Kolom

Apakah Zinedine Zidane Memang Sehebat Itu?

Delapan trofi hanya dalam dua musim. Zinedine Zidane tak perlu repot-repot mengumbar kesuksesannya untuk mendapat pujian, karena apresiasi akan datang dengan sendirinya.

Segala macam puja-puji dan apresiasi memang layak didapat Zidane. Dia adalah pelatih yang bisa memotivasi pemainnya, dan sebagai mantan pemain kunci Real Madrid, dia paham betul bagaimana cara menangani situasi di kamar ganti Santiago Bernabéu. Namun, apakah itu sudah cukup untuk mengukuhkan pria Prancis itu sebagai pelatih jempolan?

Zidane semasa bermain di Real Madrid berada satu lapangan dengan para bintang dunia, dan itu membantunya memahami apa keinginan para pemain bintangnya saat ini seperti Cristiano Ronaldo, Karim Benzema, Gareth Bale, atau Sergio Ramos. Itu bagus untuk membuat pemain tetap betah dan menjaga tim tetap kondusif, tapi Zidane tak bisa mengelak dari virus akut yang terus menjangkiti Real Madrid sejak era Galacticos.

Ada jarak atau kesenjangan antara pemain bintang dan non-bintang. Situasi ini mirip dengan yang dialaminya sewaktu bermain di El Real. Kala itu, skuat Real Madrid terbagi ke dua kelompok, yaitu Kelompok Zidane yang berisikan para pemain bintang, dan Kelompok Francisco Pavón yang berisikan para pemain muda lulusan akademi.

Keharmonisan tim jadi tidak terjaga, ruang ganti jadi terkotak-kotak. Ketika di lapangan, ketidakkompakan itu sangat terlihat. Tak ada frasa “semua untuk satu, satu untuk semua” ketika mereka bertarung di lapangan yang sama, dan mengenakan seragam yang sama. Bukti sahih bahwa proyek Galacticos dari Florentino Perez tidak bisa digunakan sebagai program jangka panjang.

Meski demikian, Zidane termasuk pemain yang sangat aktif menyatukan tim. Ia yang paling vokal dalam menyerukan kritikan saat Real Madrid menjual Claude Makélélé, dengan membuat analogi “Untuk apa Anda memoles sebuah Bentley dengan cat emas yang baru tapi tidak ada mesin di dalam mobil itu?”

Beruntung bagi Real Madrid, kesalahan fatalnya itu sekarang sudah ditebus Zidane. Dengan Casemiro di lini tengah, skuat Los Blancos racikan Zidane dapat terjaga keseimbangannya, walau dipenuhi para pemain dengan naluri serang tinggi. Bersama Casemiro pula, Zidane sukses memecahkan mitos tidak ada klub yang bisa mempertahankan gelar juara Liga Champions sejak format baru.

Akan tetapi, Zidane bukan tanpa cacat sebagai entrenador Real Madrid. Kelemahannya terlihat dalam memberi kenyamanan para pemain cadangan. Musim lalu, Zidane memang sangat sering melakukan rotasi, bahkan hanya dua pemain Real Madrid yang menit bermainnya tak sampai 1.000 menit, tapi mayoritas dari mereka rata-rata hanya tampil 20 menit saat diturunkan, atau mendapat jatah bermain ketika melawan tim-tim kecil seperti Gijón dan Leganés.

Atas alasan itulah, eksodus pemain cadangan menimpa Real Madrid di bursa transfer awal musim ini. Álvaro Morata, James Rodríguez, Danilo, Mariano Díaz, Pepe, dan Fábio Coentrão hengkang untuk mencari menit bermain yang lebih banyak di klub lain. Padahal, dari keenam pemain itu hanya Coentrão yang memang layak dilepas, sedangkan lima pemain lainnya masih pantas dipertahankan.

“Aku ingin Morata bertahan, tapi dia ingin bermain di tim utama. Itu sudah jadi keputusannya,” ujar Zidane mengenai kepindahan Morata ke Chelsea. Sekilas terlihat Zidane adalah pelatih baik hati yang tidak menghalangi keinginan pemainnya untuk pergi, tapi sebagai pelatih bukankah ia seharusnya bisa meyakinkan Morata untuk bertahan?

Kegagalan Zidane untuk memberikan rasa nyaman pada pemain cadangan berlanjut musim ini. Marcos Llorente dan Dani Ceballos tak mendapat lebih dari 250 menit bermain. Bahkan kalaupun di sisa musim ini Zidane memberikan mereka lebih banyak kesempatan tampil, itu sangat riskan karena Real Madrid tidak boleh terpeleset lagi di sisa pertandingan yang ada.

Zidane bahkan hanya memainkan Ceballos selama 29 detik saat melawan Leganés, yang membuat sang pemain terbaik Piala Eropa U-21 2017 itu sama sekali tak menyentuh bola. Lebih miris lagi karena terungkap fakta bahwa kali terakhir Ceballos dipercaya tampil oleh Zidane adalah pada 9 Desember 2017 lalu, dan seakan-akan 29 detik itu adalah hiburan yang memalukan bagi Ceballos.

“Aku tidak bermaksud mempermalukan dirinya,” kata Zidane di konferensi pers usai pertandingan. Sebuah kalimat yang diucapkan oleh pelatih manapun di dunia ini untuk membela dirinya.

Delapan trofi hanya dalam dua musim memang membuktikan Zidane sebagai pelatih bertangan dingin. Namun, ia harus sadar bahwa masih banyak kekurangan yang dimilikinya, seperti meyakinkan para pemain cadangan bahwa mereka tetap aset berharga bagi klub, walau tak selamanya memulai laga sejak menit pertama.

Ini baru dua tahun pertama Zidane sebagai pelatih klub profesional. Wajar jika ia masih banyak kekurangan, dan biarkan ia berbenah untuk jadi lebih baik dengan memberinya lebih banyak waktu.

Author: Euan McTear
Penerjemah: Aditya Jaya Iswara (@joyoisworo)