Kolom

Oberto: Panggung Abadi Franco Baresi

Ian Rush punya gambaran paling jelas soal Franco Baresi. “Kemampuannya membaca pertandingan begitu fantastis. Di Italia, dia adalah bek paling tangguh.”

Sementara itu, Paolo Maldini, penerus ban kapten di AC Milan melukiskan Baresi dengan satu kata, “Spesial”. Satu kata yang sudah cukup menegaskan aura dan keagungan Baresi, baik di atas lapangan dan pengaruhnya di luar lapangan. Bagi Milanisti, bek tangguh tersebut adalah cermin kesetiaan kepada warna merah dan hitam.

Baresi lahir di Travaglito, Lombardy, sekitar satu jam perjalanan dari Milan. Sebagai bek tengah, ia tidak mempunya fisik yang kekar dan tinggi menjulang. Ia hanya mempunyai tinggi 176 sentimeter, dan dipandang tak begitu ideal untuk lini pertahanan. Namun, Baresi lahir sebagai Italiano tulen, identitas yang lekat dengan kemampuan bertahan yang luar biasa di sepak bola.

Baresi memang tak ingin tinggi badan menjadi masalah. Seperti kata Ian Rush, kemampuan Baresi untuk membaca pertandingan sangat istimewa. Ia diberkahi kemampuan untuk menentukan waktu yang tepat untuk merebut bola dari penguasaan lawan. Ketika mendapat ruang dan waktu yang ideal, tak jarang, Baresi membawa bola ke depan. Ia menjelma sebagai sosok libero dengan otak yang brilian.

Kemampuannya menjadi libero sering dibandingkan dengan legenda Jerman, Franz Beckenbauer, yang disebut memopulerkan peran tersebut. Jika Der Kaiser disebut lebih baik sebagai libero, maka Baresi dipandang lebih superior dalam hal menjalankan tugasnya untuk bertahan. Keduanya mempunyai gaya masing-masing.

Mantan manajer Milan, Nils Liedholm, sempat berujar bahwa di usianya yang baru 18 tahun, Baresi sudah mempunyai kemampuan dan pengetahuan selayaknya seorang bek veteran. Pelatih asal Swedia itu juga yang memberikan debut kepada Baresi, tepatnya ketika melawan Verona di bulan April tahun 1978.

Sepanjang musim itu, Baresi tampil begitu baik untuk seorang jebolan primavera. Liedholm pun tak ragu untuk berkata bahwa untuk musim selanjutnya, posisi libero akan diserahkan kepada Baresi. Untuk dua dekade selanjutnya, posisi libero Milan selalu lekat dengan nama Franco Baresi.

Meski sudah resmi masuk ke dalam tim utama Milan, bagi para pemain senior, Baresi tetap anak muda, seorang junior. Para senior melabelinya sebagai piscinin atau ‘si kecil’. Label tersebut tak disukai oleh Baresi. Namun, ia menerimanya lantaran tak ingin membuat masalah dengan para senior. Ia memandang para senior, tepatnya para senior yang sudah menyandang status bintang, sebagai manusia dari planet lain. Ia menaruh respek kepada mereka.

“Kekuatan terbesar saya bukan soal fisik. Sebagai pemain, lari saya cukup cepat, tapi kecepatan berpikir saya yang lebih cepat. Kelebihan itu yang sangat membantu saya. Anda bisa melatihnya, lewat pengalaman misalnya, namun kecepatan berpikir adalah bakat alami saya,” tegas Baresi.

Soal kekuatan fisik, Maldini punya pandangan sendiri. “Ia tidak seperti (Jaap) Stam, sosok yang besar, kuat, dan cepat. Baresi punya kecepatan, tapi beratnya hanya 70 kilogram. Tapi saya kasih tahu, ketika ia menghajarmu dengan tackle, tackle-nya terasa begitu kuat.” Berpikir dengan cepat dan kemampuan dasar bertahan yang sempurna membuat Baresi menjadi bek yang komplet.

Selain soal teknik dan kemampuan berpikir cepat, Baresi juga terbuat dari kesetiaan dan kehormatan. Tahukah Anda, bila roda takdir berbelok ke arah yang berbeda, Baresi bisa saja menjadi legenda Internazionale Milano.

Ketika berusia 14 tahun, Baresi menjalani trial bersama Internazionale. Namun, ia ditolak secara halus. Perwakilan dari Internazionale berkata, “Coba lagi tahun depan,”. Pertimbangannya adalah Baresi dianggap terlalu kecil dan tidak akan bisa bersaing di kerasnya Serie A.

“Kakakku sudah bergabung bersama Inter. Saya ingin ikut dia (bergabung bersama Internazionale). Jadi saya ikut trial dan mereka bilang, “Coba lagi tahun depan.” Tapi selanjutnya, pelatih saya membawa saya ke Milan dan di sana saya diterima, meski harus melewati beberapa kali trial,” kenang Baresi.

Meski ditolak oleh Internazionale, Baresi tak menyesal. Ia justru mengaku lega setelah ditolak dan akhirnya diterima Milan. “Saya seorang Milanista. Dan sungguh keberuntungan yang luar biasa besar untuk bermain bersama Milan,” kata Baresi.

Jauh di dalam hati, Baresi selalu menjadi Milanisti. Sebuah penegasan akan kesetiaan, yang memang ia tunjukkan dengan hanya berkarier bersama Milan. Baresi menjadi salah satu dari sedikit pemain yang bertahan dengan satu tim. Atas pengabdian dan pengorbanannya, Milan memensiunkan nomor punggung 6, nomor yang Baresi kenakan selama membela Rossoneri.

Jika San Siro digambarkan sebagai panggung teater sepak bola yang penuh drama, kota Milan juga punya satu lagi panggung yang termasyhur bernama La Scala. Sebuah panggung di mana Giuseppe Verdi, seorang komponis dan penulis naskah drama, mementaskan opera yang berjudul Oberta, Conte di San Bonifacio.

Opera Oberta berkisah tentang kesetiaan dan kehormatan kepada keluarga, di mana sang pahlawan memilih mati di tengah pertarungan ketimbang merusak kesetiaannya. Cerita yang sempurna menggambarkan Baresi dan kisah romansanya bersama Milan.

Hati merah dan hitam sejak belia, dijaga dan dikhidmati hingga ia mundur dari panggung lapangan hijau, panggung abadi bagi Franco Baresi.

Buon compleanno, Kaiser Franz.

Author: Yamadipati Seno
Koki @arsenalskitchen