Cerita Tribe Ultah

Ingatan Pendek tentang Andriy Shevchenko

Andriy Shevchenko memberkati ranah sepak bola Italia dalam kurun waktu yang terbilang pendek. Hanya tujuh tahun saja, dari 1999 hingga 2006. AC Milan dan San Siro yang selalu berwarna kala itu menjadi panggung paling beruntung. Menjadi arena bermain “Ronaldo dari Ukraina”, tentang cinta dan ingatan yang terlalu pendek.

Shevchenko datang ke kota Milan membawa nama besar. Ia sudah menjadi lesatan cepat di ranah sepak bola Eropa. Ia pemuda yang pernah mempermalukan Barcelona dan Real Madrid di kompetisi antarklub paling mewah di dunia. Bersama Dinamo Kiev, bersama Serhiy Rebrov sang duet sehati, dan Valeriy Lobanovskyi yang revolusioner, Shevchenko menghantam Eropa.

Dinamo Kiev dan Shevchenko menunjukkan makna mental yang kuat. Usianya masih sembilan tahun ketika sang ayah, seorang anggota militer, ragu akan masa depan anaknya. Sepak bola seperti bukan takdir Shevchenko. Tepat di usia 14 tahun, Shevchenko memberi bukti bahwa kedisiplinan ala militer yang ditanamkan kepadanya memicu kelahiran sisi seorang “pembunuh”.

Tahun 1990, nama Shevchenko tercantum dalam daftar pemain muda Dinamo yang akan turut serta dalam Ian Rush Cup di Wales, sebuah kompetisi yang menjadi dasar masa depannya. Shevchenko menjadi pencetak gol terbanyak dan mendapat hadiah sepasang sepatu sepak bola dari idolanya langsung, Ian Rush.

Satu tahun berselang, nama Shevchenko mulai bergaung di Eropa ketika mencetak dua gol saat Ukraina muda menahan imbang Belanda. Pertandingan tersebut disiarkan secara langsung lewat televisi. Sebuah kesempatan, yang menjadi seperti sebuah pengumuman bahwa satu pemain ini akan menghentak Eropa.

Baca juga: Paolo Maldini dan 6 Momen Terbaiknya di Piala Dunia

Usianya baru menginjak 18 tahun ketika merasakan debut bersama skuat utama Dinamo di bawah asuhan Lobanovskyi. Kombinasi pemain dan pelatih ini mewarnai periode paling sukses bagi Dinamo dengan lima gelar juara liga secara berturut-turut. Selama lima musim itu, total, Shevchenko mencetak 92 gol.

Mental tebal Shevchenko yang sudah tertanam sejak muda, ditambah kegarangan Lobanovskyi, membuat Dinamo begitu percaya diri melangkah di kompetisi Eropa. Tahun 1997, dan hal itu yang memang mereka lakukan, dengan mempermalukan Barcelona dengan skor 0-4 di Camp Nou. Shevchenko menjadi pemain Ukraina pertama yang mencetak hat-trick di kompetisi Eropa.

Satu musim berselang, musim 1998/1999, giliran Real Madrid yang dipecundangi kereta cepat Dinamo. Klub kecil di kompetisi Eropa, yang tak diunggulkan itu berhasil menekuk Madrid dengan total agregat 3-1. Musim itu, Shevchenko memuncaki daftar pencetak gol terbanyak di Liga Champions dengan delapan gol.

Sebuah penampilan super yang seperti membuat hati Milan terketuk. I Rossoneri seperti menemukan kepingan yang mereka cari. Kepingan yang menghilang semenjak Marco van Basten “dipaksa” pensiun karena cedera parah. Dalam diri Shevchenko, Milan menemukan tambatan hati yang baru.

Baca juga: Dunia Pernah Sempurna untuk Alexandre Pato

Kredit: Getty Images

Bulan madu tujuh tahun

Dana hingga 23 juta euro memuluskan kepindahan Shevchenko ke San Siro. Sosoknya yang sudah pernah menghipnotis Eropa membuat Milanisti begitu bergairah menyambut Shevchenko, yang saat itu masih berusia 23 tahun. Sebuah pernikahan yang dinantikan, dan impian bulan madu yang tak ingin diakhiri, bahkan hingga saat ini.

