Dunia Asia

Muangthong United, Meretas Jalan Menuju Kancah Asia

Tim nasional Thailand yang menjadi kekuatan superior di kancah sepak bola Asia Tenggara bukan merupakan cerita baru. Akan tetapi apabila berbicara level klub, rasanya begitu asing dengan kesebelasan-kesebelasan dari Negeri Gajah ini.

BEC Tero Sasana tentu adalah yang paling tersohor karena sempat menguasai kompetisi domestik pada medio 2000-an. Ditambah sempat bermain di Kejuaraan Antarklub Asia Tenggara pada tahun 2002, yang kala itu digelar di Jakarta.

Krung Thai Bank adalah klub legendaris karena mereka sempat menjadi juara Asia pada masa lalu. Chonburi, Osostpa, Suphanburi, dan Buriram adalah nama-nama klub asal Thailand lain yang tidak begitu asing terutama bagi para penikmat sepak bola Indonesia.

Selepas tahun 2010, mungkin tidak banyak yang mengetahui soal satu klub luar biasa yang kini menjadi kekuatan besar Thailand. Nama klub tersebut adalah, Muangthong United.

Didirikan oleh muslim Thailand

Klub ini didirikan dengan nama Norgjorg Pittayanusorn FC pada tahun 1989. Pendirinya adalah seorang muslim Thailand bernama Morawi Makudi atau yang biasa disapa Bung Yee. Ia merupakan salah satu tokoh penting di sepak bola Thailand karena sempat menjabat sebagai sekretaris jenderal dan presiden asosiasi sepak bola Thailand dalam kurun waktu tahun 1996 sampai 2015. Bung Yee juga terdaftar sebagai komite eksekutif FIFA hingga tahun 2015 lalu.

Politisi Thailand, Veera Musikapong, sempat mengganti nama klub ketika mereka berlaga di Divisi Satu Liga Thailand pada tahun 2002. Tim kala itu bertanding dengan nama FC Norgjorg Black Pearl.

Kemudian pada tahun 2007, klub diakuisisi oleh Siam Sports Group (SSG), sebuah perusahaan marketing olahraga dan media. Melalui pimpinan mereka, Rawi Lohtong, SSG kemudian memindahkan markas tim ke Muang Thong Tani, sebuah daerah elite di Bangkok (mirip daerah Bumi Serpong Damai di Tangerang).

Akuisisi ini kemudian menjadi sebuah titik balik sekaligus awal dari segalanya. Norgjorg Pittayanusorn FC berganti nama menjadi Muangthong United. The rest is history.

Impian besar melaju ke level yang lebih tinggi

Dua tahun setelah akuisisi, tepatnya pada tahun 2009, Muangthong United berhasil promosi ke level tertinggi sepak bola Thailand, Thai 1 League. Harus diakui berkat kekuatan finansial-lah yang membawa Muangthong bisa terus melaju. Bahkan ketika mereka bermain di level kedua kompetisi, penyerang mereka adalah Teerasil Dangda yang kala itu didaratkan dari Raj Pracha.

Di musim perdananya di level tertinggi, mereka berhasil mendaratkan dua bintang berkelas, Teerathep Winothai dan Ronachai Rangsiyo. Bersama Teerasil, mereka kemudian berhasil membawa Muangthong menjadi juara di musim perdana mereka di Thai 1 League.

Tim ini dijuluki Twin Kirins seperti yang tergambar dalam logo klub. Kirin sendiri atau dalam ejaan Thailand adalah “Qilin”, merupakan hewan legendaris negara Asia Timur dan beberapa bagian Asia Tenggara. Hewan ini merupakan hewan yang disucikan dan juga sakti.

Konon, hewan ini dicitrakan berkepala harimau, bertanduk rusa, berbadan naga, dan berkaki kuda. Dalam literasi lain, Kirin disamakan dengan hewan lain yaitu jerapah. Harapanya tentu adalah agar Muangthong bisa bertanding penuh taji dan gagah berani seperti Kirin.

Pada tahun 2016, direksi klub mencanangkan sebuah proyek besar. Ini merupakan imbas dari kegagalan merengkuh gelar juara Thai 1 League selama tiga tahun beruntun. Klub kemudian mengumpulkan para pemain terbaik di sepak bola Thailand untuk membuat tim impian atau Galacticos.

