Kolom

Scuola Allenatori: Madrasah Para Pemenang

Terletak di selatan Florence, di perbukitan yang hijau, dengan temboknya yang berwarna kuning pucat dan atap merah tua, bangunan itu berdiri anggun, mencoba meresonansi vila keluarga Medici yang termasyhur itu. Antonio Conte, dan beberapa pelatih kenamaan Italia lainnya, belajar cara untuk menang di Scuola Allenatori.

Scuola Allenatori, atau bisa disebut sebagai sekolah para pelatih, merupakan satu-satunya tempat di Italia yang dituju para allenatore apabila ingin mengambil lisensi UEFA A. Semua pelatih yang bekerja di Serie A dan B wajib mempunyai lisensi tersebut.

Scuola Allenatori terletak di dalam kompleks terpadu milik Federasi Sepak Bola Italia yang disebut Coverciano. Di dalamnya tak hanya melulu soal sepak bola. Terdapat fasilitas olahraga lain, baik di dalam maupun luar ruangan. Terdapat kolam renang untuk kegiatan polo air dan lintasan lari untuk keperluan olahraga atletik. Coverciano memang didesain untuk menaungi banyak cabang olahraga.

Ide ini lahir dari pendiri Coverciano sendiri, yaitu Luigi Ridolfi, keturunan keluarga kaya di Florence sekaligus mewarisi titel Marquis, sebuah gelar bangsawan yang jamak disandang di Italia dan Spanyol. Luigi dikenal sebagai “patron” atau pengayom beberapa cabang olahraga dan banyak festival musim di Florence. Ia juga yang pada tahun 1926 meresmikan pendirian Fiorentina, yang masih berkompetisi hingga saat ini.

Saat itu, di Italia, olahraga atletik dan basket justru yang lebih dikenal publik. Luigi Ridolfi sendiri ingin sepak bola belajar dari banyak cabang olahraga tersebut, yang disebutnya lebih maju sebagai sebuah budaya. Menggunakan pengalamannya mengurus banyak cabang olahraga, Luigi membangun Coverciano.

Coverciano ditujukan baik untuk pendidikan pelatih dan pusat pelatihan bagi tim nasional Italia, sebuah kompleks yang saat itu belum ada di dunia. Luigi ingin para pegiat sepak bola juga belajar secara langsung dari olahraga lain. Proses bertukar pikiran bisa terjdi di mana saja, di lorong-lorong kelas, di kantin.

Hasilnya pun baik. Dr. Fini Fino, kurator museum sepak bola Coverciano, menjelaskan bahwa ilmu dari ragam cabang olahraga memberikan banyak keuntungan bagi sepak bola. Salah satunya adalah membantu pelatih sepak bola memahami kemampuan fisik pemain.

Sekitar tahun 1960, Profesor Nicola Comucci memberikan pelajaran kepada para pelatih tentang mempersiapkan fisik pemain sepak bola supaya mampu bertanding di level tertinggi.

Prof. Comucci biasa mengamati latihan olahraga atletik. Tujuannya untuk mengamati mulai dari pergerakan selama atlet berlari, bagaimana cara atlet berlari di lintasan yang tidak lurus, hingga cara atlet lari menjaga pandangannya tetap terarah ke depan ketika berlari.

Dari olahraga lain, Prof. Comucci belajar cara jatuh supaya tidak melukai pesepak bola. Tektik-teknik jatuh ini sangat penting mengingat sepak bola bisa menjadi olahraga yang cukup intens. Cara belajar seperti ini membuat Scuola Allenatori menjadi tempat belajar yang terdepan di sekitar tahun 1950 dan 1960.

Saat ini, Scoula Allenatori dipimpin oleh Renzo Ulivieri, dan ia mempunyai ide yang brilian supaya para murid bisa mengembangkan pemikirannya sendiri. Ulivieri melarang para murid membaca berbagai macam literatur, terutama pendahulu mereka di Scoula sebagai bahan referensi.

“Para pelatih yang datang untuk belajar di sini tidak mendapatkan fasilitas buku bacaan,” tegasnya sambil menyeringai. “Ketika mereka datang ke sini, untuk dua atau tiga minggu pertama, pasti merasa kebingungan. Saya memang ingin mereka bingung,” tambahnya.

“Anda perlu memperbaharui beberapa konsep dasar soal sepak bola, yang mana saat ini sudah kuno dan masih bertahan. Anda perlu memulainya lagi dari nol karena, ilmu saya sudah 50 tahun kedaluwarsa. Yang sebenarnya saya ajarkan kepada para pelatih adalah akan seperti apa sepak bola dalam 10 tahun ke depan. Saya harus memprediksi masa depan,” ungkap Ulivieri.

Ia juga menegaskan bahwa proses belajar di Scoula Allenatori tidak selalu berlangsung satu arah, justru kebanyakan dua arah. Proses belajar banyak dilakukan di Aula Magna, sebuah ruang belajar modern dengan tampilan interaktif.

