Kolom

Francesco Totti adalah Soendari Soekotjo Dunia Sepak Bola

“Bahkan sejak masih kanak-kanak, ini sudah bukan sekadar rasa cinta. Saya telah berambisi untuk berkarier di jalan sepak bola. Saya pun bermain untuk klub-klub remaja. Saya punya poster-poster dan berbagai kliping koran Giannini, kapten Roma, di tembok kamar saya. Dia adalah ikon, sebuah simbol. Dia berasal dari Roma. Seperti kami.” – Francesco Totti di The Players Tribune.

Apa yang menyebabkan seseorang bisa dianggap sebagai ikon? Marylin Monroe, misalnya, menjadi simbol seks di suatu era. Ia, yang aktingnya biasa saja, bisa santai bergaul dengan tokoh-tokoh negara seperti John F. Kennedy ataupun Soekarno.

Tetapi itu saja belum cukup bila popularitasnya berhenti di era saat ia masih hidup. Publisitas, karakteristik khusus, dan logika posmodernisme, menjadikan Monroe abadi. Anda tentu pernah melihat foto Monroe yang sibuk memegangi roknya yang berkibaran itu.

Totti adalah ikon AS Roma. Sejak kecil, cita-cita untuk membela I Lupi telah tertanam di benak, yang ia balas dengan kesetiaan. Tetapi Totti bersetia untuk klub yang, bisa dibilang, berpredikat menengah. Ia tidak berada di Juventus atau AC Milan. Ia tidak bermain di Inggris, yang bisa membuatnya dilimpahi ribuan paun. Ia berada di AS Roma, dan menjadi penguasa de facto Serigala Ibu Kota sepanjang dua dekade lebih.

“Francesco Totti adalah Muhammad Ali-nya dunia sepak bola, selalu mencari cara untuk melayangkan tinju mematikan: sebuah tinju yang tak seorang pun dapat mengiranya,” kata Luciano Spalleti. Pelatih berkepala plontos itu mengatakannya selepas Roma mengalahkan Cesena 2-1 di ajang Coppa Italia. Sang Pangeran Roma mencetak gol kemenangan lewat sepakan penalti.

Namun toh pujian tersebut hanyalah gula-gula. Baik Spalleti, kita, serta Totti sendiri tahu: usia takkan mengkhianati. Ia telah menginjak usia 40. Totti telah berada di klub sejak 1989. Sempat mengalami masa keemasan yang tidak sebentar, dirinya sudah pasti lebih sering menjadi penghangat bangku cadangan. Namun nomor punggung 10 dan ban kapten tetap ia miliki.

Takdir membuat Totti menjadi warga Roma, sebuah kawasan yang ribuan tahun silam menjadi episentrum peradaban. Sisa-sisa kejayaannya yang masyhur masih dapat kita saksikan berdiri elegan dalam wujud koloseum, Colosseo.

Di era modern, kota Roma dilirik hanya karena statusnya sebagai ibu kota Italia dan Vatikan, pusat agama Katolik. Roma bukan Milan, yang menjadi salah satu kiblat mode dunia. Roma bukan Turin, yang menjadi kawasan industri besar dan pusat bisnis Italia.

Nasib serupa dialami kesebelasannya. AS Roma tidak pernah benar-benar menjadi penguasa Serie A. Sebelum era Totti, terakhir kali mereka meraih Scudetto adalah di musim 1982/1983. Tetapi siapa yang bisa mengelak dari takdir? Takdir yang Totti terima dengan sepenuh hati.

Trajektori karier (atau bahkan hidupnya) Totti bisa saja berbeda haluan jika sang ibu menerima pinangan AC Milan 28 tahun lalu, kala umur sang bocah masih 13. Totti kelak mengakui: keputusan ibunda tercinta membuatnya mengerti bahwa rumah adalah tempat terpenting di dunia.

