Suara Pembaca

Melawan Cengkeraman Penguasa seperti Boavista

Membuka tulisan ini, saya harus bilang bahwa Boavista adalah kisah dongeng yang tak biasa. Beberapa tahun lalu, dunia sepakbola dikejutkan oleh Leicester City yang berhasil mengobrak-abrik kemapanan klub-klub padat modal di Inggris dengan menjadi kampiun Premier League musim 2015/2016. Mundur sedikit ke tahun 2012, kita punya kisah ajaib dari sudut negeri Prancis. Adalah Montpellier yang berhasil menyela dominasi klub klasik Prancis macam Olympique Lyon, Marseille, dan Paris Saint-Germain (PSG) yang mulai diguyur dana taipan Timur Tengah.

Namun jika berbicara soal pembebasan atas hegemoni di konteks sepakbola, tidak ada yang lebih mencengangkan ketimbang legenda awal millenium di negeri Portugis. Syahdan, Liga Portugal merupakan bancakan Os Tres Grandes (The Big Three), yaitu Sporting CP, Benfica, dan Porto.

Bayangkan saja, selama 92 tahun pelaksanaannya, hanya sebelas kali posisi runner-up diisi oleh klub di luar tiga klub besar ini. Bagaimana dengan yang berhasil juara? Hanya dua. Bukan dua belas atau pun dua puluh. Benar-benar hanya dua, yaitu Belenenses tahun 1945/1946 dan satunya lagi, yang akan menjadi bahan gunjingan kita kali ini, Boavista di musim 2000/2001. Bila kita kerap memandang remeh Liga Prancis sebagai liga petani, saking mudahnya PSG memanen titel, simpan dulu pikiran itu.

Jayanya Belenenses cukup dipengaruhi oleh iklim politik diktator Portugal kala itu yang menguntungkan mereka sebagai tim ibu kota. Skemanya mirip dengan hegemoni Real Madrid di Spanyol pada medio 1930-1950-an berkat campur tangan Jenderal Franco.

Nah, untuk Boavista, kasusnya tidak serupa. Tidak ada campur tangan rezim atau keuntungan politik tertentu. Selain itu, dominasi Os Tres Grandes yang sudah sedemikian mencengkeram menjadikan kisah Boavista lebih legendaris. Bisa dikatakan, kejayaan Boavista di awal milenium cukup oke bila dijadikan cetak biru perlawanan tim medioker atas kemapanan klub-klub kaya. 

 

Bukan sulap satu malam

Satu hal utama yang diajarkan oleh Boavista dalam meniti perlawanan adalah revolusi tidak jatuh dari langit. Betapa pun ajaibnya kisah mereka, semuanya ditata dalam satu rencana yang memang fantastis. Semuanya berasal dari hal yang lebih fundamental, yaitu restrukturisasi manajerial klub dimulai dari penunjukkan Joao sebagai presiden klub menggantikan ayahnya, Valerim.

Pergantian pimpinan di Boavista berbeda dengan apa yang terjadi pada “klub kaya baru” seperti Manchester City atau pun PSG di mana Boavista kala itu tak membonceng karung uang. Hanya satu yang dimiliki Joao dan tidak dimiliki oleh ayahnya: Gairah. 

Joao muda, berusia 34 tahun saat dilantik, tidak menghendaki klubnya hanya diingat sebagai kumpulan medioker berkostum papan catur. Sebagaimana syair Rhoma Irama bahwa pemuda “selalu merasa gagah dan tak pernah mau mengalah”, begitu pun dengan Joao.

Kesukesan mereka merengkuh trofi Piala Spanyol 1997 tak membuatnya berpuas diri. Demi membangun tim, hal pertama yang dilakukan olehnya adalah menunjuk Jaime Pacheco guna menukangi proyek ambisius Boavista. Berbeda dari tipikal pelatih genius yang butuh dana segar tak terbatas macam Pep Guardiola atau Jose Mourinho, Pacheco lebih condong seperti Juergen Klopp yang pandai memotivasi pemain dan lihai menyiasati keterbatasan dana. Untuk itulah, Pacheco dan Boavista seperti sudah digariskan oleh Dewi Fortuna untuk bertemu, bersatu, dan berjaya. 

Benar saja, di musim kedua kepelatihannya, tangan emas Pacheco berhasil memboyong Boavista ke posisi runner-up liga. Mengakhiri musim dengan 71 poin, momen ini menjadi pelecut moral tim karena pertama kalinya dalam sejarah klub koleksi poin mereka mencapai kepala tujuh. Musim selanjutnya pun tak buruk-buruk amat bagi mereka dengan finis di empat besar, tentunya di belakang Os Tres Grandes. Mungkin ceritanya akan lain bila sang ayah masih mengepalai Boavista. Memilih untuk nrimo, melepas pemain yang sedang gacor sembari mengamankan kas keuangan.

Namun sekali lagi, ini adalah Boavista-nya Joao yang penuh gairah muda.

 

Perlawanan adalah kerja kolektif

Mengutip Tan Malaka dalam Aksi Massa bahwa kemerdekaan bukanlah hasil kepahlawanan satu-dua tokoh. Lebih dari itu, perlawanan terhadap penindasan adalah kerja kolektif atau akrab kita sebut dengan filosofi gotong-royong. Meski tidak pernah singgah di Indonesia ataupun membaca kitab merah Tan Malaka itu, Pacheco mengamini dengan khidmat prinsip gotong-royong.

Hal tersebut nampak dari model permainan yang diterapkan. Bila boleh membandingkan, Boavista-nya Pacheco ini seperti bentuk ekstrem Atletico Madrid-nya Simeone. Pola 4-4-2 selalu menjadi pakem, dengan sesekali memakai 4-3-3. Namun langgamnya tetap sama, yaitu permainan kolektif. Bukan kolektif flamboyan ala “Total Voetball”-nya Johan Cruyff, namun lebih condong mengedepankan duel fisik seperti halnya Simeone di Atletico Madrid. 

Dikatakan lebih ekstrem ketimbang Atletico Madrid karena permainan kolektif Boavista benar-benar total. Pada musim mereka menjadi kampiun, Boavista berhasil menyarangkan 63 gol. Menjadikan mereka tim terproduktif kedua setelah Porto dengan 73 gol. Meski pun begitu, distribusi golnya sangatlah merata. Tidak terpusat di satu-dua pemain. Pencetak gol terbanyaknya, Elpidio Silva dengan 11 gol, bahkan tidak masuk 10 besar top skor liga musim itu. Berbeda dari Atletico Madrid dengan tradisi memelihara striker haus gol, termasuk di musim 2013/2014 saat mereka menjadi kampiun liga dengan Diego Costa (27 gol) dan David Villa (13 gol). 

Kisah Boavista memang akan selalu dikenang. Keajaibannya akan selalu diharapkan muncul di tengah jagat sepakbola yang kian monoton imbas dari penguasaan modal di segelintir klub kaya. Namun hal yang sia-sia bila terus mengharap munculnya kisah peri laiknya Boavista. Satu hal paling elok yang bisa dilakukan adalah terus berpegang pada hikmah kisah alih-alih terbuai legenda pengantar tidur.

Boavista harus diingat bukan hanya sebagai kisah peri namun lebih dari itu, ia adalah wujud perlawanan kolektif semenjana melawan penguasa.