Di sini, para “murid” tak hanya mendengarkan ceramah dan tanya-jawan dengan para mentor. Namun, para murid ini juga mendapatkan kesempatan untuk “berbicara”. Jadi, para mentor pun tetap belajar hal-hal baru dari pendapat para muridnya.

Selain belajar mengembangkan idenya sendiri, para murid juga harus menulis karya ilmiah (Scoula menyebutnya tesis) sebagai syarat kelulusan. Topik tulisan ditentukan sendiri oleh para murid. Syarat ini menjadi keunikan Scoula Allenatore karena tempat kursus lainnya di Eropa tak menentukan syarat tertentu untuk lulus.

Syarat ini bukan lantaran keisengan Ulivieri, namun didasarkan pada tradisi lama. Dahulu, siapa saja yang ingin bekerja di level teratas di sepak bola Italia, harus membuat semacam silabus yang disebut Il Supercorso.

Bentuk tulisannya pun tak dibatasi melulu pada aspek sepak bola. Claudio Ranieri membuat tulisan cukup panjang yang lebih menyerupai buku harian. Tulisannya menggambarkan secara detail aktivitas yang ia lakukan bersama Cagliari, timnya dahulu, selama masa pra-musim.

Sekitar 16 tahun kemudian, Antonio Conte menulis 38 halaman karya ilmiah dengan judul “Considerations on 4-3-1-2 and the Didactic Use of Video”. Manajer Chelsea tersebut memaparkan kelebihan dan kekurangan 4-3-1-2 secara rinci. Termasuk membuat berbagai pertimbangan penggunaan skema tersebut dalam berbagai situasi.

Di satu halaman, Conte menjelaskan tiga macam sistem pressing yang bisa digunakan dalam berbagai situasi selama pertandingan, masih ditambah lima pertimbangan yang bisa membantu sistem mana yang lebih cocok. Conte juga menggunakan banyak diagram untuk menjelaskan pemikiran-pemikirannya.

Ulivieri menegaskan kepada para muridnya untuk tak membatasi sudut pandangnya dengan hanya menyaksikan kompetisi domestik. Para murid harus melihat banyak pertandingan di luar negeri. Ia mempunyai pegangan yang penting bagi para muridnya, yaitu “Vado, vedo, e faccio vedere,” yang bisa diterjemahkan menjadi ‘Saya pergi, melihat, lalu menunjukkannya kepada orang lain’.

Berbagai pandangan Ulivieri di atas didasarkan pada tradisi lama yang terus dipertahankan di Coverciano dan Scoula Allenatore. Para mentor dan murid harus berkolaborasi dan belajar bersama, memelihara pikiran yang terbuka, dan menjaga gairah untuk terus berkembang. Meski terlihat fleksibel, mereka bisa menjadi sangat serius ketika menganalisis, bahkan hal terkecil sekalipun dalam sebuah pertandingan sepak bola.

Menurut Ulivieri, saat ini, selain melatih fisik, para pelatih juga harus lebih perhatian kepada isi kepala pemain. Contohnya, ketika seorang pemain berhadapan satu lawan satu dengan lawan. Ia punya dua pilihan, yaitu menggiring bola melewati lawan atau mengoper bola kepada kawan. Satu keputusan yang diambil pemain bisa menentukan menang kalahnya sebuah tim.

Ulivieri dan timnya menegaskan bahwa Scoula Allenatori harus dua langkah di depan para pesaingnya. Dan hasilnya memang luar bisa jika pembaca melihat tabel klasemen beberapa liga top Eropa saat ini.

Pelatih berdarah Italia tengah menguasai kompetisi-kompetisi Eropa. Antonio Conte dan Massimiliano Allegri tengah memuncaki klasemen bersama klub masing-masing. Di Bundesliga, Carlo Ancelotti sudah juara bersama Bayern Munchen. Massimo Carrera, mantan asisten Conte, tengah menuncaki Liga Rusia bersama Spartak Moscow.

Saat ini, ada 19 pelatih asal Italia yang berkarier di lima liga besar Eropa. Sangat kontras dengan jumlah pelatih dari Spanyol (15), Jerman (11), dan Inggris (hanya 7). Scoula Allenatore, yang memancarkan aura tradisi lama, menjadi madrasah bagi banyak pelatih dengan ide brilian.

Disclaimer: Artikel ini disarikan dari tulisan Paolo Bandini yang berjudul, “Inside Italy’s Manager School, Where Conte, Ancelotti and Allegri Learned to Win” yang bisa Anda baca di sini: http://bleacherreport.com/articles/2706090-inside-italys-manager-school-where-conte-ancelotti-and-allegri-learned-to-win

Author: Yamadipati Seno
Koki @arsenalskitchen