“Ia tidak bisa bermain bola, sama sekali”. Kalimat yang diucapkan almarhum Johan Cruyff itu sangat bertentangan dengan jumlah gol dan trofi yang diraih seorang Filippo Inzaghi, tapi pernyataan tersebut memang benar adanya.
Inzaghi adalah anti-teori dari para penyerang tajam AC Milan. Mulai dari George Weah, Andriy Shevchenko, hingga si bebek Alexandre Pato, semua menggunakan kecepatan lari untuk menembus barikade lini belakang lawan. Akan tetapi, tak ada satupun di antara mereka yang mampu menandingi jurus jitu Inzaghi.
Sir Alex Ferguson terkenal dengan komentarnya yang mengatakan bahwa pemain lulusan akademi Piacenza ini terlahir offside, menanggapi gol-gol Inzaghi yang diawali dari posisinya yang sangat tipis dengan pemain terakhir di area pertahanan lawan. Jamie Carragher juga mengakui bahwa mengamati pergerakan Inzaghi sangat melelahkan, yang membuatnya kecolongan saat Inzaghi mencetak gol keduanya di final Liga Champions 2007.
Jika Anda melihat tayangan ulang gol itu, Anda akan menyadari bahwa Inzaghi awalnya hanya berlari-lari kecil, memperkirakan apa yang akan dilakukan Kaká yang saat itu sedang membawa bola, dan seketika, ketika Kaká melakukan ancang-ancang hendak memberikan umpan terobosan, Pippo sudah berada satu langkah di depan Carragher, menyelinap di belakang lini belakang Liverpool
Super Pippo mendapat umpan manis dari rekannya yag religius itu, mengecoh Pepe Reina, menendang bola dengan sangat lemah, dan gol. Sebuah aksi yang Inzaghi banget, lolos dari perangkap offside dan diselesaikan dengan sontekan pelan.
Itulah sebabnya mengapa Inzaghi sangat dibenci lawan, tapi juga sering membuat khawatir para pendukung Milan. Tubuhnya kurus, tidak punya skill olah bola yang mumpuni, ia bahkan malas berduel udara dan lebih memilih untuk mundur beberapa langkah, berharap sang lawan melakukan kesalahan, tapi itulah kehebatan Inzaghi.
Sir Alex Ferguson, selain mengatakan bahwa Inzaghi terlahir offside, juga pernah berujar bahwa ketika si nomor punggung 9 ini bermain, ia tidak akan berkeringat. Lihat saja apa yang dilakukan Super Pippo selama berdiri di atas lapangan. Ia hanya mengeluarkan energi saat mengejar bola di area kotak penalti lawan. Bajunya tidak basah kuyup karena tidak banyak berkeringat.
Ia tidak membantu pertahanan, tidak bisa menjadi pemantul, tidak mampu bermain melebar, tetapi ia bisa mengejutkan lawan dengan tiba-tiba berada di kotak penalti dengan bola sudah berada di kakinya dan tinggal berhadapan dengan kiper.
Situasi itu mirip ketika kita sedang berkendara di jalan raya dengan tenang dan tiba-tiba dari belakang ada bis yang melaju kencang dan membunyikan klakson. Mengejutkan, menjengkelkan, sekaligus membahayakan.
Namun itu belum membicarakan tentang penyelesaian akhir pemain yang sedang berulang tahun ke-44 ini. Melihat bagaimana Inzaghi mencetak gol, ibaratnya melihat seorang balita sedang menendang bola ke gawang kecil yang dijaga ayahnya. Lemah, pelan, tidak cetar membahana, tapi gol. Angka di papan skor berubah dan namanya tercantum di sana.
Cara Inzaghi mencetak gol seakan-akan mengejek Lionel Messi yang harus meliuk-liuk melewati lawan demi menceploskan bola ke gawang lawan, Steven Gerrard yang harus bersusah payah melakukan tendangan keras dari luar kotak penalti demi sebiji gol, atau David Beckham yang harus menunggu timnya mendapat tendangan bebas agar dapat berselebrasi.
Para pembaca bisa menyaksikan kembali gol kedua Inzaghi di leg kedua babak 16 besar Liga Champions 2005/2006. Sebuah ketidaksengajaan yang berawal dari kakinya yang lemah, tapi berakhir dengan indah. Membuat seorang Oliver Kahn tertunduk dua kali di hadapannya.
https://www.youtube.com/watch?v=fo5h4Qqb5Yk
Bagaimanapun caranya, gol tetaplah gol. Sepak bola berbeda dengan basket, tidak peduli seberapa jauh jarak tendangan atau seberapa dahsyat proses terciptanya gol, satu bola yang bersarang di gawang tetap dihitung satu gol, dan Inzaghi adalah Lord Petyr Baelish di serial Game of Thrones dalam hal ini. Tidak pandai bertarung, tapi selalu mencapai tujuan.
Mamayo, Super Pippo!
Author: Aditya Jaya Iswara (@joyoisworo)
Milanisti paruh waktu yang berharap Andriy Shevchenko kembali muda dan membawa AC Milan juara Liga Champions Eropa lagi.