya sebagai simbol perlawanan kampanye tersebut.
Nasib nahas kembali mendatanginya, aktivitasnya sebagai seorang pesepak bola pun total terhenti karena menentang kampanye dilarang gondrong tersebut.
Dalam sepak bola Brasil saat itu berlaku sebuah aturan bernama Lei do Passe. Aturan ini pada dasarnya melarang seorang pemain untuk bermain bagi klub sepak bola lain di seluruh dunia tanpa izin dari klub asalnya.
Dan peraturanini lah yang kemudian diterapkan Botafogo kepada Afonsiho, dengan alasan karena menolak memotong rambut tadi.
Afonsiho yang tidak terima memilih menyelesaikan persoalan ini lewat jalur hukum. Ia pun mengajukan tuntutan ke pengadilan. Singkat cerita, pada 4 Maret 1971, pengadilan tinggi olahraga Brasil mengabulkan tuntutan Afonsiho.
Ia pun mendapatkan “free pass” yang membuatnya tidak lagi terikat dengan Botafogo. Afosinho menjadi pemain pertama dalam sejarah sepak bola Brasil yang mendapatkan “free pass” ini. Menanggapi kemenangan atas kampanye dilarang gondrong tersebut, Afonsiho pun mengatakan, “Aku menang, kini janggut dan rambutku adalah simbol kebebasan.”
Pasca kemenangannya ini, Afonsiho pun memilih untuk kembali bergabung dengan Olaria. Meski delapan bulan tak bermain ternyata Afonsiho tetap dapat tampil memukau bersama Olaria.
Media-media olahraga di Brasil saat itu bahkan menyebutnya sebagai, setidaknya, pemain terbaik di Rio de Janeiro dan hanya tinggal menunggu waktu saja untuk dipanggil tim nasional. Namun, kesempatan tersebut urung didapat karena seperti telah disebutkan, Brasil tengah dilatih oleh Mario Zagalo, “musuh lama” Afonsinho.
Ketika ditanya oleh para jurnalis apa yang menjadi kunci dari penampilan memukaunya tersebut, Afonsiho menjawab, “Hal terpenting adalah kita memiliki kebebasan untuk segala hal, untuk bergerak dan berkreasi. Di sepak bola, terutama pemain sepertiku, hak untuk berkreasi di atas segala-galanya.”
Jawaban tersebut, tentu saja diutarakan Afonsinho bukan hanya sebagai seorang gelandang yang memang dituntut selalu kreatif karena punya tugas utama untuk menciptakan peluang.
Namun juga sebagai manusia merdeka yang punya hak untuk berkespresi, apalagi melihat ketika dilarang gondrong ia merasa kehilangan kebebasan menyangkut salah satu urusan paling personal dalam dirinya yakni gaya rambut.
Afonsinho pensiun dari dunia sepak bola pada 1980. Semenjak itu, ia beralih profesi menjadi seorang dokter, gelar yang telah diraihnya bahkan ketika masih aktif sebagai pesepak bola.
Menariknya dua “dokter sepak bola” yang dimiliki Brasil lekat dengan citra rambut gondrong dan brewok tebal.
Selain Afonsinho publik sepak bola lebih mengenal sosok Socrates yang pada masa jayanya membela rival Botafogo, Corinthians. Kini, di usia yang menginjak ke-73, Afonsinho menikmati masa tuanya di Paqueta, sebuah pulau indah di kota Rio de Janeiro.
Penulis merupakan seorang fan Arsenal dan alumni jurusan Sejarah UNPAD yang berakun twitter di @gifarramzani_