Suara Pembaca

Mungkin, Tarkam adalah Sepak Bola Sesungguhnya

Teriakan dan sorak-sorai semakin mempercepat langkahku untuk segera menyemut dengan ratusan orang tersebut. Tua-muda, lelaki-perempuan, semuanya menyerukan sepak bola. Akhirnya bergabung pula aku dengan atmosfer yang kian menggelora tersebut. Sebuah final tarkam yang mempertemukan kedua kesebelasan yang lokasinya persis dibelah oleh lapangan tersebut. Kaler (utara) dan Kidul (selatan).

Lapangan gersang membentang dari barat ke timur. Di bagian utara dipenuhi oleh suporter kesebelasan Kaler, sedangkan sisi selatan disesaki oleh pendukung dari tim Kidul. Cuaca yang terik sore itu, menambah panas tensi pertandingan.

Papan skor sederhana yang terbuat dari papan triplek dengan dekorasi ala kadarnya menunjukan skor 2-1 untuk keunggulan tim Kaler. Padahal, hasil mengupingku dari dua orang pria paruh baya menyatakan bahwa pertandingan baru berjalan kira-kira 26 menit, namun sudah tercipta tiga gol.

Terlihat,  salah satu pemain tim Kaler kedapatan memblok tendangan lawan dengan tangannya. Wasit dengan jeli menyadarinya, “Priitt… handball nomor 3!” dan menunjuk titik putih. Protes keras pun dilayangan para pemain tim Kaler. Namun wasit plontos tersebut tidak bergeming, dan tetap kukuh.

Baca juga: Klub Sepak Bola dan Partai Sepak Bola

Makian, cacian terlontar pedas dari pendukung, yang jelas menolak keputusan yang merugikan timnya tersebut. Bahkan ada satu di antara mereka yang mengacung-acungkan sebilah golok ke arah pengadil lapangan. Di sisi seberang, mereka berbinar merayakan hadirnya penalti tersebut.

Pemain dengan nomor punggung 12 menaruh bola, mengambil beberapa langkah untuk ancang-ancang, disertai sorot matanya yang tajam ke arah kiper lawan. Teriakan kedua belah pihak pendukung, semakin membuat debar sekaligus seru pertandingan. Peluit dibunyikan… “GOOLL!!…”. pendukung tim Kidul berhamburan ke lapangan, merayakan gol tersebut.

Mereka menari-narikan ejekan pada kubu lawan. Namun, setelah selebrasi tersebut, tampak seseorang terkapar di tengah lapangan dengan tangannya memegangi kepala bagian belakang. Aku tak dapat melihat begitu jelas siapa sosok tersebut, karena tebalnya debu yang beterbangan hasil selebrasi tadi. Dan seiring mulai menipisnya debu, aku mulai menyadari bahwa sosok tersebut ialah sang wasit.

Pertandingan terhenti beberapa menit karena insiden tersebut. Panitia mulai kelimpungan, karena teriakan penonton agar pertandingan dilanjutkan, juga karena pada saat itu tak terdapat pula wasit cadangan, karena level tarkam. Penonton terus jua meneriakan keinginan mereka, untuk melihat siapa jawara di pertandingan ini, mereka seakan kehilangan empati dengan apa yang telah menimpa sang pengadil lapangan.

Baca juga: Mengumpat karena Kesalahan Wasit Memang Enak, Kok……

“Oke… saya… saya masih bisa… yo lanjut.” Wasit itu mulai berdiri dengan sedikit bantuan panitia.

“Yakin pak?… masih bisa?” tanya seorang panitia.

Sang wasit hanya menganggukkan kepalanya, dan berlari kecil kembali ke tengah lapangan dengan tiupan peluit tanda pertandingan dilanjutkan.

“Dari awal kan, sudah kubilang… lebih baik wasit luar”. Pria tersebut menatap wajah rekannya. “Kalau wasit luar… mungkin pemain dan penonton merasa sedikit segan”.

Temannya bergeleng kecut.

“Bapak tau sendiri kan, anggaran untuk turnamen ini kan terbatas… mana cukup untuk mendatangkan wasit dari luar, belum lagi upah, dan segala akomodasinya”. Dia memalingkan wajah ke arah wasit di lapangan.

“Kita bisa membujuk Pak Male untuk jadi wasit di final pun… patut bersyukur, karena beliau sudah meniatkan pensiun sebagai wasit”.

Baca juga: Sepak Bola Tarkam sebagai Penyelamat

Aku bisa mendengar jelas perbincangan mereka, karena memang posisinya tak jauh denganku, di bagian sisi gawang timur. Dari mereka pula aku mengetahui nama sosok yang kini fokus dan mentalnya sedang diuji sebagai pengadil di laga ini. Beliau bernama Pak Malendra. Warga sekitar menyebutnya Pak Male, seorang pria yang kutaksir usianya sudah berkepala empat, atau bahkan lebih.

Peluit babak pertama telah usai dan skor masih imbang 2-2. Para pemain masing-masing tim kembali ke sisi lapangannya, untuk menyegarkan stamina mereka, serta memahami apa yang diinginkan sang pelatih. Dan kini giliran bocah yang berhamburan ke lapangan untuk bermain bola.

Mereka berlari mengejar bola dengan tertawa puas, tak peduli mereka tengah disaksikan ratusan orang, mereka main tanpa beban, seenak jidat mereka. Tak mengapa mereka bertelanjang kaki, karena mereka sudah kebal akan kerikil lapangan, kekebalan yang tumbuh tanpa mereka sadari seiring dengan keseruan bermain bola dengan kawannya.

Tanpa kusadari, ternyata mereka, bocah-bocah yang memainkan sepak bola sesungguhnya. Mereka mungkin tidak tahu apa itu nilai sportifitas, namun mereka telah menerapkan ke dalam sebuah permainan sederhana mereka.

Baca juga: Sepak Bola Rasa Tarkam di Liga 2

Bermain tanpa beban, dan tak saling dendam. Menerobos supremasi kemenangan, kebanggaan semu yang kini diperebutkan senior-senior mereka di lapangan. Tak peduli berapa skor yang mereka cetak, dan berapa gol yang mereka derita.

Tanpa disadari, bocah-bocah ini sedang menampar keras senior mereka, dengan permainan sepak bola polos nan lugu yang mereka peragakan. Dan aku berani bertaruh, tak ada satupun dari mereka yang menyadari tamparan keras tersebut.

Pak Male kembali ke lapangan, dengan peluit tanda babak kedua dimulai. Para pemain kembali ke posisi mereka masing-masing bersiap menjadi aktor di 45 menit selanjutnya. Sementara itu, para bocah kini berlarian mencari orang tuanya masing-masing untuk meminta rupiah uang jajan mereka. Mereka kembali berkumpul dengan membawa jajanan minum masing-masing, dan menikmatinya bersama-sama. Bersama kawan dan lawan.

 

*Penulis bisa dijumpai di akun Twitter @Manapermana20