Hampir seluruh Imam Besar yang mengisi diskusi-diskusi sepak bola di seluruh bilik-bilik sunyi setiap sudut remang angkringan dan burjonan, akan mengangguk setuju ketika membahas korelasi antara sejarah dan prestasi saling mempengaruhi.
Nama besar, tradisi juara, dan hal-hal lain yang bersifat status quo tersemat dengan khusyuk ketika menyandingkan sebuah kepantasan dalam merengkuh gelar juara. Namun, jika ditelaah lebih dalam, bukankah harus ada sebuah awal untuk memulai sesuatu yang bersifat luar biasa?
Di Indonesia, hal ini sedikit menjadi polemik dikarenakan tim-tim sepak bola yang kini bercokol di papan atas, beberapa ada yang belum pernah merasakan atmosfer kasta kedua.
Beberapa dari mereka, tidak pernah tahu bagaimana mengerikannya Liga 2 seperti apa yang dialami PSIM Yogyakarta pada edisi 2019.
PSIM yang dihuni pemain bertabur bintang, sempat merasakan puncak klasmen beberapa minggu, tapi di akhir musim mereka harus mengakui bahwa konsistensi lebih dibutuhkan, ketimbang nama-nama penuh gengsi.
Tanpa melalui Liga 2, beberapa tim tersebut berjibaku melalui negosiasi pemilik klub. Misalnya, yang semula basisnya di Serui, bisa berpindah ke Lampung.
Peradaban terbentuk dari sebuah proses yang berlangsung maju, baik itu akan digdaya atau karam dalam setengah perjalannya. Baik proses itu berlangsung lama atau cepat.
Apa salahnya Manchester City yang berhasil meraih beberapa gelar domestik belakangan ini? Mereka sedang proses membangun. Harus ada langkah pertama untuk meniti anak tangga selanjutnya.
Lalu bagaimana perasaanmu ketika melihat sebuah tim yang umurnya jauh lebih muda darimu, bahkan setengah dari umurmu saja tidak ada, berhasil merengkuh gelar juara untuk pertama kalinya dan mengalahkan tim lokal yang kamu bela selama ini?
Padahal, tim lokal yang selama ini kalian bela memiliki serentetan sejarah panjang dan umur yang bahkan lebih tua dari kakekmu. Pasti terbesit sebuah tanda tanya besar, menyalahkan berbagai pihak dan memaki-maki segalanya, padahal jawabannya tersaji dengan elegan bahwa tim muda ini mau berbenah.
Dengan merujuk pada judul, Chiangrai United asal Thailand bisa dijadikan contoh.
Tim ini dibentuk pada tahun 2009 dengan pemilik bernama Mittiya Phairat yang mendedikasikan hidupnya untuk sepak bola, memilih Provinsi Chiang Rai sebagai basis, dan warna kuning sebagai panji kebesaran mereka. Chiangrai United memakai logo kumbang sebagai tanda bahwa perjuangan adalah nilai utama mereka.
Di provinsi Chiang Rai waktu itu sepak bola belum sementereng di Bangkok atau kota-kota besar lainnya di Thailand.
Tim yang diisi oleh pemain lokal dan dilatih oleh Thawatchai Damrong-Ongtrakul, mantan pemain timnas Thailand dengan koleksi 10 gol ini, mampu berbicara banyak di Thai Divison 2 (kasta ketiga Liga Thailand) dan berhasil lolos menuju Thai Division 1 pada musim 2010.
Setelah ditinggal pelatih yang mengantar mereka naik kasta di pertengahan musim, Stefano Cugurra atau yang akrab dipanggil Teco masuk menggantikan Thawatchai Damrong-Ongtrakul yang menyebrang ke Pattaya United.
Di bawah komando pelatih yang kini menangani Bali United dan sempat merengkuh gelar juara bersama Persija itu, Chiangrai United berhasil menduduki posisi ketiga di akhir musim, dan berhak masuk ke kasta tertinggi Liga Thailand pada musim berikutnya.
Masalah ditinggal oleh Thawatchai Damrong-Ongtrakul nyatanya bisa ditambal oleh datangnya Teco yang benar-benar menutup celah. Masalah itupun bukan hal besar lantaran musim-musim berikutnya mereka dihantui berbagai permasalahan yang memiliki skala lebih besar. Salah satunya adalah stadion.
Pada tahun 2011, Chiangrai United memakai Mae Fah Luang University Stadium dan mendapatkan protes karena lingkungan stadion tersebut berada di lingkup kampus. Begitu pun dengan kapasitas yang hanya tiga ribu, berbanding terbalik dengan antusiasme warga Chiangrai dalam mendukung Chiangrai United berlaga.
