Eropa Italia

Apakah AC Milan Butuh Juru Selamat Seperti Kaka dan Zlatan Ibrahimovic?

Sepak bola tak pernah lepas dari mitos, atau bahkan klenik, yang berada di luar nalar. Misalnya tentang keberadaan satu pemain sebagai magnet prestasi. Performa buruk AC Milan membawa pikiran liar ini menelisik berbagai kemungkinan. Apakah Il Diavollo Rosso membutuhkan sosok “juru selamat” seperti Kaka atau Zlatan Ibrahimovic untuk kembali berjaya?

Sosok sentral selalu mengundang kontroversi dan perdebatan sengit. Bukankah sepak bola adalah permainan tim? Pertanyaan tersebut benar belaka. Namun, untuk situasi tertentu, sebuah klub akan bergantung ke satu pemain ini. Ia dianggap “juru selamat” yang akan melakukan sesuatu ketika klub yang ia bela tengah tertekan.

Yang luar biasa adalah satu pemain ini saja mampu menciptakan berbagai hal di luar nalar. Misalnya dengan bekerja begitu berat untuk membuat peluang, untuk dirinya sendiri, ketika tim tengah kesusahan. Atau, kualitas si juru selamat ikut menular ke rekan-rekannya. Membuat para pemain lain yang dianggap biasa saja menjadi luar biasa.

Selepas meraih Scudetto musim 2003/2004, bulan madu antara Manuel Rui Costa dengan Milan usai. Legenda Portugal tersebut bukan hengkang, namun performanya semakin menurun. Meredup seiring usia. Pada saat yang sama, pemain baru Milan, Ricardo Izecson dos Santos Leite “Kaka”, menunjukkan sinarnya.

karier Kaka

Magis Kaka

Diboyong dari Sao Paolo, Kaka menjadi andalan baru, mengawal barisan penyerang Milan yang sudah diisi Andriy Shevchenko, Filippo Inzaghi, dan John-Dahl Tomasson. Ia bukan gelandang serang dengan imajinasi tanpa batas seperti Rui Costa. Kaka adalah jenis senjata perang, bermain dengan kekuatan, keuletan, dan ketajaman. Ia menghadirkan unsur baru di lini depan Milan.

Performa di musim perdana bersama Milan berbuah gelar Scudetto musim 2003/2004, sekaligus terpilih menjadi pemain terbaik Serie A. Sebuah lesatan cepat, menjadi gambaran bahwa Kaka akan menjadi sosok sentral bagi Milan.

Dan itulah yang memang terjadi, terutama selepas Shevchenko hengkang ke Chelsea. Kaka kemudian menjadi sosok vokal di lini depan. Peran Kaka di lini depan Milan sedikit berubah. Pemain asal Brasil tersebut seperti bermain di antara gelandang serang dan penyerang. Ia seperti second-striker di belakang Inzaghi, bahkan menjadi penyerang itu sendiri.

Ketika sumber gol dalam diri Shevchenko hengkang, ketika Inzaghi tak selalu bermain dalam performa terbaik, posisi Kaka menjadi semakin penting. Ia seperti seorang malaikat penjaga, yang memastikan bahwa semua akan baik-baik saja. Kaka menghadirkan sisi gairah muda ke dalam skuat Milan yang semakin menua.

Penampilan Kaka pada musim itulah yang menahbiskannya menjadi juru selamat. Ia seperti berjuang sendirian di depan, menciptakan sekaligus menyelesaikan peluang. Gemerlap penampilannya membuat Teater Mimpi Manchester United bungkam kehilangan suara. Akselerasi, penempatan posisi, akurasi, dan ketenangan Kaka menjadi narasi utama malam itu.

https://www.youtube.com/watch?v=9F7gUZjvkwg

Pada musim yang sama, Milan berhasil membalas dendam kepada Liverpool di final Liga Champions. Kaka memang tak mencetak gol. Namun, pelanggaran yang berujung gol tendangan bebas Andrea Pirlo yang dibelokkan Inzaghi terjadi setelah Kaka dijatuhkan pemain Liverpool. Pun, gol kemenangan dari kaki Inzaghi berasal dari asis Kaka.

