Eropa Italia

Saya Ingin Seperti Antonio Cassano

“You are piece of shit. You are more fake than monopoly money.”

Dua kalimat ini sangat mencolok mata ketika pertama kali saya temukan di halaman awal buku Sepakbola Seribu Tafsir karya Eddward S. Kennedy. Saya tahu bagaimana Antonio Cassano bertingkah. Dongeng tentangnya sudah melegenda bagi anak 1990-an yang menikmati kemeriahan Serie A sebelum uang dan popularitas bergeser ke Liga Primer Inggris.

Tapi sialnya, saya tidak tahu asal-usul kata-kata itu kenapa bisa keluar dari seorang Cassano. Untuk siapa kata-kata itu? Dan ini pertanyaan yang paling penting: untuk apa dua kalimat bernas tersebut muncul dari mulut Cassano?

Melihat pemain asal Bari ini, kita perlu keluar sejenak dari apa yang orang dewasa sering bilang sebagai batas antara baik dan buruk. Kamu tahu, orang dewasa itu pembual, jadi sebaiknya kita enyahkan batas hitam dan putih tersebut. Bagi saya, tidak ada batas yang perlu dijelaskan antara si baik dan si jahat, karena semuanya relatif. Sama seperti ketika Aditya Jaya, salah satu penulis kami di Football Tribe, memberi pengakuan ke saya bahwa ia pencinta Dewi Perssik yang taat, saya tidak bereaksi sama sekali.

Semua orang punya selera mereka masing-masing. Bahkan bila Budi Windekind suatu waktu membuat pengakuan terbuka bahwa, misal, beliau mengidolai Sumanto, kita pun sebaiknya menerima hal tersebut sebagai hal yang biasa saja. Tak perlu dikritisi dan diberi reaksi berlebihan.

Dan dengan cara tersebut sebaiknya kita melihat Antonio Cassano. Saya belum genap berusia 10 tahun ketika bapak saya, seorang Romanisti, mengajak menonton AS Roma. Satu idola bapak saat itu, bukan Francesco Totti atau Vincenzo Montella, melainkan si gondrong dengan tendangan maut, Gabriel Batistusa. Bapak yang pertama bilang ke saya bahwa Batistuta adalah satu-satunya pemain sepak bola yang mendekati sosok Yesus Kristus. Bertahun-tahun kemudian anggapan bapak terbantahkan dengan kemunculan Georgios Samaras.

Cassano, yang direkrut di awal musim 2001/2002, sesaat setelah I Lupi meraih Scudetto semusim sebelumnya, langsung mencuri atensi saya. Gaya mainnya unik, seorang fantasista, mirip seperti apa yang bapak kerap dongengkan tentang Roberto Baggio. Bersama Damiano Tommasi, Cassano adalah dua pemain sepak bola dunia yang saya idolai. Bila Tommasi memesona dengan rambut keritingnya yang berantakan dan gaya main spartan ala pejuang Romawi, Cassano justru menawarkan fantasi. Saya suka fantasi dan seperti Cassano beberapa tahun kemudian, saya juga menolak tumbuh dewasa, seperti Cassano.

Fabio Capello, pelatih ikonik Italia yang merekrutnya dari Bari ke Roma, berujar bahwa buruknya etos kerja di lapangan yang dimiliki Cassano tidak layak mendapat tempat sedikitpun di klub sepak bola profesional di kasta tertinggi. Kamu tahu yang terjadi kemudian? Capello juga yang kemudian merekrut Fantantonio ke Santiago Bernabeu untuk reuni bersamanya.

Previous
Page 1 / 2