Tribe Ultah

Marcel Desailly, Komedi, Adaptasi, dan Hikmah Mentari

7 September, 51 tahun yang lalu, jagat sepak bola pernah melahirkan seorang pemain bertahan yang sangat tangguh, kuat, dan sulit dilewati lawan. Ia lahir dengan nama Odenke Abbey di Ghana, tapi setelah ibunya menikah dengan pria Prancis dan ia dibawa ke Negeri Napoleon itu sejak umur empat tahun, namanya diganti oleh sang ayah menjadi Marcel Desailly.

Sepanjang kariernya, pemain setinggi 188 sentimeter ini mengecap memori manis bersama Marseille, AC Milan, dan Chelsea. Namun, tahukah kalian kalau dalam setiap keputusan Desailly untuk berganti klub selalu tersimpan kisah lucu dan unik?

Berikut ini adalah beberapa kisahnya yang sebagian dirangkum dari penggalan paragraf di These Football Times dan FourFourTwo:

Foto: Getty Images

Menolak materi demi ambisi

Cerita ini berawal ketika Desailly muda memulai karier profesionalnya di Nantes pada tahun 1986. Berkat performa apiknya, dua klub besar Prancis saat itu, AS Monaco dan Marseille, mengajukan tawaran pembelian Desailly ke Nantes.

Monaco saat itu mengajukan gaji besar, melebihi penawaran Marseille. Nantes tidak mempermasalahkan ke mana pun Desailly akan berlabuh, namun keluarga sang pemain lebih menginginkan anaknya pindah ke Monaco agar mendapat penghidupan yang menjanjikan di masa depan. Akan tetapi, Desailly justru memilih sebaliknya.

Ia memilih Marseille sebagai pelabuhan barunya, menepikan segala materi yang dijanjikan Monaco, dan mengejar ambisinya untuk meningkatkan kemampuannya karena Marseille menjanjikan satu tempat baginya di tim inti.

Keputusan yang berbuah kesuksesan. Bersama tandemnya di lini belakang, Basile Boli, L’OM dibawanya menjadi kampiun Piala Champions tahun 1993 setelah mengalahkan AC Milan 1-0 lewat gol tunggal Boli.

Baca juga: Belajar Pluralisme Melalui Sepak Bola

Foto: Getty Images

Menjadi superhero di San Siro

Ketika seorang pemain muda dari Liga Prancis menampilkan performa impresif, sudah sewajarnya ia mendapat perhatian dunia, dan para pemandu bakat dari klub-klub besar Eropa datang berbondong-bondong untuk memgamati aksi sang pemain. Namun, kisah yang dialami Desailly sebelum bergabung dengan Milan tergolong unik.

Ariedo Braida yang saat itu datang ke pertandingan Marseille kontra Saint-Étienne, awalnya diutus untuk membuat laporan tentang Alen Bokšić, tetapi di saat yang bersamaan, Desailly bermain sangat bagus dengan berperan sebagai libero sekaligus bek tengah.

Dalam sekejap, pandangan Braida pun langsung beralih ke bek berkulit gelap itu dan kebetulan Milan sedang mencari seorang gelandang untuk menutup kekosongan akibat cederanya Zvonimir Boban.

Singkat cerita, Desailly pun terbang ke San Siro, menandatangani kontrak bersama salah satu tim terbesar di Italia, dan mengenakan nomor punggung 8. Ia sebenarnya lebih menyukai nomor punggung 6, tapi mustahil ia dapat memakai nomor itu dalam balutan seragam merah-hitam ala I Rossoneri.

Baca juga: Oberto: Panggung Abadi Franco Baresi

Meski berpredikat sebagai pemain muda berbakat, Desailly tidak mudah meraih satu posisi di tim inti Il Diavolo Rosso. Milan saat itu dihuni oleh pemain-pemain tenar dan kebijakan di Serie A hanya memperbolehkan setiap tim memainkan tiga pemain asing di tiap pertandingan.

Desailly pun harus bersaing dengan Marco van Basten, Michael Laudrup, Jean Pierre-Papin, Giovane Élber, and Dejan Savićević untuk menempati satu posisi di starting line-up.

