Suara Pembaca

Sebuah Anomali Bernama Eric Dier

Tottenham Hotspur telah berubah dari sekadar klub penantang peringkat lima menjadi pemburu gelar juara semenjak ditangani Mauricio Pochettino. Yang menarik, masa edar pelatih Argentina ini juga diwarnai kemunculan sekelompok pemain Inggris yang bermain di starting XI, sesuatu yang jarang kita temui belakangan ini.

Dany Rose, Kyle Walker, Eric Dier, Dele Alli, serta Harry Kane rutin menghiasi susunan sebelas pemain awal di White Hart Lane. Itu pun belum menghitung tenaga Kieran Trippier dan Harry Winks yang senantiasa diberdayakan Poch, sebutan akrab Pochettino, bila pemain utama berhalangan bermain. Meski demikian, ada satu orang pemain yang menolak menganggap dirinya orang Inggris tulen.

“Aku merasa beberapa orang melupakan fakta bahwa aku pada dasarnya termasuk pemain asing. Aku memang orang Inggris, tetapi aku merasa seperti pemain asing lainnya yang datang ke Liga Inggris untuk pertama kalinya,” ungkap Eric Dier pada Oktober 2015.

Saat itu ia mengawali musim keduanya berseragam The Lilywhites. Siapa sangka, sang gelandang bertahan ternyata tidak mengenyam pendidikan dasar sepak bolanya di daratan Inggris.

Adalah perhelatan Euro 2004 yang membuat Eric Dier sekeluarga, orang tua dan lima saudara, menjalani hidup di tanah orang, tanah Iberia. Sang ibu mendapatkan pekerjaan menjelang turnamen sepak bola terakbar di benua biru itu di Algarve, salah satu kota penyelenggara. Selang beberapa lama, mereka memutuskan boyongan ke ibu kota negara Portugal, Lisbon.

Situs pangkalan data karier pemain, Transfermarkt, menyebutkan Dier mulai berlatih di akademi sepak bola tahun 2003. Bukan di SSB London Utara atau SSB West Ham, melainkan Akademi Sporting Lisbon. Penggemar sepak bola tentu mafhum, legenda Portugal macam Luis Figo, Cristiano Ronaldo, atau Luis Nani sempat tholabul ilmi di akademi ini.

Ia baru mencicipi atmosfer sepak bola Britania pada 2011/2012 saat menjalani masa peminjaman ke tim muda Everton. Kaget dengan budaya sepak bola Inggris, ia tidak berlama-lama berada di tanah kelahiran. Hanya semusim dia tinggal di Goodison Park.

Sepanjang perjalanan karier juniornya, ia membentuk diri sebagai pemain dengan kemampuan berpindah posisi tanpa kegugupan berarti. Dia menghabiskan masa bocahnya di mini soccer berisi tujuh pemain per tim hingga usia 13 tahun.

Memainkan formasi 2-3-1, dia mengambil peran di gelandang paling kanan sebalum mengubah haluan menjadi pemain bertahan. Mengenai perkembangan perannya ini, Dier berkomentar, “Aku merasa lebih mirip pemain sayap waktu itu.” Ketika usianya sudah cukup untuk bermain sebelas lawan sebelas, ia diperkenalkan sebagai seorang bek tengah.

Pada musim 2012/2012, tiba waktunya semesta memanggil Dier dari sepak bola junior. Pelatih Sporting Lisbon, Jesualdo Pereira, mulai memercayai Dier dalam beberapa pertandingan. Ia pula yang menyadari bek mudanya itu punya kemampuan bermain lebih ke depan. Pelatihnya saat ini, Poch, juga beberapa kali memberdayakan Eric Dier sebagai bek kanan. Jadilah ia pemain multi-posisi masa depan tim nasional Inggris.

Perihal pemain berkemampuan ganda, Gaizka Mendieta mengaku kesulitan menemukannya di sepak bola Inggris. Ekspatriat asal Spanyol yang menjadi legenda di Middlesbrough itu berkaca pada Cesar Azpilicueta, bek senegara milik Chelsea.

Ia mengatakan, “Saya berpikir terdapat perbedaan pendidikan di sini (Inggris), dan itu yang saya perhatikan ketika tiba di Inggris. Kita (di Spanyol) dididik memainkan setiap posisi yang tersedia di lapangan. Lihat Azpilicueta, dia bisa bermain sebagai bek kanan, bek kiri, bek tengah, bahkan sebagai gelandang, dan itu merupakan hal yang umum dipunyai pemain Spanyol.”

