Eropa Inggris

Menambang Determinasi Mohamed Salah

Motivasi setiap pesepak bola tentu berbeda. Ada yang berlatih begitu keras karena ingin terbebas dari himpitan ekonomi. Ada pula yang bermain karena, pada awalnya, ingin bersenang-senang. Bagi Mohamed Salah, motivasinya bermain sepak bola mengendap begitu kuat. Menambang asal determinasi Salah adalah usaha mengenal kembali makna pengorbanan dan kekecewaan.

Mohamed Salah adalah lesatan cepat untuk Mesir. Mungkin, setelah Mohamed Aboutrika, Mohamed Salah adalah pesepak bola terbesar yang (akan) dimiliki negara yang beribu kota di Kairo tersebut. Salah memang masih dalam tahap “menuju”. Namun kita semua tahu, potensi besar yang dibawa oleh pemain berusia 25 tahun tersebut.

Basel, Fiorentina, AS Roma, dan Liverpool adalah deretan klub yang pasti akan bersyukur sempat berkasih mesra dengan Salah. Hanya Chelsea bersama Jose Mourinho yang gagal memanen kualitas dari seorang Mohamed Salah. Namun perlu diingat, masa-masa suram bersama Chelsea justru membentuk dirinya yang seperti sekarang. Kita bicarakan nanti.

Jika menikmati cara bermain Salah saat ini, kesan pekerja keras dengan determinasi tinggi adalah yang akan terasa. Kecepatan dan akselerasi tingggi membuat dirinya begitu menonjol di atas lapangan. Bersama Sadio Mane, Salah adalah dua pelari cepat Liverpool yang bisa menjadi mimpi buruk tim mana saja.

Selain kecepatan dan akselerasi, determinasi salah juga terletak pada sikapnya yang tak ingin kalah, terutama soal mempertahankan bola. Olah bolanya kelas elite, dengan kekuatan fisik yang tak terperkirakan sebelumnya. Visinya begitu jelas. Golnya ke gawang Bournemouth adalah wujud determinasi itu.

Perhatikan proses Salah masuk ke dalam kotak penalti. Ia terlihat “memaksa”, menggangu lawan yang mengejarnya menggunakan tangan, untuk bisa masuk dan mengarahkan bola ke kaki kuatnya, kaki kiri. Namun, Salah sudah memperhitungkan bahwa ia bisa menerobos dan menemukan ruang. Dan benar, ketika berhasil masuk dan menemukan ruang, dengan mudah Salah mengarahkan bola ke tiang jauh. Gol!

Gerak masuk ke dalam kotak penalti dari sisi kanan lalu menembak menggunakan kaki kiri menjadi senjata Salah. Semakin hari, senjata ini semakin matang. Meski terlihat “mudah ditebak”, nyatanya, lawan selalu kesulitan untuk menghentikan laju Salah. Semakin hari, Mohamed Salah disebut semakin mirip dengan Arjen Robben. Sangat efektif.

Mengasah satu senjata dan menggunakannya tanpa keraguan diperlukan tingkat kepercayaan diri yang tinggi. Tanpa keyakinan, sehebat apapun tembakan yang dilepaskan, hasil positif tidak selalu bisa dicapai. Artinya, keyakinan itu dilambari dengan mental. Dua hal inilah yang membekali Salah ketika ia kali pertama meninggalkan Mesir untuk mengejar mimpinya menjadi “sesuatu yang besar”.

Sesuatu yang besar itu…

Klub profesional Salah yang pertama adalah Arab Contractor di Kairo. Sementara itu, waktu tempuh dari desa di mana Salah bermukim hingga Kairo adalah 4,5 jam paling lama. Jadwal Salah berlatih adalah lima hari dalam satu minggu. Oleh sebab itu, setiap hari, pulang dan pergi, Salah akan menempuh waktu sembilan jam, dengan berganti bus hingga lima kali, hanya untuk berlatih sepak bola.

Tak hanya berkorban tenaga dan biaya, Salah juga harus mengorbankan pendidikannya. Dari sekolah tempatnya belajar, Salah mendapatkan dispensasi untuk pergi berlatih. Maklum, ia harus berangkat lebih awal supaya tidak terlambat berlatih bersama Arab Contractor. Praktis, di sekolah, Salah hanya ikut belajar selama dua jam saja.