Mereka mendaratkan berturut-turut Peerapat Notchaiya, Adisak Kraisorn, Tanaboon Kesarat, Tristan Do, Adison Promrak, dan juga tentunya, Messi Jay alias Chanatip Songkrasin. Bergabung dengan bintang lain yang sebelumnya sudah memperkuat klub seperti Teerasil, Kawin Thamsachanan, dan Sarach Yooyen, Muangthong kemudian menjadi kekuatan tak terhentikan di Thailand. Hasilnya mereka meraih gelar ganda di musim 2016 lalu.

Setelah keberhasilan tersebut, Muangthong seakan tidak lantas langsung puas. Direksi memasang target yang lebih tinggi lagi, yaitu untuk bisa banyak berbicara di level Asia. Totchawan “Tawan” Sripan yang menjadi kunci sukses tim meraih gelar juara setelah puasa tiga tahun kembali di pertahanankan sebagai pelatih.

Dan sepertinya, soal berbicara banyak di level Asia rasanya sudah cukup tercapai dengan bagaimana mereka berhasil melaju dari fase grup Liga Champions Asia edisi 2017 ini. Meskipun bisa jadi apa yang diingikan oleh Muang Thong adalah bisa melangkah lebih jauh dari itu.

Rivalitas dengan Buriram United dan Tragedi Kor Royal Cup

Rival Muangthong di kompetisi domestik Thailand adalah Buriram United. Derby yang mempertemukan kedua tim tersukses di era sepak bola modern Thailand ini bukan hanya soal aspek kompetitif saja. Persaingan keduanya bukan hanya soal perlombaan trofi, tetapi juga menggambarkan nilai lain yang dijunjung.

Pertandingan antara kedua tim ini sering disebut sebagai Thailand Clasico, Muangthong dianggap sebagai perwakilan dari masyarakat urban yang mendiami Bangkok. Karena seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa Muangthong bermarkas di daerah elite strategis yang sangat ekslusif. Sementara Buriram mewakili masyarakat pinggiran.

Perseteruan keduanya semakin diperpanas ketika pendiri Muangthong, Worawi Makudi menjabat sebagai penguasa di asosiasi sepak bola Thailand. Ada indikasi bahwa akan terjadi konflik kepentingan, bahkan pernyataan tersebut ditunjukan dengan bagaimana presiden klub Buriram, Newin Chidchob, yang sering melakukan protes keras kepada asosiasi sepak bola Thailand. Terlepas dari apapun latar belakangnya, derby antara Muangthong dan Buriram adalah salah satu pertandingan terbaik yang bisa Anda nikmati di Asia Tenggara.

Selain dengan Buriram. Muangthong juga punya rivalitas panas dengan tim Thai Port (kini Port FC). Perseteruan keduanya disebabkan oleh hasil pertandingan partai final Kor Royal Cup pada tahun 2010. Pemain asing Kone Mohammed membawa Muangthong unggul tipis dari Thai Port pada menit ke-81.

Para pemain Thai Port tidak menerima keputusan wasit yang mengesahkan gol karena mereka menganggap Kone melakukan handball terlebih dahulu. Penggawa Port, Pongpipat Kanmuan, mengajak para suporter untuk tidak menerima gol tersebut.

Hasilnya, para suporter yang geram kemudian melempari wasit dan para pemain Muangthong. Kerusuhan kemudian menjalar ke lapangan. Karena para suporter Port menyerang para pemain dan ofisial Muangthong. Para penggemar Muangthong yang tidak tahan idola mereka dilukai, ikut menerobos masuk ke lapangan, dan terjadilah pertumpahan darah. Kerusuhan memuncak ketika para pendukung Port membakar bendera dan kaus tim Muangthong di tengah lapangan.

Setelahnya selalu terjadi pengamanan ketat ketika pertandingan antara Muang Thong dan Port digelar di Liga Thailand. Yang terbaru, suporter kedua klub kembali saling hantam pada tahun 2016 lalu. Tidak jauh beda dengan di Indonesia, ya?

Author: Aun Rahman (@aunrrahman)
Penikmat sepak bola dalam negeri yang (masih) percaya Indonesia mampu tampil di Piala Dunia