Menjadi striker atau penyerang dalam sebuah tim sepak bola merupakan kebanggaan tersendiri bagi seorang pemain. Tidak berlebihan memang jika kita mengkultuskan seorang penyerang, melihat peran utamanya sebagai pendulang gol di tiap laga.
Sejarah pun mencatat bagaimana peran seorang striker begitu sangat besar bagi sebuah tim melalui daftar peraih Ballon d’Or yang didominasi oleh nama-nama penyerang ternama pada tiap era. Mulai dari Eusebio, hingga duopoli Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo dalam satu dekade terakhir, menjadi bukti bahwa penyerang merupakan posisi primadona.
Begitu pula di Indonesia. Para suporter sepak bola di Tanah Air, akan bersorak sorai saat merayakan gol para penyerang klub kesayangannya. Alex Goncalves, Marko Simic, Ciro Henrique Alves, Makan Konate, Aleksandar Rakic, Amido Balde, Silvio Escobar, Marquinhos Carioca, Manuchekhr Dzhalilov, Karl Marx Dany, Sylvano Comvalius, hingga Ezechiel N’Douassel merupakan nama-nama yang selalu dielu-elukan oleh para suporter di liga Indonesia tahun ini. Nama-nama tersebut adalah nama-nama yang selalu menghiasi daftar pencetak gol di tiap minggunya.
Tapi, kenapa tidak ada nama penyerang timnas Indonesia dari nama-nama penyerang di atas?
Jika pertanyaan ini ditanya ke PSSI sebagai induk sepak bola Indonesia, mereka akan menjawab: ada! Terdapat beberapa nama penyerang timnas Indonesia seperti Osas Saha, Ilija Spasojevic, Alberto Goncalves, Greg Nwokolo, hingga Irfan Bachdim.
Eh… Tunggu dulu. Maksud saya, penyerang asli Indonesia? Apakah ada? Jawabannya tetap ada, namun sayangnya peran mereka sering dianggap sebagai pelengkap saja. Sebuah lara bagi para penyerang asli Indonesia.
Jika menilik kepada sejarah sepakbola Indonesia, lara para penyerang asli Indonesia ini sudah terjadi sejak 10 tahun terakhir. Hal ini bisa dilihat dari nama-nama peraih sepatu emas di Liga Indonesia sejak tahun 2008 hingga 2018. Dalam jangka waktu tersebut, praktis hanya terdapat nama Boaz Solossa yang dikepung dereta penyerang asing mulai dari Cristian Gonzales, Aldo Barreto, Beto Goncalves, Pacho Kenmogne, Sylvano Comvalius, hingga Aleksandar Rakic.
Tidak berhenti di liga, lara itu justru semakin diperparah oleh sikap “masa bodoh” PSSI yang seharusnya menjaga talenta-talenta lokal Indonesia. Dalam periode tiga tahun terakhir, PSSI justru lebih senang melakukan naturalisasi pemain untuk pos penyerang di timnas Indonesia.
Baca juga: Wonderkid dan Bayang-bayang Label ‘The Next’
Kebijakan ini, semakin membuat para striker asli Indonesia seperti sudah jatuh tertimpa tangga. Untuk mengatasi situasi “darurat” striker lokal, setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan untuk kembali ke era kejayaan juru gedor asli Indonesia di sepak bola kita.
Pertama, dukungan suporter pada striker lokal Indonesia. Dukungan para suporter menjadi suntikan moral langsung bagi para penyerang asli Indonesia dalam membuktikan kemampuannya. Lionel Messi merupakan salah satu contoh nyata dari pentingnya peran suporter dalam meningkatkan performa dari seorang pemain sepak bola.
Tidak ada seorang pun yang bisa menafikan “magis” Messi ketika berseragam Blaugrana, FC Barcelona. 10 gelar LaLiga, 4 trofi Liga Champions, hingga 5 raihan Ballon d’Or merupakan bukti sihir Messi di Barcelona. Selain memang kemampuan Messi yang sepertinya “datang dari planet lain”, dukungan rakyat Katalunya dan Cules adalah faktor kedua yang membuat messi tak berhenti menebar magisnya bahkan ketika usianya sudah menginjak 32 tahun.
