Cerita Tribe Ultah

Pierre van Hooijdonk, Dibenci dan Dicinta di Britania

Ada dua hal yang paling diingat dari sosok penyerang Belanda yang bersinar pada tahun 1990-an akhir hingga 2000-an awal, Pierre van Hooijdonk.

Pertama, tentu saja ketajamannya dalam mencetak gol. 335 gol dari 551 penampilan merupakan bukti yang lebih dari cukup. Kedua adalah kisahnya dalam berseteru dengan mantan-mantan klub tempatnya bermain, terutama di tanah Britania.

Berbicara tentang van Hooijdonk, pria yang juga penggemar sejati klub NAC Breda ini merupakan seorang juru gedor yang sangat ideal. Ia memiliki banyak “senjata” untuk mengancam gawang lawan.

Ditunjang postur tinggi menjulang 193 sentimeter, ia adalah ancaman nyata untuk bola-bola atas. Namun lebih dari itu, dengan kemampuan penyelesaian akhir yang luar biasa, ia bagaikan predator di kotak penalti lawan.

Tidak cukup sampai di situ, van Hooijdonk memiliki kelebihan yang menjadikannya lebih berbahaya ketimbang penyerang lain, yaitu kemampuannya mengeksekusi tendangan bebas yang tidak kalah hebat dari pemain semisal Juninho Pernambucano atau David Beckham.

Dengan atribut-atribut tadi, amat wajar apabila mantan penyerang tim nasional Belanda ini akan menjadi impian bagi para pelatih klub mana pun. Menempatkannya di lapangan, berarti memperbesar peluang timnya mencetak gol.

BACA JUGA: Ingatan Pendek tentang Andriy Shevchenko

Pendukung sejati NAC Breda

Lahir di kota kecil Steenbergen, Belanda, tahun 1969, van Hooijdonk harus menjalani masa kecil yang sulit karena sang ayah telah meninggalkannya bahkan sebelum ia lahir. Namun hal ini tidak mencegahnya untuk mengikuti sepak bola.

Meski di kotanya tidak terdapat klub besar, tapi olahraga ini telah merebut hatinya. Ia pun tumbuh menjadi pendukung klub NAC Breda, sebuah klub profesional yang berada di kota yang berjarak hanya 48 kilometer dari kota kelahirannya.

Ketika klub tersebut membuka pendaftaran pemain, van Hooijdonk pun mengikutinya, hingga kemudian lulus seleksi. Namun ironisnya, ia dianggap tidak potensial hingga dilepas oleh klub kebanggaannya itu di usia 14 tahun.

Ia memang bermain sebagai pemain sayap kanan atau gelandang tengah di akademi klub tersebut. van Hooijdonk tidak menyerah, dan melanjutkan kariernya di level amatir. Klub RBC Rosendaal kemudian menyatakan ketertarikan.

Di klub inilah van Hooijdonk kemudian memulai karier profesionalnya dengan mencetak 33 gol dari 69 penampilan. Ia juga berpindah posisi ke penyerang tengah, tempat di mana ia bisa mencetak banyak gol dan menemukan kenikmatan bermain.

Kegemilangan ini membuat beberapa klub tertarik meminangnya, termasuk Breda. Berkat kecintaannya yang tak pernah luntur pada klub ini, van Hooijdonk pun memilih untuk kembali. Kelak, ia akan kembali ke klub ini untuk kali kedua pada ujung kariernya.

Memang di Breda-lah, van Hoojdonk makin menikmati permainannya. Dari kiprahnya di klub ini, pintu tim nasional Belanda terbuka untuknya. Satu hal yang sempat menghalangi sinarnya di tim De Oranje adalah bercokolnya penyerang-penyerang papan atas seperti Dennis Bergkamp dan sesama rising star saat itu, Patrick Kluivert. van Hooijdonk pun harus rela berbagi tempat dengan mereka.

BACA JUGA: Dennis Bergkamp, Ia yang Mulia dan Agung di Sepak Bola

Dicintai dan dibenci di Britania

Empat musim di Breda dengan catatan 81 gol dari 115 penampilan, ia merasa sudah saatnya bertualang di level yang lebih tinggi di luar negeri. Celtic FC, klub raksasa Skotlandia yang saat itu telah lama berada di bawah bayang-bayang rival abadi, Rangers FC, membelinya dengan harapan mengakhiri dominasi itu.

