Kolom

Dennis Bergkamp, Ia yang Mulia dan Agung di Sepak Bola

Jan Mulder menyebutnya “the finest Dutch footballer after Johan Cruyff”, sementara tandemnya semasa di Arsenal, Thierry Henry, melabelinya sebagai “a dream for every striker in the world”. Bagi saya, yang beruntung menikmati tiga musim terakhir sang pemain di Arsenal, Dennis Bergkamp adalah tuhan. Saya, juga sebagian suporter Arsenal yang beranggapan sama, menyebutnya Dennis “The God” Bergkamp

Terasa berlebihan julukan kami untuk Bergkamp? Silakan simak ini:

Gol ini selalu diperingati tiap tanggal 2 Maret sebagai salah satu dari sekian mahakarya Dennis Bergkamp semasa di Arsenal, juga semasa karier panjangnya di dunia sepak bola. Gol ini begitu ikonik karena hampir setara dengan gol ‘tangan tuhan’ yang culas milik Diego Maradona atau penalti unik milik Antonin Panenka.

Di masa jayanya bersama Arsenal, eks pemain Internazionale Milano ini memang salah satu wujud kecantikan dari sepak bola yang hakiki. Bila Juan Roman Riquelme adalah simbol kegeniusan, Bergkamp adalah simbol keagungan sepak bola kala itu. Dalam bahasa Inggris, saya menyebutnya “the finest”. Ia tak hanya berlatih, bermain dan mencetak gol, tapi Bergkamp memiliki kapabilitas bak filsuf dalam memproduksi kutipan yang ikonik.

Ini salah satu yang saya suka, “Behind every kick of the ball there has to be a thought”. Kutipan ini ikonik karena diucapkan pemain yang berlaga di Inggris, negara di mana sepak bola tidak pernah dilabeli sebagai ‘permainan’ namun lebih sebagai ‘pertandingan’. Laiknya filsuf yang agung, kutipan Bergkamp juga kehadirannya di lapangan hijau adalah jawaban mutlak untuk menentang Jorge Borges yang bilang bahwa sepak bola populer karena kebodohan juga populer.

Bagaimana mungkin olahraga sebodoh sepak bola seperti diklaim oleh Borges, bisa dimainkan dan mampu mereproduksi keajaiban lewat kaki-kaki Dennis Bergkamp?

Anda bisa memahami ucapan Bergkamp lewat cara bermainnya di lapangan. Kontrol bolanya sempurna, keputusannya untuk mengumpan atau menendang selalu tepat dan hampir jarang gagal, dan ini yang utama, ia selalu yakin bahwa sebelum bola datang kepadanya, ia sudah tahu bagaimana dan akan ke mana bola ini dimainkan dan diarahkan nantinya.

Simak ucapan Bergkamp berikut tentang gol ikonik miliknya ke gawang Newcastle di tahun 2002 itu, “Beberapa meter sebelum bola dari Robert (Pires) datang, saya sudah punya keputusan; saya akan memutar badan dan membelakangi dia (Nikos Dabizas) kemudian. Saya tahu posisinya (Dabizas) di belakang saya dan pikiran saya waktu itu, ‘saya akan memberi sedikit sentuhan untuk mengubah arah bola dan melihat apa yang terjadi setelahnya’. Mungkin saya akan satu meter di depannya, atau mungkin ia yang satu meter di depan saya, atau yang terburuk, bola akan membentur Dabizas dan ide saya gagal.”

Kita semua tahu kemudian bagaimana gol tersebut tercipta. Dan beberapa tahun setelahnya, kita semua yakin bahwa Dennis Bergkamp memang pemain genius. Ia bukan pemain masa kini seperti Eden Hazard atau Neymar da Silva yang memiliki kaki-kaki cepat nan lincah. Ia juga tidak setajam dan klinis laiknya Luis Suarez atau Robert Lewandowski. Tapi di masa-masa itu, ketika sepak bola masih sedikit lebih “murni” daripada sekarang, Bergkamp adalah tuhan yang menjadikan lapangan hijau sebagai arena menunjukkan mukjizatnya yang seakan tiada henti.

Bergkamp juga mewakili bagaimana mereka yang berasal dari generasi 1990-an melihat sepak bola yang jauh berbeda dengan bagaimana masyarakat modern melihat sepak bola masa kini. Di masa itu, sepak bola masih menawarkan romantisme. Generasi tersebut mungkin sangat old-fashioned, tapi kala itu, sepak bola adalah hal romantis yang mungkin setara dengan puisi-puisi Pablo Neruda atau roman Kahlil Gibran.

Di Italia, kita mengenal Francesco Totti dan bagaimana ia menguasai Roma dengan mutlak. Di Amerika Selatan, Tuhan seakan mengutus Juan Roman Riquelme untuk menunjukkan ke banyak anak-anak di muka Bumi bahwa di sepak bola, kamu tak perlu berbadan kekar dan banyak berlari untuk bisa menjadi jagoan sepak bola yang hebat. Dan ketika membicarakan dua nama tersebut, Dennis “The God” Bergkamp ada di titik yang sama.

Untuk menutup tulisan ini, pemain yang pada 10 Mei ini genap berusia 48 tahun, memberi wejangan penting tentang bagaimana menjadi suporter sepak bola, “When you start supporting a football club, you don’t support it because of the trophies, or a player, or history, you support it because you found yourself somewhere there; found a place where you belong”.

Dan karena itu diucapkan Dennis Bergkamp dan bukan Joey Barton atau Nicklas Bendtner, kamu sebaiknya sepakat dengan beliau tanpa perlu membantah panjang lebar.

Author: Isidorus Rio Turangga (@temannyagreg)
Tukang masak dan bisa sedikit baca tulis