Cerita

Stefano Teco Cugurra: Pelatih Simpatik yang tak Menyerah pada Tekanan

“Kamu pernah lihat mereka bermain? Apa mereka tim yang bagus?”

Saat itu saya sedang menyeduh teh yang disajikan panitia konferensi pers menjelang laga Persija Jakarta melawan Espanyol. Ketika mendengar pertanyaan itu, saya menoleh. Saya cukup terkejut karena pemilik suara adalah pelatih kepala Persija, Stefano Teco Cugurra. Ia berdiri di samping saya, setelah para peserta konferensi pers yang terdiri dari beberapa pejabat klub Persija, pelatih Espanyol, Quique Sanchez Flores, serta pemain-pemain kedua kubu bubar.

“Ya,” saya mengangguk.

“Apa mereka tim yang bagus?” Teco mengulangi pertanyaannya, masih dengan bahasa Indonesia yang cukup fasih untuk ukuran orang asing.

Saya masih bingung, apakah sang pelatih benar-benar ingin tahu atau sekadar basa-basi. Maksud saya, masa sih pelatih klub sekelas Persija bertanya tentang kekuatan tim lawan kepada jurnalis? Setengah jam sebelumnya, saya memang mengajukan suatu pertanyaan di sesi konferensi pers.

Pertanyaan yang sebenarnya saya ajukan untuk Sanchez Flores itu, saya bumbui sedikit pengantar betapa saya mengagumi fasilitas stadion Espanyol ketika saya menyaksikan langsung klub tersebut menjamu Sevilla di Barcelona. mungkin itu membuat Teco  tertarik.

“Ya, mereka bukan Barcelona, tapi Espanyol bukan klub yang buruk-buruk amat. Pelatihnya pernah melatih Watford di Liga Inggris,” jawab saya, tak yakin apakah jawaban itu akan membantu menjawab rasa penasaran Teco.

Di depan saya, Teco hanya mengangguk, terlihat berpikir selama beberapa detik. Maka, giliran saya mengajukan pertanyaan kepadanya.

“Memangnya Anda tak pernah menonton Liga Spanyol?”

“Ah tentu saja, saya tahu Espanyol. Tapi terus terang saya tak tahu persis gaya bermain mereka. Saya belum sempat juga cari tahu kekuatan mereka musim ini, sibuk persiapan untuk big match weekend depan.”

Yang dimaksudnya adalah laga panas antara Persija Jakarta melawan Persib Bandung yang akan dilaksanakan hanya berselang beberapa hari dari laga uji coba Persija melawan Espanyol. Tekanan berat tentu saja menghantui, mengingat rivalitas kedua kubu yang tak kalah dari Real Madrid dan Barcelona di Spanyol.

Awalnya, saya menganggap lucu ketidaktahuan Teco terhadap kekuatan Espanyol. Namun setelah saya pikir-pikir lagi, mungkin sikapnya yang lebih memusatkan fokus ke laga resmi, saya merasa kagum karena Teco masih bersedia meladeni tuntutan sponsor dan manajemen Persija yang ingin mengadu mereka melawan Espanyol, meski ada risiko pemain-pemainnya akan kelelahan di laga melawan Persib.

Jika saya menjadi Teco, mungkin saya akan kesal. Laga melawan Espanyol mungkin merupakan uji coba bermanfaat andai saja dilaksanakan di awal musim. Namun, kedatangan klub spesialis penghuni papan bawah La Liga itu hanya mengacaukan ritme Persija dan berpotensi membuat para pemain mereka kelelahan. Tiga hari sebelumnya, mereka harus menjamu Borneo FC di Liga 1, dan tiga hari kemudian menghadapi laga penuh tekanan melawan Persib.

Maka, laga melawan Espanyol bukanlah prioritas bagi Teco. Macan Kemayoran akhirnya digunduli 0-7 oleh Esteban Granero dan kawan-kawan. Meski demikian, laga melawan Persib yang menjadi fokus utamanya berakhir cukup memuaskan. Persija berhasil membawa pulang satu poin lewat hasil imbang 1-1 di Bandung.

Tak retak di bawah tekanan

Setelah Teco membawa Persija ke tangga juara Piala Presiden, ia mungkin akan melihat kembali hari-harinya di pertengahan tahun 2017 itu dengan tersenyum. Sekitar dua bulan sebelum laga Espanyol, tepatnya sekitar Mei-Juni 2017, para pendukung Macan Kemayoran gencar meneriakkan tuntutan #Teco Out di stadion maupun di media sosial.

Masa-masa awal Teco di Persija memang tak berjalan mulus. Ia sempat membawa Macan Kemayoran di titik terendah, yaitu terdampar di peringkat ke-15 klasemen sementara atau satu strip di atas zona degradasi. Mereka bahkan hanya meraih lima poin dari enam pertandingan di laga-laga awal Go-Jek Traveloka Liga 1.

Bagusnya, pembawaan Teco selalu santai, meskipun posisinya sebagai pelatih kepala berada di ujung tanduk. Mantan asisten Jacksen F. Tiago ini selalu terlihat tenang di pinggir lapangan maupun sesi konferensi pers. Jika dibandingkan dengan pelatih luar negeri, mungkin ia adalah Ernesto Valverde, atau bahkan Carlo Ancelotti. Dicaci dulu, beri pembuktian kemudian.

Sikap tenang mantan pelatih Royal Thai Navy FC ini berujung manis. Secara perlahan, ia membawa Persija ke papan tengah. Di pekan-pekan akhir liga 1, Bambang Pamungkas dan kawan-kawan menyodok ke papan atas, yaitu finis di posisi empat klasemen akhir. Klub yang berdiri pada tahun 1928 ini malah mendapat durian runtuh, yaitu tampil sebagai wakil Asia di Piala AFC 2018.

Kesempatan berlaga di pentas internasional tentu saja membanggakan, apalagi ini merupakan kiprah pertama Persija di kancah Asia dalam 15 tahun terakhir. Namun, lagi-lagi Teco dihadapkan pada situasi penuh tekanan yang disebabkan pengaturan jadwal yang serampangan. Persija yang sukses melaju ke final Piala Presiden harus melalui pekan sulit dengan harus bertandang ke rumah klub raksasa Malaysia, Johor Darul Ta’zim (JDT).

Bagusnya, Teco kembali menentukan prioritas dengan mantap. Sadar para Jakmania haus gelar juara, Piala Presiden akan menjadi tonggak penting kembalinya kebesaran Persija. Ia pun melepas laga pertama di Piala AFC di kandang JDT. Meski tak sedikit yang mengkritik keputusannya memainkan skuat lapis kedua ketika timnya dibantai 0-3 di Malaysia, toh keputusannya tepat. Marko Simic dan kawan-kawan tampil segar di final Piala Presiden dan mengempaskan Bali United tiga gol tanpa balas.

Teco memang masih harus membuktikan diri di gelaran Liga 1 2018, tapi setidaknya ia sudah melewati ombak besar di awal perjalanannya bersama Persija.

Author: Mahir Pradana (@maheeeR)
Mahir Pradana adalah pencinta sepak bola yang sedang bermukim di Spanyol. Penulis buku ‘Home & Away’.