Kolom Eropa

Arsenal dan Siklus Game of Thrones

Serial TV produksi HBO, Game of Thrones telah menjadi hit. Dunia rekaan George R.R. Martin yang mulanya terkesan anakronistis saat masih berupa novel ternyata menjadi kesuksesan besar bagi HBO sehingga diteruskan hingga season ketujuh. Proses syuting untuk season 7 sendiri telah berakhir. Penonton sudah sangat tidak sabar menyimak kelanjutan drama fantasi yang juga kerap menanyangkan adegan vulgar ini.

Game of Thrones mulai mendunia sejak season 3. Pada titik inilah penonton mulai tahu bahwa mereka harus senantiasa siap bila jagoan mereka tiba-tiba berbalik sikap di tengah-tengah konflik kepentingan yang ada. Simpati bisa berubah menjadi benci. Apa lagi, Martin bersama duet produser David Benioff dan D.B. Weiss juga ‘seenaknya’ menghentikan figur yang di suatu season tampil memukau. Menghentikan di sini, kita artikan dengan ‘mematikan’ karakter tersebut.

Ramuan tersebut justru manjur. Setelah sebagian besar keluarga Stark habis dibantai di peristiwa Red Wedding, banyak penggemar yang lantas menemukan sosok idola baru seperti Tyrion Lannister atau Jorah Mormont sang pendamping setia Khaleesi, Danaerys Targaryen. Walau begitu, banyak juga yang masih menaruh harapan kepada dua saudari keluarga Stark yang masih hidup, Arya dan Sansa Stark.

Terkait kepopulerannya, Dave Stopera dari Buzzfeed bahkan mencatat bahwa di tahun 2012, di Amerika Serikat terdapat hampir 150 bayi yang diberi nama “Khaleesi” – mengacu pada gelar untuk Danaerys yang diberikan kaum Dothraki kepadanya. Selain itu, banyak pula fakta unik lain yang berhubungan dengan dunia fandom Game of Thrones ini.

Arsenal: the Tyrells of Premier League

Memanfaatkan popularitasnya, banyak jurnalis maupun kolumnis yang menyangkutpautkan drama di Westeros ini dengan perseteruan klub-klub yang ada di EPL.

Maklum, kita hidup dalam bayang-bayang internet 3.0 yang meminggirkan substansi. Persoalan remeh kerap dibuat penting demi mendulang klik. Kerja media kontemporer, apapun sisi negatifnya, memang seperti itu. Toh, banyak juga penggemar EPL yang menjadi penonton setia Game of Thrones.

Ben Pringle dari Express menyamakan Arsenal dengan keluarga Baratheon. Menurutnya, kiprah klan Baratheon hampir mirip dengan The Gunners: sama-sama bernasib sebagai ‘the nearly man’. Sejarah Westeros menjadi berubah sejak pemberontakan yang dipimpin Robert Baratheon, dalam buku dikenal dengan peristiwa ‘Robert’s Rebellion’, sehingga perkongsiannya dengan keluarga Stark, Arryn, Lannister, dan lain-lain mampu menghentikan dominasi klan Targaryen.

Targaryen, lewat rajanya Mad King, dirasa oleh mereka semakin semena-mena. Peristiwa ini kemudian membuat Robert naik ke singgasana, lalu menikahi putri dari keluarga Lannister, Cersei. Lannister yang di awal pemberontakan tidak berperan terlalu besar dengan cerdik ambil bagian dari sengkarut politik Iron Throne ini. Lewat Jamie, kembaran Cersei, Mad King akhirnya terbunuh.

Di Bleacher Report, Tom Sunderland menyamakan Arsenal dengan keluarga Targaryen. Disebut begitu karena Targaryen dan Arsenal sama-sama pernah mengalami masa gemilang.

Selain itu, salah satu pengguna Quora juga mengeluarkan pengibaratan. Bedanya, Arsenal disamakan dengan House Stark. Alasannya, Arsenal merupakan “Salah satu klub paling tulus dan cukup dihormati oleh orang-orang. Orang-orang ingin mereka sukses dan pada awalnya mereka pernah mengalami itu. Tapi, akibat intervensi dari luar (transfer) atau pergolakkan internal (badai cedera) mereka kehabisan daya. Mereka masih merupakan kekuatan mematikan, yang kapan saja bisa bangkit dan menjadi pemenang.”

Saya agak tidak setuju.

