Sering kali saya mendengar ocehan mengenai buruknya nama-nama klub sepak bola di Indonesia. Beberapa orang menilai “tidak keren”, sebagian lagi beranggapan “kurang menjual”.
Opini yang hadir sering kali membandingkan nama-nama klub Indonesia dengan embel-embel “Per” seperti pada Persija atau “PS” seperti pada PSS Sleman, dengan nama nama-nama klub di Eropa yang lekat dengan penggunaan kata “United” atau “FC”.
Mereka menilai bahwa penggunaan kata “United” atau “FC” akan membuat klub di Indonesia menjadi lebih “keren dan menjual”. Mungkin mereka berharap klub-klub Indonesia menggganti namanya jadi Jakarta City FC atau Jayapura United.
Persoalannya, pantaskah klub-klub sepak bola di Indonesia menggunakan nama-nama tersebut? Mari kita dalami lebih dalam tentang fenomena yang ada.
“Perse” seperti pada Persebaya adalah kependekan dari “Persatuan Sepak Bola”, sedangkan “Persi” seperti pada “Persib” adalah kependekan dari “Persatuan Sepak Bola Indonesia”. Lalu, “PS” seperti pada PSS Sleman adalah singkatan dari “Persatuan Sepak Bola”.
BACA JUGA: Bonus Rp 200 Juta untuk PSS dari BCS
Hakikatnya awalan tersebut adalah identitas nama klub sepak bola yang mengindikasikan bahwa klub itu berasal dari negara Indonesia.
Klub-klub yang menggunakan awalan itu, biasanya adalah klub-klub legendaris yang jaya pada era Perserikatan seperti Persija, Persib, Persebaya, dan lain-lain. Di sisi lain, klub-klub yang besar pada era Galatama cenderung menggunakan nama-nama yang lebih variatif seperti Arseto Solo, NIAC Mitra, dan Pelita Jaya.
Seperti kita sama-sama ketahui, era Liga Indonesia dimulai setelah penggabungan antara Perserikatan dan Galatama.
Di Eropa sendiri, banyak klub menggunakan imbuhan yang merepresentasikan dari mana klub tersebut berasal. Di Spanyol, FC Barcelona menggunakan awalan “FC” yang berarti Fútbol Club (artinya klub sepak bola). Begitu pula Valencia CF atau kependekan dari Valencia Club de Fútbol.
Bergeser ke Portugal, pastinya kita sering mendengar nama klub dengan awalan “Sporting” seperti pada Sporting CP yang merupakan kependekan dari Sporting Clube de Portugal atau Sporting Braga. Begitu pula yang terjadi di banyak belahan dunia lainnya seperti di liga Italia, Turki, hingga di Timur Tengah.
Masih sangat banyak kalau kita ingin mengambil contoh mengenai penerapan awalan atau akhiran dengan bahasa dari negara-negara asal klub itu. Rasanya tak pernah ada yang mempermasalahkannya atau menilai bahwa nama-nama yang ada terdengar “kuno” bukan?
Sebab, adalah hal yang wajar kalau klub memakai nama yang merepresentasikan daerah asalnya, atau dari negara mana dia berasal.
BACA JUGA: Mutiara Itu Bernama Persewar Waropen
Kembali ke persoalan nama klub yang “keren” dan “menjual” di sepak bola Indonesia. Sesungguhnya perspektif “keren” bagi beberapa individu atau kelompok, tidaklah berbanding lurus dengan idiom “menjual” bagi investor atau sponsor yang ingin bekerja sama dengan sebuah klub sepak bola.
Mengapa? Karena dalam ruang lingkup bisnis sepak bola itu sendiri, “menjual” lebih berorientasi pada besarnya pasar yang bisa diraih, dalam artian seberapa besar basis/jumlah suporter yang dimiliki klub tersebut.
Kita ambil contoh di Liga Indonesia dengan klub Persib yang menurut sebagian orang namanya “kurang keren” karena masih menggunakan awalan “Per” dalam namanya. Namun jika kita lihat lebih jauh, apakah nilai jual Persib bernilai rendah atau bisa dikatakan “tidak menjual”? Saya rasa tidak.
Bisa dilihat dari betapa banyaknya sponsor yang tertera di jersi Persib, sampai-sampai Maung Bandung dapat dikatakan sebagai salah satu role model klub sepak bola Indonesia dengan kondisi keuangan yang sehat (baca: kaya).
Mengapa demikian? Karena investor ataupun sponsor melihat Persib memiliki basis suporter yang besar, sehingga dapat dikatakan bahwa pasar yang dimiliki Persib pun besar untuk ukuran klub di Indonesia. Hal itulah yang membuat investor atau sponsor mau bekerja sama dengan Persib.
Kita ambil contoh lain. Jika Persija mengganti namanya agar terkesan “lebih keren” dengan nama Jakarta City FC, lalu para pendukung mereka tidak suka dan marah hingga menolak untuk mendukung, apakah Jakarta City FC (baca: Persija) masih dapat dikatakan “menjual” pada saat itu?
Padahal salah satu kekuatan yang membuat Persija bernilai “menjual” adalah karena besarnya dukungan dari para pendukungnya.
Contoh nyata bisa kita lihat pada kasus Bandung United yang telah ada saat ini. Dengan nama “United” yang seolah-olah terkesan “keren”, apakah Bandung United dapat dikatakan lebih “menjual” daripada Persib?
Saya rasa untuk dibandingkan, nilai jual kedua klub tersebut masih sangat jauh jika dilihat dari sisi pasar, apalagi jika dilihat dari sisi sejarah dan prestasi.
Beda halnya dengan yang terjadi pada Bali United dan Madura United. Mereka lahir belum lama ini ketika era sepak bola sudah memasuki fase modern. Pada saat itu, baik Bali United dan Madura United sudah selayaknya menggunakan branding yang lebih modern dengan kondisi yang mengharuskan mereka juga melakukan proses attracting market.
Namun, nama modern yang mereka gunakan bukanlah hal utama dalam menggaet basis suporter yang cukup besar, melainkan potensi pasar di wilayah Bali dan Madura itu sendiri. Pangsa pasar ini memang menginginkan sepak bola yang lebih profesional dibandingkan klub-klub terdahulu yang pernah ada di sana.
Berbeda lagi kasusnya dengan Bhayangkara FC yang memang tidak memiliki basis suporter besar, tapi para stakeholders yang ada di balik layar Bhayangkara FC sama-sama pemangku kepentingan di negeri ini.
Pemasukan klub dari investor/sponsor pun bisa menggantikan betapa sakralnya aspek pemasukan yang datang dari dukungan suporter.
Kondisi sepak bola di Indonesia berbeda dengan di Eropa bahkan di belahan dunia manapun. Strategi bisnis yang cocok untuk dilakukan di sepak bola Indonesia pun berbeda.
Belum tentu strategi bisnis yang diterapkan oleh Manchester United dapat menunjang kesuksesan jika diterapkan pada Persipura Jayapura. Beberapa hal harus dilihat lebih luas seperti aspek budaya, sejarah, sosio-kultural, ekonomi, dan lain-lain.
Akhir kata, urgensi untuk mengganti nama klub-klub sepak bola di Indonesia yang terkesan “kurang keren” dan “tidak menjual” bagi sebagian orang, rasanya adalah narasi yang tidak tepat untuk diterapkan di industri sepak bola Indonesia saat ini.
*Penulis adalah founder & content writer of Unspoken Journal web magazine. Bisa disapa di akun twitter @arriramaputra