Dan memang tak butuh waktu lama bagi Shevchenko untuk membuka catatan golnya bersama Milan. Satu gol ia persembahkan di malam pertama, ketika Milan bertandang ke rumah Lecce.

Musim pertamanya bersama Milan, Shevchenko mencetak 24 gol dari 32 pertandingan. Catatan apik yang membuatnya berdiri sejajar dengan  Michel Platini, John Charles, Gunnar Nordahl, Istvan Nyers, dan Ferenc Hirzer, sebagai pemain asing yang mampu menjadi pencetak gol terbanyak di musim perdana.

Milan dan Shevchenko adalah narasi tentang ketajaman seorang penyerang komplet. Ia bisa membuat gol dari segala situasi, dengan kedua kakinya, atau kepala. Musim kedua bersama Milan, Shevchenko kembali mencatatkan 24 gol. Meski membuat banyak gol, gelar Serie A masih terlalu sulit untuk digapai Milan.

Baca juga: Gunnar Nordahl, Sang Pemadam Kebakaran yang Jago di Atas Lapangan

Musim yang “aneh” terjadi pada musim 2002/2003, Shevchenko hanya mencetak lima gol dari 24 penampilan. Rentetan cedera membuatnya tak maksimal ketika bermain. Salah satu dari sedikit gol yang ia hasilkan pada musim yang aneh itu terjadi di laga paling penting, final Liga Champions melawan Juventus di Old Trafford.

Shevchenko adalah penendang penalti penentu. Jika gol, Milan menjadi juara. Ia begitu dingin ketika mengambil ancang-ancang untuk menendang penalti. Beberapa kali, ia menolehkan kepala ke arah wasit, mungkin untuk meyakinkan diri bahwa ia sudah boleh membawa Milan ke puncak kejayaan. Penaltinya begitu sempurna, tak terlalu keras, dan mengecoh Gianluigi Buffon yang tengah berada dalam puncak performanya.

Penyerang bernomor punggung tujuh tersebut merayakannya dengan kebahagiaan yang meluap-luap. Ia berlari ke arah Dida, kiper Milan yang pada drama malam itu juga mementaskan salah satu peran penting. Ketika tak bisa berkontribusi banyak gol, Shevchenko memberikannya di saat yang paling tepat.

Sehari setelah final, Shevchenko membawa trofi Liga Champions ke makam Valeriy Lobanovskyi, yang meninggal satu tahun sebelumnya. Shevchenko, yang bermandikan haru, mengungkapkan bahwa Lobanovskyi adalah pelatih yang paling berpengaruh di dalam perjalanan kariernya.

“Ini adalah caraku berterima kasih atas semua yang sudah beliau ajarkan kepada saya. Beliau mengajarkan kepada saya tentang makna besar kesabaran. Beliau menanamkan budaya kerja keras di dalam diri saya dan pentingnya menghormati lawan. Ia meletakkan sebuah pondasi yang menjadi dasar karier saya.”

Musim selanjutnya, Shevchenko betul-betul menunjukkan bentuk budaya kerja keras yang dipatri oleh Lobanovskyi di dalam tubuhnya. Ia berhasil lepas dari mimpi buruk rentetan cedera. Dimulai dengan mempersembahkan gelar Piala Super Eropa, Shevchenko seperti menjadi oase bagi rasa dahaga Milan akan scudetto.

Total 24 gol dari 32 laga ia catatkan, dan Milan akhirnya memenangi kompetisi Serie A setelah puasa selama lima tahun. Berkat performanya yang sangat konsisten, tahun 2004 Shevchenko dianugerahi gelar Ballon d’Or, mengalahkan Ronaldinho.

Musim 2004/2005, patah tulang pipi sempat membuat Shevchenko kembali absen dalam beberapa laga. Namun kembali, ia tak mengizinkan cedera membuatnya lengah. Meski absen dalam banyak laga, Shevchenko masih bisa menyarangkan 26 gol dari 40 laga. Namun sayang, tahun itu menjadi tahun yang pahit bagi Milan dan Shevchenko pribadi.

