
Efeknya bukan hanya berimbas pada afeksi, bahkan sampai tingkah laku, keinginan lagi dan lagi, sepak bola telah menjadi candu.
Rasa candu itulah yang telah menutup nalar sebagian “penganut” sepakbola dalam berperilaku. Mereka akan mencari cara apa pun demi memenuhi candu tersebut, dan bertindak kasar ketika ada pihak yang berusaha untuk “mensterilkan” mereka dari rasa candu itu.
Ada berapa banyak kerusuhan yang terjadi akibat laga yang dibatalkan? Atau soal larangan suporter tamu untuk datang ke markas lawan?
Fanatisme telah mengubah pola kebiasaan klub yang mereka bela, seolah kekuasaan tertinggi suatu klub ada pada pendukungnya.
Hal itu terlihat dari banyaknya kerusuhan yang terjadi saat klub kebanggaan kalah, dicurangi wasit, dizalimi federasi, dan berbagai hal lain yang menggambarkan fanatisme menjadi bekal ideologi suporter dalam menamengi klub kebanggaannya.
Lucunya, rasa bangga yang berlebihan itu justru membuat sepak bola semakin digandrungi oleh banyak orang. Mereka tak lagi memandang sepak bola sebagai sebuah olahraga, tapi sebagai kebudayaan warisan entah dari orang tua atau sekadar representatif sebuah kota.
BACA JUGA: Serie A Kembali dengan Gairah Berbeda
Anggapannya, membela sebuah klub sepak bola yang mewakili suatu kota/negara berarti telah membela seisi kota/negara tersebut. Maka tak aneh jika banyak ditemui konflik dua pendukung klub sepak bola justru terlihat sebagai konflik rasial, ideologi, juga politik.
Rupanya hal-hal itu disadari pula oleh kaum oportunis. Baginya, sepak bola bukan hanya olahraga, bukan juga produk kebudayaan, melainkan ladang bisnis yang hasilkan jutaan lembar uang.
Sebelumnya, mari kita ingat soal drama saling klaim antara bangsa Timur dan Barat tentang siapakah penemu pertama sepak bola?
Hari Wahyudi dalam bukunya yang berjudul The Land of Hooligans mengatakan bahwasanya Inggris dan Eropa pada umumnya, sesungguhnya hanya mengembangkan olahraga ini dari apa yang sudah ditemukan oleh orang-orang Asia Tengah.
Bangsa barat berhasil memodifikasi sepak bola menjadi sebuah permainan yang ramah bagi semua kalangan lewat peraturan-peraturan yang dibuatnya. Namun di sisi lain, peraturan tersebut juga menghadirkan drama baru; bahwa sepak bola adalah permainan yang rawan praktik kapitalisme.