Desailly aslinya berposisi sebagai bek tengah, namun di Milan ia digeser menjadi gelandang bertahan. Perubahan posisi inilah yang menjadikannya sebagai salah satu pemain paling berpengaruh di San Siro dan sukses mempersembahkan satu trofi Liga Champions serta dua scudetti.

Berkat ketangguhannya ini pula, Desailly mendapat julukan The Rock dari adidas, mengikuti jejak para pesepak bola tenar lainnya yang juga memiliki julukan, seperti Papa Bouba Diop (The Wardrobe), Juan Sebastián Verón (The Little Witch), dan Javier Zanetti (The Tractor).

Foto: Getty Images

Chelsea? Klub apa itu?

Itulah kalimat yang diucapkan Desailly saat mendengar ada salah satu klub berbaju biru di Liga Primer Inggris yang berminat menggunakan jasanya. Desailly sendiri saat itu sudah habis masa kontraknya dengan Milan dan dipersilakan hengkang dengan status bebas transfer.

Lucu dan mengherankan, memang. Seorang pemain mendapat tawaran dari sebuah klub yang tidak ia ketahui sama sekali sepak terjangnya, dan ia justru memutuskan untuk bergabung ke sana!

Betul, Tribes, Desailly berangkat ke Stamford Bridge tanpa mengetahui satu hal pun tentang The Blues, dan yang ia ucapkan ke Colin Hutchinson, direktur olahraga Chelsea kala itu, saat menyetujui kepindahannya ke London adalah: “Baiklah, mari kita jalan-jalan melihat klubmu.”

Saat itu, Desailly sebenarnya juga ditawar oleh Liverpool, bahkan sudah menjalin pra-kontrak dengan Sir Alex Ferguson di Manchester United lewat sambungan telepon. Akan tetapi, karena Desailly ingin menyekolahkan anaknya di sekolah berbahasa Prancis, ia tidak menerima pinangan dua klub tersebut dan memilih Chelsea sebab London memiliki sekolah dengan kriteria yang ia inginkan.

Baca juga: Hukuman Bagi Chelsea, Berkah Bagi Para Pemain Cadangan

Jika di awal kedatangannya di Milan ia kesulitan bersaing dengan nama-nama tenar, di Chelsea ia mengalami kendala dalam perbedaan gaya bermain. Liga Primer Inggris sangat berbeda dengan Serie A dan Ligue 1. Jika di kedua klub sebelumnya Desailly sangat ditakuti penyerang lawan karena badannya yang tinggi besar, “perlakuan istimewa” itu sama sekali tidak ia dapatkan di Inggris.

Para juru gedor di Inggris memiliki postur yang sama besarnya dengan Desailly dan berani melakukan tekel, seperti Dion Dublin dan Duncan Ferguson. Itu diperparah dengan skema bola panjang yang kerap diperagakan Coventry City dan Sunderland. Periode adaptasi yang sangat melelahkan, sangat menguras tenaga serta pikiran dan itu dijalaninya selama empat bulan pertama.

Dalam penuturannya saat diwawancarai FourFourTwo, Desailly menyebutkan bahwa penyerang tersulit yang ia hadapi di Liga Primer Inggris adalah Alan Shearer. “Ia tidak peduli bagaimana pun ia dihentikan, seberapa kasar ia dilanggar, atau seberapa sering ia dicurangi. Ia akan segera bangkit dan berdiri lagi.”

Kesulitan demi kesulitan yang ia hadapi di awal kedatangannya di Chelsea kemudian ia pelajari lebih lanjut lewat tayangan video. Hasilnya, ia mendapatkan sebuah temuan bahwa di Liga Primer Inggris, ia tidak harus selalu meladeni semua duel udara.

Ada kalanya ia hanya perlu diam untuk memperkirakan ke mana bola akan dipantulkan. Ia juga belajar untuk melepas bola lebih cepat untuk menghindari terjangan para penyerang lawan.

Baca juga: Pertandingan Pertama, Indonesia Gagal Total di Dalam dan Luar Lapangan

Perbedaan budaya juga menjadi permasalahan utama Desailly dalam masa adaptasinya di Inggris. Jika di Italia para penduduknya lebih gemar membeli barang mewah untuk dipamerkan, seperti jam tangan contohnya, di Inggris ia menemui fenomena sebaliknya.

