Cerita

Anomali Pemain Naturalisasi di Klub-Klub Indonesia: Ketika Pemain Lokal Menjadi Tamu di Rumah Sendiri

Guna meningkatkan prestasi tim nasionalnya, asosiasi sepak bola Indonesia (PSSI) menggalakkan program naturalisasi pemain mulai sekitar tahun 2009-2010 yang lalu. Penyerang bongsor asal Uruguay, Cristian Gonzales, menjadi figur asing pertama yang akhirnya resmi berstatus Warga Negara Indonesia (WNI) dan bisa membela timnas di level internasional.

Lucunya, setelah itu PSSI jadi makin latah dalam upayanya meningkatkan kualitas timnas. Alih-alih menyusun program pembibitan pemain yang sistematis dan terstuktur buat mencari bakat-bakat terbaik di penjuru negeri, mereka justru membuka keran naturalisasi pemain sekencang-kencangnya.

Diakui atau tidak, nafsu untuk beroleh prestasi secara cepat dan instan sudah kadung merasuk di benak para pemangku kekuasaan. Sebuah iklim yang membuat sepak bola Indonesia selalu tertinggal dari negara-negara lain, tak terkecuali di level klub.

Awalnya, proses naturalisasi pemain hanya mengincar pesepak bola yang memiliki darah Indonesia. Namun seiring waktu, proses naturalisasi juga menyasar pemain-pemain asing murni alias tak memiliki darah Indonesia seperti Gonzales.

Ada berbagai alasan mengapa nama-nama asing tersebut dinaturalisasi. Baik masa kerja di Tanah Air yang sudah cukup lama, memiliki pasangan dari Indonesia serta beraneka latarbelakang yang lain.

Kalau dihitung-hitung, barangkali sudah lebih dari 20 orang pemain keturunan ataupun asing murni yang kini berstatus sebagai WNI sehingga bisa membela timnas andai dipanggil. Mulai dari Toni Cussell, Stefano Lilipaly hingga yang terbaru, Beto Goncalves dan O.K. John.

Baca juga: O.K John Ramaikan Jumlah Pemain Naturalisasi di Skuat Madura United

Terlepas dari tenaga mereka lantas dimaksimalkan oleh timnas Garuda di kancah internasional atau tidak, semakin membludaknya para pemain naturalisasi di Tanah Air juga telah mengubah wajah sepak bola Indonesia, termasuk di level klub.

Layaknya timnas, klub-klub yang ada di Indonesia pun begitu mendewakan kemenangan dan piala alias prestasi instan. Hal-hal terkait pembinaan pemain muda dan pengelolaan klub, utamanya yang berkaitan dengan jangka panjang, acapkali terabaikan dan tidak dipandang krusial.

Buat mencapai prestasi yang diidam-idamkan tanpa harus membuang banyak waktu, khususnya di kompetisi elite sepak bola nasional, mendatangkan pemain-pemain asing yang dianggap punya skill lebih baik daripada pemain lokal pun diupayakan secara maksimal.

Berbekal pemain-pemain asing itulah, klub-klub yang ada di Indonesia merasa lebih terjamin kekuatannya untuk berkompetisi. Akan tetapi, PSSI dan operator liga (PT. Liga Indonesia Baru) sadar bahwa hal itu mengancam masa depan para pesepak bola lokal.

Alhasil, mereka pun menetapkan sebuah regulasi menyangkut pemain-pemain impor yakni dengan membatasi kuota jumlah pemain asing di sebuah kesebelasan.

Untuk musim 2018, PSSI dan PT. LIB sepakat untuk mengizinkan tim-tim di kasta teratas merekrut empat pemain asing. Kriterianya adalah satu penggawa dari Asia dan sisanya boleh dari Afrika, Amerika Latin, Amerika Utara, Australia, atau Eropa. Kendati demikian, klub-klub di Tanah Air pun kudu cermat dalam melakukan perekrutan sebab ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi si pemain agar dapat dikontrak secara resmi.

Kondisi di atas sedikit berubah dengan regulasi yang ditetapkan pada musim kemarin yang mengizinkan klub-klub Indonesia menggunakan jasa lima pemain asing sekaligus dengan kriteria satu pemain asing dari Asia, tiga dari konfederasi lainnya dan satu pemain asing berstatus marquee player yang bisa berasal dari negara mana saja.

Namun lagi-lagi, demi pencapaian hebat tanpa harus buang-buang waktu, regulasi ini pun diakali oleh sejumlah klub. Keterbatasan kuota untuk merekrut pemain asing membuat mereka mengalihkan bidikan kepada para penggawa naturalisasi, beberapa di antaranya bahkan sudah berusia gaek dan kecil kemungkinan dipanggil timnas.

Pasalnya, dengan memboyong pemain naturalisasi, kuota empat pemain asing yang dimiliki setiap klub tidak akan terganggu. Dengan kata lain, mereka tetap bisa merekrut pemain asing sesuai jumlah tersebut.

Sebagai contoh, ada tiga kesebelasan di musim 2018 yang mengoleksi banyak pemain naturalisasi. Mereka adalah Bali United, Madura United, dan Sriwijaya FC. Setidaknya, ada tiga pemain naturalisasi yang membela klub-klub itu, bahkan nama yang disebut kedua memiliki empat pemain naturalisasi sekaligus!

Terlepas dari alasan apapun, tapi hal ironis bisa sama-sama kita lihat dari ketiga tim di atas lantaran mereka dapat menurunkan tujuh sampai delapan pemain asing dan naturalisasi secara bersamaan di sebuah pertandingan. Situasi itu menunjukkan fakta bahwa hanya tiga sampai empat pemain lokal saja yang namanya terselip di starting eleven.

Tanpa bermaksud mengecilkan kemampuan para penggawa naturalisasi, tapi tren yang sedang terjadi di sepak bola Indonesia memang sangat memprihatinkan.

Seperti yang telah saya paparkan di bagian awal artikel, tujuan awal PSSI mengebut proses naturalisasi adalah untuk mengatrol prestasi timnas. Namun seiring waktu, hal itu terus berubah. Keadaan serupa nyatanya menular kepada klub-klub di Tanah Air.

Tujuan utama mengontrak para penggawa naturalisasi bukan semata-mata untuk memperkuat tim tapi juga membuka peluang kepada klub-klub tersebut guna merekrut pemain asing dengan lebih leluasa karena kuota yang mereka miliki masih aman. Sebuah anomali yang mengerikan sekaligus menyedihkan.

Sebenarnya tak ada yang salah karena hal ini tidak melanggar regulasi dan bahkan proses naturalisasi memang diizinkan negara lewat undang-undang. Akan tetapi, kita sebagai pencinta sepak bola Indonesia pun harus bertanya dengan lantang.

Sebesar dan seserius apa perhatian PSSI dan klub-klub sepak bola Indonesia terhadap pembinaan pemain muda lokal? Lantas, sampai kapan pemain lokal menjadi tamu di rumahnya sendiri?

Jika pertanyaan-pertanyaan di atas tak bisa dijawab oleh PSSI dan klub-klub sepak bola di Indonesia secara tegas akibat nafsu meraih prestasi instan masih senantiasa menggelegak, maka tak perlu heran kalau timnas semakin sulit mendapatkan sumber daya pemain yang berkualitas dan pilih tanding di masa yang akan datang.

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional