Nasional Bola

Salam Perpisahan Syamsul Haeruddin, Sang Legenda Tanpa Gelar Juara

Lampu stadion Andi Mattalatta Mattoanging telah dipadamkan. Berakhir sudah Go-Jek Traveloka Liga 1 2017 yang ditutup dengan pesta gol PSM Makassar atas tamunya, Madura United. Pertandingan ini juga menjadi perpisahan emosional bagi satu orang, yaitu Syamsul Bahri Haeruddin.

Pemain kelahiran 9 Februari 1983 ini identik dengan PSM sejak awal abad ke-21. Putra daerah asal Gowa ini melejit di musim 2001/2002, pertama kalinya ia menjadi andalan di lini tengah tim juku Eja. Selama bertahun-tahun setelahnya, Syamsul beberapa kali membawa PSM merajai papan atas Liga Indonesia.

Duetnya di lini tengah bersama Ponaryo Astaman nyaris membawa tim Juku Eja menjadi juara dua tahun berturut-turut, yaitu tahun 2003 dan 2004. Meski di dua kesempatan itu PSM gagal mengulang prestasi juara tahun 2000, tapi meroketnya Syamsul di usia yang sangat muda menjadi topik pembicaraan favorit di kalangan suporter. Para pencinta PSM merasa bangga akan kehadiran putra asli Sulawesi Selatan yang bertalenta tinggi ini. Syamsul pun menjadi sorotan yang tak kalah menarik dari duet tajam, Oscar Aravena dan Cristian Gonzales.

Gaya bermainnya yang lugas dan keras, serta perawakannya yang cenderung sangar, membuat banyak kalangan menyamakannya dengan Gennaro Gattuso, gelandang AC Milan dan timnas Italia. Namun, Syamsul sendiri terang-terangan mengidolakan legenda Juventus dan Republik Ceko, Pavel Nedved.

Baca juga: Jatuh Hati pada Pavel Nedved, Sang “Czech Fury”

Tak heran, jika namanya sering disebut di media massa sebagai Syamsul “Nedved” Chairuddin. Tipe permainan yang mirip dengan bintang Persib Bandung, Hariono, membuat banyak pihak selalu menyamakan kedua pemain. Bahkan banyak juga yang menganggap keduanya rival.

Ketika prestasi PSM mulai menurun pada pertengahan dekade 2000-an, Syamsul tetap menjadi kebanggaan tersendiri masyarakat Sulawesi Selatan dengan menjadi putra daerah yang selalu menjadi langganan tim nasional Indonesia. Dari timnas SEA Games 2003 hingga Piala Asia 2007, ia selalu menjadi pilihan utama di tim Merah-Putih. Sayang, setelah Piala Kemerdekaan dan Piala AFF tahun 2008, penampilannya dianggap menurun sehingga tak pernah lagi dipanggil, apalagi dengan semakin banyaknya saingan, antara lain Firman Utina, Eka Ramdani, dan juga Hariono.

Tahun 2010, para pencinta PSM cukup bersedih ketika sang idola memutuskan untuk pindah ke Persija. Padahal, berulang kali ia sudah berikrar kepada media bahwa ia tak akan pernah meninggalkan PSM. Meski demikian, ia baru meninggalkan tim setelah Juku Eja, yang saat itu berkubang di papan bawah, aman dari jeratan degradasi di akhir musim 2009/2010. Ia pun tidak menjadi bagian dari PSM yang hijrah dari Liga Super Indonesia ke Liga Primer Indonesia pada tahun 2010.

Untungnya, setelah dua tahun berkelana bersama Persija dan Sriwijaya FC, akhirnya Syamsul pun pulang ke klub yang telah membesarkan namanya. Ia pun kembali menjadi bagian di saat-saat sulit PSM, antara lain di Liga Primer Indonesia, hingga kembali bermain di Liga Super Indonesia.

Ketika pertama kali diwawancarai wartawan setelah pulang ke PSM di awal tahun 2012, dengan tegas Syamsul mengungkapkan niat ingin menutup karier di Makassar. Bukan hanya itu, ia sempat menolak panggilan pelatnas tim nasional demi memberi jalan kepada talenta-talenta yang lebih muda. Di PSM, peran Syamsul bertambah. Selain menjadi penyeimbang di lapangan tengah, ia juga menjadi panutan di dalam dan di luar lapangan bagi para calon penerus Ramang.

Pada Liga 1 2017, peran sang legenda memang sangat terbatas berkat melimpahnya talenta di lini tengah Juku Eja. Selain duet Belanda, Marc Klok dan Wiljan Pluim, Syamsul masih harus menunggu giliran setelah Rizky Pellu, Asnawi Mangkualam, dan Muhammad Arfan. Namun, bukti kehebatannya masih terlihat ketika tampil sebagai starter melawan Bhayangkara FC di pekan ke-13 bulan Juli lalu. Syamsul mencetak gol indah melalui sebuah tembakan first time yang tak mampu ditahan kiper lawan.

Dengan berakhirnya Liga 1, Syamsul harus puas dengan catatan enam penampilan dan satu gol. Pesta gol 6-1 ke gawang Madura United pun seolah menjadi pertandingan perpisahan bagi sang legenda.

“Sudah hampir 15 tahun saya bersama PSM Makassar. Saya gagal memberikan gelar juara. Saya pamit, masih banyak pemain muda yang harus diberi kesempatan berkontribusi,” tutur Syamsul pada sesi konferensi pers sambil menangis terharu.

Ia tak merinci apakah akan langsung pensiun atau masih akan bermain di klub lain. Yang jelas, sang legenda pun pamit, dan para pendukung PSM merasa kehilangan pengabdi setia mereka. Meski demikian, rasanya tak seorang pun menganggap masa bakti Syamsul selama 15 tahun itu gagal atau sia-sia.

Author: Mahir Pradana (@maheeeR)
Mahir Pradana adalah pencinta sepak bola yang sedang bermukim di Spanyol. Penulis buku ‘Home & Away’.