Final Liga Champions 2004/2005, malam yang ajaib di Istanbul, Milan membuang keunggulan 3-0 di babak pertama. Liverpool bangkit di babak kedua dan menyamakan kedudukan. Drama sesungguhnya ada di dua babak tambahan. Shevchenko sempat, dan seharusnya, bisa mencetak gol. Peluang 99 persen itu lesap begitu saja di tangan Jerzy Dudek yang seperti menjelma menjadi kiper terbaik di dunia sepanjang masa.

Kegetiran kembali dirasakan Shevchenko di babak adu penalti. Dudek yang ikonik malam itu berhasil menepis tendangan penalti Shevchenko yang mengarah ke tengah. Liverpool menjadi juara dan Milan harus tidur dengan bekal serial mimpi buruk berjudul “Malam Sendu di Istanbul”.

Milan memang berhasil membalas dendam dua musim kemudian, namun bukan Shevchenko yang menjadi pusat, melainkan Filippo Inzaghi dan pemuda tampan dari Brasil.

Baca juga: Jerzy Dudek, Goyangan yang Berbuah Trofi Liga Champions

Rasa getir di bibir masih tersisa pada musim setelahnya, musim 2005/2006. Milan dan Shevchenko gagal di semua kompetisi. Bulan madu selama tujuh tahun itu nampaknya sudah kehilangan rasa manisnya. Setelah satu tahun penuh bermain mata dengan Chelsea, legenda Ukraina ini akhirnya bersedia dipinang dan diboyong ke Stamford Bridge.

Maharnya 43 juta euro dan Roman Abramovich membawa teman baiknya ke dalam gerbong mahal Chelsea. Pernikahan Shevchenko dan Chelsea tak berjalan dengan nyaman. Meski sempat membuat pendukung The Blues bergairah ketika Shevchenko langsung membuka keran golnya di laga debut ketika melawan Liverpool dalam ajang Community Shield, performa mantan pemenang Ballon d’Or tersebut tak pernah mengilap.

Selama dua musim berseragam Chelsea, Shevchenko tak pernah kembali ke performa terbaik seperti ketika berseragam merah dan hitam. Ia menyadari bahwa lebih baik pergi ketimbang sakit hati. Adriano Galliani, Wakil Presiden Milan kala itu, membuka pintu untuk rujuk dengan Shevchenko. Sebuah peluang yang diambil dengan senang hati oleh Shevchenko.

Namun sayang, bulan madu kedua antara Milan dan Shevchenko berjalan dingin. Semuanya sudah berubah, Shevchenko yang pulang dari London, bukan lagi seorang lelaki penuh vitalitas dan mental baja seperti dulu. Ia sudah kehilangan daya lesat lari jarak pendek. Shevchenko semakin sering membuang peluang dan cedera adalah pelariannya.

Masa peminjaman satu tahun bersama Milan tak berarti banyak dan Shevchenko kembali ke Chelsea. Masa indah Shevchenko bersama I Rossoneri hanya tujuh tahun. Sebuah masa yang begitu singkat untuk dikenang.

Baca juga: Marcel Desailly, Komedi, Adaptasi, dan Hikmah Mentari

Di alam bawah sadar pendukung Milan, Shevchenko tak pernah benar-benar pergi. Di hati yang paling dalam, tak ada Milanisti yang rela Shevchenko pergi dan kehilangan sentuhan mematikannya. Tujuh tahun adalah tentang ingatan kemasyhuran yang pendek, yang akan terus Milanisti simpan dalam lemari besi bernama masa lalu.

Ingatan pendek yang akan terus Milanisti jaga. Selamat ulang tahun Andriy Shevchenko, kepada siapa engkau akan menitis? Dari siapa Milanisti bisa bernostagia dengan kelebat namamu?

 

*Artikel ini diunggah ulang dari tulisan Yamadipati Seno untuk memperingati hari ulang tahun Andriy Shevchenko.