Hal ini sungguh sangat bertolak belakang ketika Messi berseragam Argentina. Dukungan ke Messi dari rakyat Argentina seolah tidak ada karena Messi dianggap tidak pernah tampil prima.
Baca juga: Barcelona Tanpa Messi Bak Sayur Tanpa Garam
Kritik dan cacian justru datang silih berganti kepada Messi atas pencapaiannya selama ini dengan timnas Argentina. Tanpa dukungan suporter, Messi seolah kehilangan magisnya ketika berseragam Argentina.
Kedua, peran utama PSSI dalam pengetatan regulasi. Tidak perlu belajar sampai Eropa, PSSI bisa belajar banyak dari China Football Association (CFA) yang melakukan pengetatan regulasi terhadap Chinese Super League–nya untuk memberikan kesempatan lebih besar bagi talenta-talenta lokal.
Dalam jurnal China’s Football Dream, Shuo Yang and Alan Bairner menuliskan sebuah artikel berjudul “Can the Foreign Player Restriction and U-23 Rule improve Chinese football?” yang berisi tentang program CFA dalam memperketat regulasi terkait pemain asing dan kewajiban klub Chinese Super League untuk memainkan pemain lokal U-23.
Dalam artikel tersebut, selain pengetatan regulasi terkait naturalisasi, Cina juga menerapkan dua kebijakan baru terkait keberadaan pemain asing di liga mereka. Mulai tahun 2017, selain kuota maksimal 3 pemain per klub, Cina mencoba membatasi kedatangan pemain asing dengan cara penerapan transfer expenditure cap.
Peraturan transfer ini mengatur dua hal.
Pertama jika sebuah klub membeli seorang pemain asing berharga di bawah 45 juta Chinese Yuan atau pemain asli Cina di bawah 20 juta Chinese Yuan, maka klub tersebut harus membayar jumlah yang sama ke salah satu sekolah sepakbola muda (SSB) yang ada di Cina sebagai dana pengembangan pemuda.
Kedua, jika klub tersebut membeli seorang pemain yang berharga lebih dari 45 juta Chinese Yuan atau pemain asli Cina lebih dari 20 juta Chinese Yuan, klub tersebut harus menyumbangkan dua kali dari angka pembelian pemain tersebut yang dibayarkan ke CFA untuk pengembangan timnas usia muda Cina.
Lalu per tahun 2017, dalam suatu pertandingan sebuah klub diwajibkan menurunkan pemain muda lokal U-23, sejumlah dengan pemain asing yang diturunkan di line-up klub tersebut. Hal ini membuat sebuah klub “dipaksa” untuk memberikan jam terbang kepada para pemain muda Cina jika memutuskan memainkan pemain asingnya.
Kedua kebijakan ini, sangat mungkin diterapkan oleh PSSI dalam menjaga talenta muda, khususnya penyerang-penyerang asli Indonesia. Adaptasi pembatasan transfer juga perlu dilakukan, karena beberapa klub di Indonesia cenderung boros dalam pembelian dan gaji pemain asingnya.
Dengan mengadopsi kebijakan yang sudah dilakukan oleh CFA, klub-klub bukan cuma dipaksa untuk memainkan penyerang lokal, tetapi juga menyisihkan uang untuk pengembangan penyerang-penyerang mudanya. Semoga calon ketua umum PSSI selanjutnya, dapat menghentikan program instan naturalisasi, dan melakukan pengetatan regulasi untuk penyerang-penyerang asing yang ingin didatangkan ke Indonesia.
Hari Nur Yulianto, Dedik Setiawan, Lerby Eliandry, Yabes Roni, Bayu Gatra, Dendy Sulistyawan, adalah nama-nama asli Indonesia yang harusnya menghiasi lini depan timnas Indonesia arahan Simon McMenemy untuk kualifikasi Piala Dunia 2022.
Sayangnya, nama-nama tersebut hanya bisa memendam lara karena tidak bisa menggunakan lambang garuda di dada. Pada akhirnya, kita berharap, semoga di tahun-tahun yang akan datang, penyerang lokal Indonesia akan kembali menjadi pilihan utama bagi klub-klub liga maupun timnas Indonesia.
Mari dukung penyerang asli Indonesia!
*Penulis adalah seorang Romanisti yang tidak romantis. Bisa ditemui di akun Twitter @abietsaputra