Bagaimana tidak? Klan Stark termasuk protagonis dalam serial ini. Anggota keluarga mereka dicitrakan memiliki budi luhur. Sifat-sifat yang menjadi syarat untuk menarik simpati penonton banyak mereka miliki. Ed Stark, yang kepalanya dipancung di akhir season pertama, lebih memilih menepi ke utara Westeros, Winterfell, ketimbang wara-wiri di pusat kekuasaan.

Arsenal memang berada di bagian utara London, tetapi belakangan ini menonton Arsenal seperti menonton drama seri yang ending-nya bisa kita ketahui.

Arsenal selalu antiklimaks. Di musim 2013-14, tim ini mendominasi pucuk klasemen. Bersama penampilan mencengangkan Aaron Ramsey dan rekrutan baru Mesut Ozil, harapan untuk menjadi pemuncak singgasana di akhir musim begitu besar. Tapi kemudian kita semua tahu, badai cedera datang sebagaimana tajuk Game of Thrones: “Winter is coming.” Arsenal hanya bisa menyudahi musim dengan Piala FA.

Persoalan cedera dan jumudnya taktik Wenger menjadi persoalan utama yang anehnya tidak bisa dihindari setiap musim.

Terkait ringkihnya kebugaran pemain, harapan sempat berembus kala Arsenal merekrut Shad Forsythe, fisioterapis yang telah 10 tahun mendampingi tim nasional Jerman. Forsythe juga turut memainkan andil saat tim panser menjuarai Piala Dunia 2014. Namun harapan tinggal harapan. Kedatangan Forshyte tak lantas membuat Arsenal sukses menghalau hantu cedera. Hantu yang terus menerus menggentayangi London, Colney.

Menurut saya kemudian, Arsenal lebih cocok disandingkan dengan keluarga Tyrell.

Keluarga Tyrell, seperti Arsenal, merasa diri mereka paling anggun. Berasal dari Highgarden, keluarga ini sering mengaku bahwa anggur mereka anggur terbaik di seluruh Westeros. Gaya berbusana mereka penuh cita rasa elegan dengan bordir dan payet yang mendetail. Laku mereka penuh perhitungan, mengagungkan cita rasa aristrokratik namun penuh welas asih, tidak seperti Lannister.

Mereka mendapat posisi cukup penting di sengkarut Game of Thrones karena secara ekonomi, mereka adalah penyuplai kerajaan. Negeri mereka dilimpahi tanah yang subur sehingga pertanian dan perkebunannya menghasilkan komoditas-komoditas unggulan. Di satu adegan, dalam debat yang dingin dengan Tyrion Lannister, Lady Olenna Tyrell mengancam untuk terus mengadakan pesta besar-besaran di perkawinan King Joffrey dengan cucunya, Lady Margaery.

Olenna kemudian mengingatkan Tyrion bahwa perang yang kini sedang dijalankan keluarganya dapat terus terjadi karena mendapat suplai finansial dari keluarganya. Dan marwah keluarga Lannister juga menjadi pertaruhan bila pernikahan dilangsungkan dengan cara sederhana.

Lihat, sama seperti Arsenal-nya Wenger, bukan? Terkesan taktis, namun ‘hanya’ menunggangi kepentingan sekunder. Contoh paling konkret: manajemen Arsenal merasa puas dengan kinerja Wenger karena pelatih kelahiran desa Alsace di pinggiran kota Strasbourg ini mampu menjaga Arsenal untuk terus ‘kompetitif’.

Kata kompetitif saya beri tanda kutip, karena menjadi kata yang bermakna konotatif bagi sebagian besar pendukung Arsenal. Mereka menganggap klubnya tidak ambisius, yang hanya puas menghuni posisi 2-4 di tiap musimnya. Penggemar sepertinya memang takkan bisa memahami bahwa sepak bola kini berurusan pula dengan lembar-lembar statistik di bursa saham.

Pada akhir season 6, kita menyaksikan bahwa trah Tyrell kemudian bisa dibilang musnah. Lady Olenna pun bisa dibilang bukan pewaris Tyrell karena ia mendapatkan nama itu berkat status pernikahan. Putra (Mace) dan cucunya (Loras) turut menjadi korban keganasan Cersei yang meluluhlantakkan Sept of Baelor dengan wildfire.