“Namun, di Inggris, saya tidak menemukannya. Pemain biasanya diajari bermain di satu posisi dalam formasi baku, yang berarti keterbatasan jalan pikiran bermain ketika mereka tumbuh besar. Saya pikir itu adalah sesuatu yang harus diubah,” ujarnya.

Mendieta mungkin baru menemukan Glen Johnson, bek kanan yang menambal pos bek kiri semasa di Liverpool lalu menempati bek tengah paling kanan dalam formasi tiga bek Stoke City musim ini.

Kasus Johnson lebih bisa dipahami sebagai solusi instan pelatih menghadapi badai cedera ketimbang penghargaan atas kemampuan multi-posisi sang pemain. Satu lagi mungkin James Milner, yang pernah dicoba di pos bek kanan, gelandang kanan, gelandang tengah, hingga penyerang palsu di Manchester City.

Milner kini bahkan menjalankan tugas di kiri pertahanan Liverpool, menambal Alberto Moreno yang performanya angin-anginan. Walaupun Jurgen Klopp melabelinya “masterclass”, publik tetap mengingatnya sebagai sayap ortodoks Inggris berkemampuan umpan silang khas Britania.

Eric Dier berbeda. Kurikulum pendidikan yang ia terima tidak sama dengan kurikulum yang diperoleh Johnson, Milner, atau ratusan pemain Inggris lainnya. Selain itu, Dier dipuji sebagi pemain terpenting Tottenham dalam hal fleksibilitas strategi, baik sebelum pertandingan maupun saat pertandingan berjalan.

Squawka bahkan menyatakan, Dier adalah pemain yang harus Poch percaya dalam mengembangkan proyeknya di Tottenham. Dier dianggap memiliki semua “superficial attributes” yang dibutuhkan dalam posisinya, mulai dari mobilitasnya menjaga kedalaman lini tengah, ketahanannya menghadapi segala jenis pemain lawan, postur tubuhnya yang menjamin keamanan di udara, serta kemampuannya menyalurkan bola untuk kepentingan transisi pola permainan tim.

Sebagai bukti, minggu lalu The Guardian menyusun laporan pertandingan yang mengungkapkan peran besar Dier dalam menggerakkan mesin Tottenham saat melawan Arsenal. Pada pertandingan derbi London Utara itu, Spurs diatas kertas bermain menggunakan formasi 4-2-3-1. Akan tetapi, ketika duo bek sayap, Kieran Trippier dan Ben Davies, melaju ke pertahanan lawan, Dier turun lebih dalam ke kanan pertahanan guna menekan posisi Alexis Sanchez.

“Saya berpikir hari ini kalian (wartawan) bisa melihat fleksibilitas taktik kami selama pertandingan. Bergantian kami punya tiga orang atau empat orang di belakang, atau dua bek dengan tiga gelandang. Kita juga memakai bek sayap lebih ke depan atau lebih ke tengah seperti halnya gelandang,” tutur Poch di konferensi pers setelah pertandingan.

Bermain selama 90 menit, Dier menjadi pemain yang harus dipuji mengingat Arsenal kesulitan menciptakan shot on target sepanjang pertandingan (12 milik Tottenham berbanding 4 milik Arsenal).

Pada akhirnya, kualitas seorang Eric Dier akan diabdikan untuk negeri Ratu Elizabeth tercinta. Kebetulan, timnas Inggris digadang-gadang mendapatkan satu lagi generasi emas. Generasi ini sudah memulai petualangan di Piala Eropa 2016 lalu.

Melihat kondisi Spurs saat ini, kita bisa berharap potensi langka seorang Eric Dier terpoleskan sepenuhnya di tangan Mauricio Pochettino. Spurs-nya Poch masih menjadi salah satu tim dengan rataan usia termuda di liga, serta konsisten dalam persaingan gelar juara dalam dua musim terakhir.

Tak lupa kita menyampaikan salam pada Gareth Southgate, mandataris FA atas tim nasional Inggris, agar menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan supaya para pemain muda bisa berbicara banyak di kancah internasional. Tujuan akhirnya? Menciptakan konsistensi prestasi bagi tim nasional dengan Piala Eropa dan Piala Dunia sebagai lambang supremasi kedigdayaan sepak bola Inggris.

Author: Mukhammad Najmul Ula (@najmul_ula)
Mahasiswa yang menganggap dua hal paling menggairahkan di dunia adalah sepak bola dan ilmu politik