Salah selalu berangkat berlatih sekitar jam sembilan dari sekolahnya. Ia akan sampai di tempat latihan sekitar pukul dua atau 2:30. Latihannya sendiri dimulai pukul 03:00 atau 03:30. Latihan selesai pada pukul 06:00 dan Salah tiba di rumah sekitar pukul 10:00 atau 10:30. Setelah itu, yang ia lakukan hanya makan dan tidur. Rutinitas gila itu Salah lakoni selama sekitar tiga tahun. Mengapa Salah bisa menjalaninya dengan bahagia?

“Saat itu, semuanya terasa sulit. Saya masih sangat muda dan sangat ingin menjadi pesepak bola. Saya ingin menjadi pemain besar. Saya berasal dari kaluarga yang kurang mampu. Seorang anak kecil berusia 14 tahun dengan mimpi besar. Saat itu, saya tak mengira jika cita-cita ini bisa terwujud. Saat itu, saya sangat ingin mewujudkan cita-cita saya,” ucap Salah kepada situsweb resmi Liverpool.

“Jika tak menjadi pesepak bola, saya tak tahu saya akan jadi apa. Sejak saya bermain sepak bola secara profesional di usia 14 tahun, yang ada di dalam pikiran saya hanya menjadi pesepak bola. Jika saya gagal menjadi pesepak bola, saya yakin hidup saya akan sulit karena saya sudah mengorbankan semuanya untuk sepak bola,” tambahnya.

Anda bisa membayangkan situasinya? Ia tidak berasal dari keluar yang kaya. Ia mengorbankan segalanya untuk satu kesempatan. Salah sadar bahwa kesempatan ini hanya akan terjadi satu kali dan ia harus mempertaruhkan semuanya demi cita-cita. Salah juga sadar bahwa jika gagal, hidupnya akan semakin berat. “Hidup” di sini bukan hanya kehidupan pribadinya, namun kita juga berbicara kehidupan keluarga Salah.

Sejak muda, Salah hanya fokus menjadi “sesuatu yang besar”, seorang pemain yang besar. Tanpa pengorbanan, dan terutama determinasi, cita-citanya tidak akan terwujud.

Kekecewaan dan keharusan berkembang

Ketika bisa bergabung bersama Chelsea, Salah tahu bahwa hidupnya sudah berada di jalan yang benar. Namun, ketika sudah merasa kehidupan berjalan dengan baik, manusia akan menurunkan kewaspadaan. Di situ hambatan akan muncul.

Praktis, Salah bergabung dengan Chelsea tanpa membawa modal yang cukup. Bahasa Inggris-nya sangat minimal. Fisiknya belum siap dengan tuntutan Liga Primer Inggris. Pemahaman taktik dan kebutuhan beradaptasi belum ia miliki. Maka praktis, Salah kesulitan menembus tim utama. Hingga pada akhirnya, ia “dibuang” ke Italia.

Salah justru mensyukuri masa-masa berat bersama Chelsea. “Saya harus belajar lebih banyak lagi dan bersama Chelsea, saya belajar banyak. Saya belajar untuk lebih profesional untuk menjadi sosok individu dan pesepak bola yang jauh lebih baik.”

Kekecewaan itu Salah bawa ke Italia. Salah mengakui bahwa periode di Italia sudah mengubah persepsinya sendiri akan sebuah pertandingan, terutama setelah berseragam AS Roma. Secara khusus, Salah mengakui kontribusi Luciano Spalletti di dalam kariernya.

“Ia membantu saya, tak hanya soal sepak bola, namun juga memperbaiki karakter saya. Ia membantu saya mengembangkan teknik bertahan saya. Ia menunjukkan saya cara bertahan bersama tim dan di aspek itu saya berkembang pesat. Masa-masa bersama Fiorentina, lalu kemudian Roma, sukses mengubah persepsi saya.”

Ada adagium yang masih bertahan bahwa Italia adalah arena yang paling tepat bagi pemain muda untuk belajar taktik. Salah menjadi buktinya. Di usia 25 tahun, Salah bisa beradaptasi dengan perubahan-perubahan skema yang dilakukan Jürgen Klopp. Keharusan untuk berkembang “memaksa” Salah menjadi pemain yang lebih komplet.

Dari kesadaran untuk menjadi pesepak bola, dari keberaniannya mempertaruhkan masa depan, dari usaha bangkit dari kekecewaan, dan dari pengalamannya belajar di Italia, membuat Salah paham ia tak boleh lengah. Kesadaran tunggal ini yang membuat determinasinya untuk tak kalah selalu menyala-nyala.

Nyala terang determinasi ini perlu dijaga oleh Salah dan Liverpool karena nyala terang inilah yang berpeluang membawa mereka kembali ke mimbar para juara.

Author: Yamadipati Seno (@arsenalskitchen)
Koki Arsenal’s Kitchen