Para orang kaya di Negeri Ratu Elizabeth, termasuk para pesepak bola ternama, lebih suka menggelontorkan dananya dengan membeli mobil mewah untuk kenikmatan sendiri, bukan untuk dipamerkan.

Meski masa adaptasinya dilalui dengan berbagai macam kesulitan termasuk fasilitas latihan dan stadion yang tidak sebagus di Milan, Desailly tetap dapat memberikan kontribusi maksimal dengan meraih satu Piala FA dan satu trofi Community Shield.

Salah satu pertandingannya bersama Chelsea juga menjadi memori yang tak terlupakan baginya. Momen itu terjadi di laga terakhir Liga Primer Inggris musim 2002/2003.

Chelsea saat itu tengah mengalami krisis keuangan dan mereka membutuhkan dana segar, salah satunya dari dana kompetisi. Maka dari itu, The Blues berusaha mati-matian untuk menembus Liga Champions dengan mengalahkan Liverpool di pekan terakhir.

Chelsea memulai pertandingan dengan berat. Gawang mereka kemasukan lebih dulu lewat gol Sami Hyypiä, namun tim asuhan Claudio Ranieri dapat bangkit dengan dua gol balasan yang dicetak Desailly dan Jesper Grønkjær. Chelsea pun lolos ke kasta tertinggi kompetisi antarklub Benua Biru dan mereka melaju hingga semifinal.

Foto: Getty Images

Ketika mentari pagi memintanya berhenti

Suatu hari di Qatar pada tahun 2006, Desailly berstatus sebagai pemain Qatar SC. Sekitar pukul lima pagi waktu setempat ia berada sendirian di kamar. Ia memang sengaja tidak membawa keluarganya ke Qatar karena alasan tertentu dan tidak keberatan untuk hidup ala anak rantau.

Dibukanya tirai jendela dan sinar mentari pagi pun masuk menghangatkan kamarnya. Kondisinya tidak terlalu bugar saat itu karena sedang cedera ringan, dan ia melangkah perlahan, memandang keluar. Sinar terang sang mentari menerpa seluruh badannya dan seketika terlintas sebuah keputusan besar di kepalanya untuk berhenti.

Berhenti dari segala aktivitasnya di lapangan hijau, berhenti mewarnai daftar susunan pemain dengan namanya, dan berhenti menghiasi layar kaca dengan badan kekarnya. Di hari itu pula ia mendatangi kantor klubnya dan menyampaikan keputusannya untuk tidak memperpanjang kontrak sekaligus gantung sepatu di usia 38 tahun.

Baca juga: Dunia Pernah Sempurna untuk Alexandre Pato

Selama dua dekade ia menghiasi lapangan hijau dengan ketangguhannya mengawal lini belakang, selama 20 tahun ia menjadi momok bagi para penyerang lawan untuk mengejar bonus dengan mencetak gol. Setelah dua dasawarsa, fisiknya tak lagi prima, psikisnya tak mampu lagi untuk menahan beban ekspektasi yang tersemat padanya.

Desailly akhirnya mengakhiri perjalanan kariernya yang panjang. Menyudahi rutinitasnya sebagai pesepak bola yang selalu terbangun dengan jempol kaku tiap pagi, tak lagi mengalami lelahnya perjalanan jauh, dan tidak lagi mengalami nyeri setelah pertandingan. Semua beban itu terlepas dari pundaknya, dan ia dapat kembali meluangkan waktunya bersama keluarga sembari mengurus bisnisnya.

Setelah pensiun, Desailly mendirikan komplek olahraga di Ghana bernama Lizzy Sports Complex sebagai sarana penunjang kegiatan jasmani di sana sekaligus membuka lapangan pekerjaan baru bagi warga sekitar.

Ia juga membawa anaknya ke negara kelahirannya untuk mengenalkan budaya Afrika kepada mereka, dan agar keempatnya mengetahui kalau ayahnya bukan hanya warga Prancis, tapi juga rakyat Afrika.

Selamat ulang tahun, Marcel “The Rock” Desailly. Rosa, rosa, rosa!

 

*Artikel ini diunggah ulang dengan beberapa pembaruan untuk merayakan hari ulang tahun Marcel Desailly.