Satu misi pun berhasil dituntaskan van Hooijdonk bersama The Bhoys. Gol tunggalnya pada babak final Piala Skotlandia pada tahun 1995 ke gawang Airdrie, melepas dahaga enam musim tanpa trofi klub ini.

Di Celtic pula, ia mulai membuat warna-warni dalam kariernya. Selain mulai meningkatkan kemampuannya dalam mengeksekusi bola mati, van Hooijdonk juga bermasalah dengan pihak klub. Akibat tidak setuju dengan nominal kenaikan gaji yang “hanya” 7.000 paun, ia meradang. Komentar bernada arogan pun keluar dari mulutnya.

“Tujuh ribu paun memang jumlah yang banyak bagi seorang tunawisma, tetapi tidak untuk penyerang internasional,” ujarnya.

Namun kemudian dalam sebuah wawancara yang dilakukan seusai pensiun, ia memberi klarifikasi bahwa ucapannya telah salah ditangkap maknanya oleh media. Yang diinginkannya adalah kenaikan gaji hingga setara dengan para pemain bintang lain yang saat itu bercokol di klub, seperti Andreas Thom dan Paolo Di Canio.

Ia merasa pantas mendapatkan kenaikan itu karena pendukung Celtic menjadikannya pemain favorit setelah mencetak gol yang memenangkan timnya di final Piala Skotlandia.

Pada akhirnya, van Hooijdonk hengkang dari Celtic. Nottingham Forest menjadi pelabuhan selanjutnya bagi pria yang memiliki garis keturunan Maroko dari ayahnya ini. Di klub yang sempat berjaya di tangan pelatih legendaris, Brian Clough, ini van Hoojdonk diharapkan mampu menjadi mesin gol.

Akan tetapi cerita kariernya di klub ini pun berakhir dengan tidak mengenakkan seperti halnya yang terjadi di Celtic. Akibat kecewa pada manajemen yang menjual Kevin Campbell, rekan duetnya di depan dan bek senior Colin Cooper, van Hooijdonk meradang hingga kemudian menolak diturunkan bermain.

BACA JUGA: Uston Nawawi dan Memori Football Manager

Sepak terjang sang pemberontak

Sikap seperti ini sebetulnya dapat dilihat dari berbagai sisi. Nottingham Forest jelas memandangnya sebagai sosok tidak tahu berterima kasih, begitu pula dari kacamata pendukung dan rekan satu tim. Ketika akhirnya van Hooijdonk memutuskan kembali bermain dan berhasil mencetak gol, tidak ada satu pun rekan satu tim yang merayakan bersamanya.

Namun di lain sisi, keberaniannya patut diapresiasi. Hal ini merupakan bentuk perlawanan dari seorang pemain kepada pihak klub yang tidak menepati komitmen.

Di Celtic, keluhannya sehubungan dengan permintaan kenaikan gaji memang terdengar wajar jika melihat reputasi dan kontribusi sang pemain. Sementara di Forest, kekesalannya kepada manajemen yang kurang menunjukkan ambisi juga bukanlah hal yang berlebihan.

Akan tetapi, seperti apa pun keresahan yang timbul dalam hati, perlu disampaikan dengan benar dan diselesaikan dengan kepala dingin serta tidak meledak-ledak. Melihat catatan karier van Hooijdonk yang sering berpindah klub memang menunjukkan bahwa dirinya memiliki perangai yang keras dan cenderung tidak mau berkompromi terhadap hal-hal yang terjadi di luar keinginannya.

Ia pun kemudian mengenangnya dengan penyesalan, terutama ketika di Forest, saat menyebut bahwa persoalan antara ia dan manajemen semestinya bisa diselesaikan dengan cara yang berbeda.

Sikap-sikap seperti inilah yang kemudian membelah suara pendukung, antara mencintai dan membencinya. Terlepas dari itu semua, gol-gol fantastis van Hooijdonk tetaplah dirindukan.

Kiprahnya sebagai penyerang tim nasional Belanda juga hanya sedikit tertutupi oleh keberadaan sosok sekaliber Bergkamp, Kluivert, lalu kemudian munculnya sosok Ruud van Nistelrooy. Ia hanya kurang beruntung berada satu zaman dengan mereka.

Hari ini (29/11), van Hoojdonk berulang tahun ke-50. Selamat merayakan umur setengah abad, sang pemberontak!

 

*Artikel ini diunggah ulang dari tulisan Aditya Nugroho, untuk merayakan ulang tahun Pierre van Hooijdonk yang ke-50.