Suara Pembaca

Sepak Bola, Fanatisme Buta hingga Simbol Kapitalisme Global

Pernahkah kita menyadari, bahwa sepak bola menyimpan teka-teki yang cukup rumit? Bagaimana sepak bola dapat bertransformasi dari olahraga sederhana menjadi olahraga yang megah dan bertabur pundi-pundi uang di setiap laganya?

Para awam mendefinisikan sepak bola sebagai olahraga yang dimainkan dengan mudah dan sederhana, sesederhana oper, tendang, dan mencetak gol. Juga memahami dengan mudah tim yang paling banyak menang adalah yang akan mendapatkan gelar juara.

Namun bagi para penikmatnya, sepak bola tentu berbicara jauh lebih banyak daripada itu. Sepak bola bukan sekadar hiburan, tetapi mengandung banyak sekali arti dari berbagai gagasan duniawi, ia juga berperan penting dalam mengakomodasi kebahagiaan masyarakat. Sepak bola adalah rumah dari berbagai keluh kesah.

Mungkin Anda familiar dengan kalimat “Football is my religion” yang sekilas tampak bernada provokatif bagi sebagian orang, tapi jika kita menelaah lagi maka kita akan memahami sesuatu.

Bahwasanya bagi penikmatnya, sepak bola telah memasuki aspek-aspek kehidupan sekali pun aspek paling vital atau sensitif. Tanpa disadari, sepak bola telah menghilangkan sekat etnis, suku, dan agama. Semua membaur menjadi satu nama, sepak bola.

BACA JUGA: Serunya Piala Dunia Virtual di Kala Pandemik

Saya senang menganalogikan sepak bola sebagai “miniatur konkret kehidupan manusia”, karena di dalamnya tercampur banyak sekali komponen kehidupan pada umumnya. Rumusan tentang penghilangan sekat etnis, suku, dan agama nyatanya hanya berubah dalam cara kerjanya saja.

Selebihnya, hal-hal tersebut melebur bersama klub kebanggaan dan merepresentasi harga diri masing-masing pendukungnya. Tak aneh jika di negara dengan penduduk yang fanatik sepak bola, sering terjadi konflik semata untuk mempertaruhkan “harga diri” mereka.

Tak hanya itu, sepak bola juga mengandung nilai-nilai ideologis dan politik yang mana sering kali disuguhkan di atas bangku tribun. Semuanya bercampur lebur jadi sebuah identitas, menjelma budaya, melahirkan sensasi, dan  membentuk satu nama, fanatisme.

Fanatisme lahir sebagai bentuk ekspresi hasil dari kawin silang antara cinta dan rasa bangga. Bentuk ekspresi itu berangsur-angsur berubah menjadi sebuah keyakinan yang dibawa oleh masing-masing penganutnya dalam setiap laga kandang maupun tandang.

Keyakinan itulah yang diturunkan dari generasi ke generasi dengan pola yang relatif sama. Fanatisme menjadi ciri bahwa sepak bola bukan perihal menang-kalah, tapi tentang nafkah, pertaruhan harga diri, bahkan hidup-mati.

BACA JUGA: Andres Iniesta dan Hari yang Tak Terlupakan di Afrika

Previous
Page 1 / 4