Bisa dibilang, Wenger berada dalam posisi nyaman. Tidak bisa dipungkiri, Wenger adalah wajah Arsenal. Sebagian besar langkah Arsenal di rimba EPL disertai dengan kehadiran sang profesor. Saat melakukan pertaruhan dengan membangun stadion, Wenger sukses melewatinya sambil menjaga tim untuk tetap kompetitif (baca: mendulang uang dari Liga Champions dan penjualan pemain).

Tapi, sampai kapan?

Wenger adalah orang yang sering mengeluh tentang financial doping dalam sepakbola. Arsenal, di tengah-tengah masa austerity, tidak bisa bersaing secara finansial sehingga selalu kalah dalam perebutan pemain di bursa transfer. Tapi itu dulu, sebelum utang stadion lunas. Kini Arsenal mendapat injeksi fulus berkat kesepakatan dengan Puma dan perpanjangan kontrak Emirates Airline. Lalu penggemar dibuat sedikit lega karena klub bisa merekrut nama-nama besar seperti Mesut Ozil dan Alexis Sanchez.

Tetapi, apa yang salah sehingga lagi-lagi posisi Arsenal seperti tupai yang berputar-putar: tidak ke mana-mana?

Suporter bukan Konsumen

Stan Kroenke, pemilik saham mayoritas Arsenal pernah dituding oleh Andrew Mangan (narablog Arsenal di arseblog.com) sebagai biang semua ini. Kroenke adalah owner yang ambisinya hanya bagaimana investasinya di klub bisa menguntungkan pribadi. Banyak penggemar Arsenal yang menjulukinya ‘silent Stan’. Ia melulu membisu kala klub berada dalam krisis. Ia menjadikan Wenger dan Ivan Gazidis sebagai tameng.

Agak berseberangan dengan Mangan, persoalan di Arsenal lebih dari itu. Klub tidak berani menyikapi Wenger sehingga pelatih paling berprestasi sepanjang sejarah Arsenal itu justru menjadi sasaran kemarahan suporter. Wenger mungkin tidak merasa begitu tertekan, ia digaji sebesar 8 juta paun tiap tahun. Tapi warisannya untuk klub yang ia bangun bisa saja hancur bila tidak bijak menyikapi keadaan.

Pembela Wenger (di internet dikenal dengan jargon #InArseneWeTrust) membelanya dengan menjadikan krisis di Manchester United sebagai cermin. Tidak mudah menggantikan figur yang kuat lalu meneruskan nilai-nilai yang ada. Sementara kubu yang kontra, ‘Wenger Out Brigade’, dipengaruhi kesuksesan Manchester City dan Chelsea sehingga sepakat menjadikan Wenger sebagai biang segala perkara.

Kompleksitas ini semakin mewarnai hari-hari karena kontrak Wenger habis di akhir musim. Berat rasanya bila melihat sosok yang seperti tak tergantikan itu tiba-tiba menghilang dari touchline.

Apa pun, seperti keluarga Tyrell, Arsenal sebenarnya memiliki potensi untuk berjaya. Model finansial yang mereka jalani banyak dipuji. Keuangan klub selalu sehat. Arsenal, bisa dibilang menjalankan ‘perusahaan’ dengan self-sustainability yang prospektif. Yang perlu diingat, di belakang nama Arsenal adalah ‘FC, football club’, bukan ‘PLC, public llimited company’. Suporter, seharusnya tidak dianggap konsumen belaka.

Beberapa jam jelang pertandingan penting versus Chelsea, Arsenal kembali dirundung masalah klasik, yakni krisis pemain. Chelsea pernah menjadi momok yang begitu menakutkan bagi Arsenal.

Jose Mourinho dan Didier Drogba seumpama dragon glass bagi White Walkers dalam serial Game of Thrones. Tetapi lihat kini, mereka di ambang kejayaan baru bersama pelatih muda yang tidak gagap taktik. Setelah takluk tiga gol tanpa balas di awal musim, Antonio Conte mengubah formasi menjadi 3-4-3. Kenakalan Diego Costa berhasil ia redam, Eden Hazard menjadi semakin nyaman.

Dalam posisi penuh tekanan seperti ini Arsenal bisa tiba-tiba mampu membalikkan prediksi. Biasanya juga, setelah gemilang menaklukkan lawan besar Arsenal kembali takluk di laga-laga komikal meladeni West Bromwich Albion atau Sunderland, misalnya.

Berbeda dengan Game of Thrones, yang kamu disediakan banyak opsi karakter pengganti tiap season-nya, penggemar Arsenal tidak bisa dengan mudah mengganti klub yang ia dukung.

Author: Fajar Martha
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com