Akhir-akhir ini, istilah Overton window mulai populer, terutama di bidang politik. Yang dimaksud sebagai Overton window adalah teori politik tentang adanya satu jendela atau batasan bagaimana sebuah kebijakan atau ide politik, mampu diterima oleh publik. Ide-ide atau kebijakan yang berada di jendela tersebut adalah ide yang diharapkan oleh publik, yang dapat diterima oleh masyarakat umum.
Di lain pihak, ide atau kebijakan lain yang berada di luar batasan jendela tersebut diurutkan mulai dari ide yang radikal, konyol, lalu yang paling ekstrem adalah tak masuk akal.
Konsep yang ditemukan oleh Joseph Overton, mantan Wakil Presiden Mackinac Center for Public Policy, sebuah badan penelitian pasar di Amerika Serikat ini mulai populer semenjak dilantiknya Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat. Trump memulai jejak kepresidenannya dengan segelintir perkataan dan kebijakan yang luar biasa kontroversial, seperti upayanya untuk membangun tembok dengan Meksiko, hingga yang terbaru menyebut Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Anehnya, semakin ke sini, publik semakin terbiasa dengan kebijakan kontroversial Trump yang sebenarnya tak masuk akal. Lama kelamaan, tindakan Trump yang sebenarnya tidak normal menjadi normal, dan sudah diekspektasikan oleh orang banyak. Hal ini bisa terjadi karena Trump mampu memanipulasi Overton window-nya.
Overton pernah berargumen, bahwa cara termudah untuk menggeser teori jendelanya adalah dengan langsung menawarkan ide yang paling ekstrem, ide yang tak masuk akal. Dengan begitu, publik bisa menoleransi, bahkan menerima ide yang berada di kategori radikal, dan konyol, sehingga perlahan-lahan ide yang masuk ke kategori tersebut menjadi normal karena jendela secara tidak disadari, telah bergeser.
Inilah yang dilakukan secara cerdik oleh Trump, dengan menyodorkan ide-ide gila seperti membangun tembok pembatas dengan negara lain, hingga pada akhirnya kebijakannya akhir-akhir ini yang sebenarnya juga tidak waras, terasa menjadi normal.
Overton window pada dasarnya adalah sebuah teori yang lazim di bidang politik, namun karena konsepnya yang universal, rasanya teori ini juga bisa dipakai untuk membahas sepak bola.
Manajer Arsenal, Arsene Wenger, sepertinya adalah salah satu figur di sepak bola yang juga pandai dalam memanipulasi Overton window-nya. Pasca-laga melawan Liverpool Sabtu dini hari (23/12) kemarin yang berakhir dengan hasil imbang bagi kedua tim, manajer asal Prancis ini melontarkan pernyataan yang cukup menarik.
Dilansir dari Sky Sports, Wenger tanpa malu-malu menyatakan bahwa skuat asuhannya bertahan dengan baik di pertandingan tersebut.
“Saya tak paham dengan parkir bus, menurut saya tim kami bertahan dengan baik, namun dengan kualitas yang mereka (Liverpool) miliki, mereka akan selalu mampu untuk mencetak gol.”
Bagi Tribes yang menonton pertandingan subuh kemarin, tentunya pasti akan terkejut dengan pernyataan Wenger yang satu ini. Bagaimana mungkin, sebuah tim yang bermain di kandang sendiri, kebobolan tiga gol? Kita tentunya tidak berbicara tentang klub-klub gurem seperti Swansea City, West Bromwich Albion, atau Newcastle United yang kualitas pemainnya memungkinkan hal-hal seperti ini terjadi.
Kita sedang membicarakan tentang Arsenal, klub yang masuk ke dalam lima besar terbaik di Liga Primer Inggris dalam 21 tahun terakhir, klub yang berada di peringkat empat Liga Primer Inggris dalam mengeluarkan gaji bagi pemainnya. Kemasukan tiga gol di kandang sendiri bukanlah hal yang normal, namun Wenger nampaknya ingin membuat hal tersebut normal dengan memberikan ide tak masuk akal bahwa skuatnya bertahan dengan cemerlang.
Pasalnya, Arsenal tak sekedar kebobolan tiga gol ketika menjamu Jürgen Klopp dan anak buahnya. Pertahanan The Gunners begitu buruk, dan apabila penyelesaian akhir Sadio Mane dan kolega sedikit saja lebih baik, bisa dipastikan gawang Petr Cech akan kebobolan lebih dari tiga gol.
Di babak pertama, apabila Mane tidak mencoba menendang bola dengan gaya akrobatik yang spektakuler, lalu apabila Roberto Firmino mampu sedikit mengatur tenaganya, skor paruh awal laga bisa berakhir dengan 0-3. Memang, seperti kata Wenger, kualitas trisula Firmino-Mane, dan Mohamed Salah begitu berbahaya, terlebih ketika disokong oleh Philippe Coutinho di belakang mereka, namun ketidakkompakan lini belakang Arsenal-lah yang membuat mereka terlihat begitu digdaya.
Laurent Koscielny yang harus berganti tandem setelah Nacho Monreal cedera di akhir babak pertama terlihat sangat kebingungan, sementara Hector Bellerin di sisi kanan beberapa kali terlihat berada di posisi yang salah. Kesalahan tersebut tentunya ada pada Wenger, yang terlihat tidak memberikan instruksi yang tepat kepada pemain bertahannya.
Tak hanya pertama kali saja di musim ini Arsenal kebobolan tiga gol di kandang. Beberapa minggu lalu, Cech juga harus memungut bola tiga kali dari gawangnya setelah dikalahkan oleh Manchester United.
Lantas, pernyataan Wenger tentunya berbahaya, karena pada dasarnya ia seperti berusaha untuk menormalkan kebobrokan lini pertahanannya. Perkataan Wenger bisa menjadi racun yang memabukkan karena tak seharusnya ia memuji skuatnya dengan mengatakan bahwa mereka bertahan dengan baik. Ia juga sepertinya berusaha untuk memanipulasi para Gooner agar memaklumi fakta bahwa timnya dijebol tiga kali di hadapan pendukung sendiri hanya dalam jarak dua minggu.
Tidak, hal seperti ini tidak seharusnya diterima dan dianggap normal. Bagi klub besar di manapun, kemasukan tiga gol di kandang sendiri berarti ada sebuah kesalahan yang terjadi di lini belakangnya. Hanya seseorang yang delusional yang menganggap bahwa skuat asuhannya bertahan dengan baik, atau orang yang ingin menggeser batas normal ide-idenya menjadi sesuatu yang konyol.
Author: Ganesha Arif Lesmana (@ganesharif)
Penggemar sepak bola dan basket