“Teramat sulit untuk mengatakan tidak kepada AC Milan. Jika menerima tawaran tersebut, tentu akan berdampak baik secara ekonomi bagi keluarga kami. Namun ibu saya mengajari sesuatu hari itu. Rumahmu adalah sesuatu yang paling penting di dunia,” tulisnya.

Kita semua memiliki kesan pada Totti. Pria ini bisa saja meraih jalan yang lebih berkilau andai mau berpindah tuan. Ia hidup di zaman ketika kesetiaan pada klub adalah suatu omong kosong. Pemain mesti tahu kapan waktunya mengambil kesempatan karena klub dengan enteng bisa mendepak mereka sewaktu-waktu.

Logika demikian tidak dijalani AS Roma dan Totti. Totti adalah Roma dan begitu pun sebaliknya.

Kita, bagi yang bukan pendukung AS Roma, mengakui bahwa memandang hubungan Totti-Roma tak perlu memakai kacamata biasa. Ini adalah hubungan yang tak lekang oleh prestasi, dan, kalau perlu ditambahkan, akan abadi.

Berapa trofi yang Totti persembahkan untuk AS Roma? Hanya sedikit. Ya, dia menjadi bagian dari skuat Italia yang memenangkan Piala Dunia 2006. Tetapi tim itu adalah Italia yang bersemangat kolektif. Italia yang menggemparkan sepak bola ketika justru sepak bola mereka dihujat akibat skandal Calciopoli. Penampilan terbaik Totti bersama Azzurri terjadi enam tahun sebelumnya, Piala Eropa 2000.

Totti mungkin kita pandang tak seberuntung Paulo Maldini, Paul Scholes, Ryan Giggs, Gary Neville, atau Stevan Gerrard; bersetia dengan satu klub tetapi mendulang periode emas lewat torehan berbagai trofi. Tetapi, tidak seperti Gerrard, ia tidak pernah bermain mata dengan klub-klub lain.

Mengenang Totti, kita tidak perlu jauh-jauh mengulik video-video kehebatannya di internet. Totti memiliki reputasi khas yang membuat Anda mengamini kehebatannya. Entah di saat ia masih berambut belah tengah, berjambul dengan kerah terangkat, gondrong, hingga cepak di usia senja, Totti adalah “merek” yang membuat Anda menaruh rasa hormat.

Di kesempatan ini saya tidak berniat mengulasnya lebih dalam di aspek permainan. Isidorus Rio dan Yamadipati Seno telah menulisnya dengan apik di dua hari terakhir. Pada dasarnya ia tak butuh penegasan. Totti adalah spesies langka.

Totti mengingatkan saya pada biduan Indonesia, Sundari Soekotjo, yang bersetia pada genre keroncong. Apa Anda punya teman yang menggemari keroncong? Sedikit, saya rasa. Genre yang sempat populer ini hanya diminati orang-orang tua.

Namun ia tak menjadi seperti dangdut, yang mengadopsi semangat zaman lantas memiliki sub-sub aliran seperti koplo atau dangdut Pantura. Bagi saya, Sundari Soekotjo adalah nama pertama kala terlintas kata “keroncong”. Keduanya begitu lekat dan identik.

Sundari memilih keroncong, untuk kemudian terus bersetia. Dua tahun lalu, ia menginisiasi terbentuknya Yayasan Keroncong Indonesia (Yakin). Seperti dirinya, puterinya pun kini mewarisi kecintaannya dan memilih genre keroncong dalam berkarier.

Bagi sebagian besar orang, langkah Totti dan Sundari (untuk bersetia) bisa saja dipandang menggelikan. Tetapi cibiran mereka semata debu. Kesetiaan adalah monumen yang tak sembarang orang bisa membangunnya. Untuk Totti dan AS Roma, simbiosis mutualisme mereka, sayangnya, hanya menghasilkan 1 Scudetto dan 2 Coppa Italia.

Musim depan, setelah ia tak ada lagi, sepertinya takkan ada sosok yang begitu identik dengan kesetiaan yang bersahaja seperti ini.

Author: Fajar Martha (@fjrmrt)
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com