Satu abad plus dua dasawarsa bukan waktu yang sebentar. Dunia mengalami perubahan sangat banyak di rentang waktu itu, juga termasuk AC Milan. Klub yang membuat pendukungnya bisa merasakan cinta dan benci secara bergantian.
Rasa cinta dan benci ini bahkan semakin gencar berulang di 10 musim terakhir. Sempat menurun setelah juara Liga Champions 2007, kemudian juara Serie A 2010/2011, diterpa krisis keuangan, tajir mendadak, jadi ‘korban penipuan’, lolos ke Liga Europa, dianulir, dan mulai lagi dari nol.
AC Milan setelah pesta di Athena, hidupnya naik turun seperti tarif ojol. Kadang begitu digdaya yang membuat para Milanisti makin cinta, tapi tak jarang juga sangat merana sampai para pendukungnya tak tahu harus berkata apa.
Kalau kita ulang memori dalam rentang waktu sepuluh musim ke belakang, guncangan hebat memang sedang menerpa I Rossoneri. Dari kualitas pemain, jumlah trofi, sampai pundi-pundi materi, semuanya timbul tenggelam. Naik turunnya roda kehidupan ini juga berpengaruh ke rasa cinta para Milanisti.
Yah… Iman seseorang kan bisa naik turun. Apalagi ‘iman’ ke klub kecintaan. Mungkin cuma Iman J-Rocks saja yang selalu ada di atas (panggung).
Sebagai konsumen sepak bola Eropa, kita yang dari Asia, wajar kalau bergantian merasa cinta dan benci ke klub jagoan. Alasan pertama kita menyukai klub di Eropa pasti karena kualitas permainannya. Dihiasi pemain bintang, menang besar, dan banyak trofi, biasanya jadi alasan kuat seorang warga Asia yang suka sepak bola, memutuskan jadi penggemar salah satu klub Eropa.
Ya kali, ada orang Asia demen banget nonton Getafe, Levante, Bologna, Sassuolo, atau Bournemouth. Jersey mungkin punya, tapi kalau cinta, kemungkinannya kecil.
Sulit mencari cinta yang tulus, kalau cinta pertama sudah dilandasi standar yang tinggi. Cinta ke klub Eropa karena dia pernah juara, pernah punya banyak pemain bintang, akan menuntut cinta itu berbalas ke kepuasan menonton.
Klub idola harus menang, lebih bagus lagi kalau main cantik dan pesta gol. Klub pujaan harus juara, lebih hebat lagi kalau double winners, treble, bahkan quadruple.
Atau, standar minimalnya begini. Nggak juara nggak apa-apa, minimal jadi runner-up, atau masuk semi-final. Gagal menang tidak apa-apa, asalkan lawan sesama tim besar dan tidak kalah memalukan. Sulit menemukan cinta tak bersyarat, di lingkup kita orang Asia, yang mengidolai klub Eropa.
Lantas kalau cinta itu tak ‘dibalas’ oleh klub dengan ‘syarat-syarat’ yang diminta penggemar, rasa benci yang akan tumbuh. Marah-marah sewaktu nonton, caci maki di media sosial, sampai ‘aksi boikot’ dengan lebih memilih tidur ketimbang begadang di pertandingan dini hari.
Selama 120 tahun, saya yakin AC Milan pasti merasakan itu di hadapan para penggemarnya.
Dulu mercon, sekarang lelucon
Bicara tentang AC Milan zaman lawas hampir tidak ada cela yang menyertainya, kecuali Calciopoli. Saya mengibaratkan Il Diavolo Rosso dulu ibarat mercon (petasan). Berdaya ledak tinggi, sangat menghibur, dan digemari banyak orang.
Kiper-kiper kelas wahid berdiri di bawah mistar, seperti Sebastiano Rossi dan Nelson Dida. Legenda-legenda lahir dari kuartet bek tangguh, contohnya Franco Baresi, Billy Costacurta, Paolo Maldini, Alessandro Nesta, dan Thiago Silva.
Kreator-kreator brilian hadir di lini tengah. Manuel Rui Costa, Kaka, Clarence Seedorf, adalah salah tiga terbaik yang masih sempat ditonton aksinya oleh generasi milenial. Kemudian di lini depan, bertabur para juragan gol mulai dari Andriy Shevchenko, Filippo Inzaghi, dan Zlatan Ibrahimovic.
Dulu, San Siro ibarat taman hiburan AC Milan. Dulu, lawan-lawan yang bertamu hampir selalu pulang dengan tertunduk lesu. Tapi seperti kata grup band Padi, semua tak sama, pernah sama. Sang mercon telah kehabisan daya ledak, dan berganti jadi lelucon.
Kalah di final Coppa Italia karena tiga blunder kiper, di-PHP sama pengusaha Cina, didiskualifikasi dari Liga Europa, lalu hancur lebur di awal musim 2019/2020. Masih kurang? Coba ingat ini, ketika seorang kiper dari klub papan bawah membobol gawang Milan.
Benci? Pasti. Jengkel? Sudah tentu. Tapi sebagai klub yang pernah besar, Milan tidak tinggal diam. Walau terkesan lambat, tapi perubahan itu memang ada. Bersama Stefano Pioli, I Rossoneri mulai kembali ke jalan yang seharusnya, ke trek perburuan tiket kompetisi Eropa.
Empat pertandingan terakhir dilalui tanpa kekalahan, dan di Desember klub berseragam merah-hitam ini mengakhiri tren jatah menang sebulan sekali.
Posisi di klasemen memang masih tertahan di urutan ke-10, tapi kalau bisa mempertahankan atau meningkatkan performa saat ini, pasti ada jalan menuju posisi 6, batas zona kualifikasi Liga Europa. Turnamen Eropa yang paling realistis untuk Milan sekarang.
Agak konyol memang, sebuah klub dengan badge of honor berangka 7, berjuang susah payah ke turnamen kasta kedua di Eropa. Meski begitu, toh Milanisti masih setia memberi dukungan. Yel-yel tetap dilantunkan, dan doa-doa terus dipanjatkan.
Kata Panglima Tian Feng, memang beginilah cinta, deritanya tiada akhir. Grup band Geisha juga menggambarkan kalau sudah cinta, juga bakal susah membenci, di lirik lagunya yang berjudul Cinta dan Benci.
Sungguh aku tak bisa, sampai kapanpun tak bisa
Membenci dirimu, sesungguhnya aku tak mampu
Sulit untuk ku bisa, sangat sulit ku tak bisa
Memisahkan segala cinta dan benci yang ku rasa
Selamat ulang tahun yang ke-120, AC Milan! Lekas bangkit, papan atas Serie A dan Liga Champions merindukanmu!