Sempat mengungsi di berbagai stadion dengan kapasitas lebih kecil, akhirnya pada tahun 2012 mereka mendapatkan dana segar guna membangun stadion pribadi dengan nama Singha Stadium. Penamaan ini atas kesepakatan dengan sponsor mereka, Singha.
Masuknya sponsor, seperti apa yang diperoleh tim-tim besar Eropa, menjadikan Chiangrai United sebagai tim kaya dan mengembangkan timnya sedari berbagai aspek.
Misalkan membeli pemain yang sesuai kebutuhan. Tanaboon Kesarat sempat menjadi sorotan lantaran menjadi pemain dengan nilai kontrak tertinggi di Thailand pada saat itu, yakni 50 juta bath. Pelatihnya pun tak tanggung-tanggung. Alexandre Gama yang berhasil mempersembahkan trofi Liga Thailand untuk Buriram United mereka bawa guna mengarungi musim berikutnya.
Kepingan puzzle telah terpenuhi, stadion yang bagus, pemain yang berbakat, dan pelatih yang mumpuni didatangkan. Dengan menghitung waktu, gelar-gelar domestik mendatangi mereka dengan anggunnya. Total empat piala mereka dapatkan sedari tahun 2017 hingga 2018.
Pada tahun 2019, kepemilikan klub berpendah tangan ke istri Mittiya Phairat, lantaran dirinya berpentas dalam dunia politik seperti apa yang kebanyakan dilakukan oleh pemilik klub di Indonesia. Di tahun itulah babak baru sejarah Chiangrai United dimulai, yang mampu menghambat laju Buriram United di liga domestik.
Pada edisi 2019, gelar juara Thai League 1 harus ditentukan hingga akhir musim. Terdapat dua nama yang tersisa, yakni Buriram United dengan 57 poin, dan Chiangrai United dengan 55 poin.
Semua mata telah menuju ke Buriram United yang diyakini akan kembali mengangkat piala. Namun, semesta alam berkata sebaliknya. Buriram yang sempat unggul melawan Chiangmai, ternyata mampu diimbangi dengan skor akhir 1-1. Sebaliknya Chiangrai, berhasil menggasak Suphanburi FC dengan skor 5-2.
Kedua tim memiliki poin yang sama, yakni 58. Namun, sesuai dengan rule of the game Thai League 1, untuk mencari juara dengan poin sama, maka head to head digunakan. Chiangrai United pun keluar sebagai juara, lantaran berhasil menahan imbang Buriram di kandangnya dan menggasak sang lawan 4-0 di Singha Stadium.
Ketika mempermasalahkan cara juara sebuah tim lantaran disokong oleh dana yang besar, sejenak kita melupakan bahwa gerak sepak bola kini adalah gerak industri. Mereka yang memiliki pemain bagus, harus diikuti upaya lain, seperti membangun fasilitas.
Semua diatur dengan caranya masing-masing. Ada sebuah tim yang membeli pemain Eropa kelas wahid dengan harga setinggi langit, walau performa sudah tak lagi melejit. Ada pula beberapa tim yang diberkahi dana lebih guna membangun fasilitas, agar apa yang mereka keluarkan kelak akan kembali.
Pada akhirnya, semua akan membuat sejarahnya. Contohnya adalah Chiangrai United. Mereka mencoba membangun apa yang dinamakan sebuah dinamika sejarah. Toh jika kebanyakan orang mengatakan bahwa mereka tidak memiliki sejarah, setidaknya mereka sedang membangun sejarahnya untuk hari esok.
Kini, tidak ada sepak bola yang tidak bersinggungan dengan industri maupun politik. Seperti lingkaran setan, mereka seperti saling membutuhkan satu sama lain.
Tidak ada lagi permainan sepak bola antar kaum buruh dan menghasilkan penny demi penny, guna membangun tim yang dibuat dengan tidak melakukan perjudian. Bukan bermaksud mengecilkan cara seperti itu, namun pada kenyataannya sudah tidak ditemukan lagi.
Liga antarkampung saja kini sudah disusupi oleh sponsor-sponsor kecil-kecilan seperti minuman keras buatan rumahan. Masih memimpikan sepak bola alamiah tanpa campur tangan industri? Barang kali dapat ditemui melalui mimpi.
*Penulis adalah penggemar sepak bola Asia Tenggara. Selain memimpikan Indonesia melawan Thailand di partai puncak Piala Dunia, juga bercita-cita mengarsipkan sepak bola Asia Tenggara. Dapat disapa di akun twitter @gustiaditiaa