Magis, mungkin kata yang pas untuk menggambarkan kerja keras Kaka membantu Milan tetap di level tertinggi. Magis yang tak lagi terasa di skuat Milan saat ini.

Pesona Zlatan

Kedatangan Zlatan Ibrahimovic pada musim 2010/2011 berbarengan dengan bergabungnya pelatih anyar, Massimiliano Allegri. Skuat Milan pun tak semegah ketika masih Kaka masih ada di dalamnya. Mayoritas skuat Setan Merah adalah pemain senior, Massimo Ambrosini, Clerence Seedorf, Gennaro Gattuso, Mark van Bommel, Alessandro Nesta, Gianluca Zambrotta, dan Christian Abbiati.

Skuat Milan saat itu juga berisi bintang-bintang lawas yang mulai meredup, seperti Ronaldinho, Antonio Cassano, Inzaghi, hingga Robinho. Bahkan pemain-pemain seperti Kevin-Prince Boateng dan Marco Boriello tidak dianggap sebagai pemain kelas satu. Pun satu musim berikutnya ketika Milan mendatangkan Antonio Nocerino.

Bermaterikan pemain seperti itu, Milan justru berhasil meraih Scudetto ke-18. Dengan Zlatan Ibrahimovic sebagai titik sentral, performa Milan hampir selalu terjaga. Ketika bermain buruk, tim masih mampu mencetak gol. Penyerang asal Swedia tersebut tidak menjadi penyerang tersubur di Serie A kala itu. Namun, gol-golnya selalu berarti besar.

Kemampuan Zlaan lainnya adalah membawa rekan-rekannya masuk ke dalam permainan. Tak disangka, Boateng yang sebelumnya pemain kelas dua, menjadi salah satu penampil terbaik musim itu. Nocerino, performanya terangkat setelah berada satu lapangan dengan eks pemain Malmo tersebut. Hingga pada titik tertentu, muncu istilah Ibra-dependencia, atau ketergantungan Milan kepada pemain jangkung ini.

Pentingnya Zlatan bagi Milan sangat mirip dengan Kaka. Kedunya bisa membuat peluang sekaligus menyelesaikannya. Gol Zlatan ke gawang Lecce salah satunya. Situasi-situasi penuh pesona seperti ini yang mambuat Milan tak kehilangan angka.

Milan saat ini

Di atas kertas, skuat Milan saat ini disesaki pemain penuh potensi. Mayoritas masih di usia muda dan usia matang. Bahkan salah satunya pernah menyandang status salah satu pemain bertahan terbaik di dunia. Namun sayangnya, Milan seperti kehilangan sosok pembeda. Sosok yang bisa menenangkan skuat ketika situasi semakin memburuk.

Dari Gianluigi Donnarumma, Leonardo Bonucci, Ricardo Montolivo, Suso, Andre Silva, hingga Hakan Calhanoglu, adalah pemain berkualitas. Namun mereka bukan sosok yang akan maju ke depan dan menanggung semua beban. Sebuah peran yang tentunya begitu berat dan penuh tekanan.

Masalah mental? Mungkin saja. Masalah taktik? Bisa jadi. Kaka mengisi skuat yang dipenuhi pemain juara, mental jelas tebal. Pun ada ahli taktik dalam diri Carlo Ancelotti. Namun, ketika berbicara era Zlatan di Milan, kita berbicara Milan yang penuh keterbatasan. Allegri saat itu tak didukung skuat semewah Juventus dalam empat tahun terakhir.

Jika sudah begini, apakah Milan harus menunggu kedatangan “juru selamat” untuk kesekian kali? Apakah mitos itu akan terus hidup? Jika memang begitu, akan sulit bagi Milan untuk bangkit sebagai sebuah tim. Sebuah situasi yang berbahaya, ketika investasi mereka dipertaruhkan.

Author: Yamadipati Seno (@arsenalskitchen)
Koki Arsenal’s Kitchen