Suara Pembaca

Wonderkid dan Bayang-bayang Label ‘The Next’

Dunia sepak bola selalu menghadirkan sosok-sosok dengan cerita beragam dan menarik bahkan untuk dibukukan dalam sebuah biografi atau novel.

Segala macam pernak-pernik seperti kisah pemain yang dari kalangan yang tak berada meraih kesuksesan di puncak dunia, seorang pelatih yang hampir mengalami pemecatan setelah serangkaian hasil buruk, namun secara mengejutkan berhasil membangun dinasti kuat yang akan dikenang selama tujuh turunan, ataupun borok dari sebuah manajemen internal tim yang dibenci habis-habisan oleh para suporter.

Semua kisah itu, baik kegagalan juga keberhasilan, indahnya sebuah kerja sama yang solid ataupun bau busuk dari intrik-intrik yang licik, membuat sepak bola lebih menantang untuk dinikmati dan penuh kejutan bak roller coaster.

Di sepak bola lumrah kita temukan kisah-kisah mengenai pesepak bola yang dianugerahi bakat luar biasa dan dianggap mempunyai masa depan cerah. Di usia yang bahkan belum genap akil balig, mereka menunjukkan bakat yang menonjol dibanding anak seusianya.

Entah itu dalam refleks menangkap bola, menghalau serangan lawan dengan tangguh, menciptakan peluang-peluang melalui umpan-umpan yang terukur dan insting gol yang tajam dan tak terbendung. Biasanya mereka mudah sekali naik kelas ke tim di atas tingkatnya. Dengan kata lain mereka mekar secara cepat.

Baca juga: 11 Wonderkid Gagal di Liga Primer Inggris

Bakat-bakat seperti inilah yang diincar oleh para pemandu bakat dari berbagai klub. Para pemandu bakat ini dengan tajam mengendus bakat-bakat muda bak hiu ganas dalam film Jaws yang akan bergerak cepat ketika merasakan darah sang mangsa meskipun hanya setetes saja.

Mereka akan menyebar di seluruh penjuru dunia, mata mereka akan menyeleksi setiap anak-anak yang ada di kawasan kumuh Favela, Brasil, lapangan berpasir di desa-desa Afrika, ataupun lapangan SSB kecil di Yogyakarta. Hingga akhirnya mereka pindah dan belajar di akademi top-top di Eropa untuk bersaing juga bekerja sama dengan puluhan anak berbakat lain dari seluruh dunia.

Nama mereka biasanya akan tersebar oleh mulut orang-orang di daerah itu, bahkan meluas ke penjuru negeri atau bahkan ke mancanegara. Orang-orang yang penasaran akan datang ke pertandingan para wonderkid ini.

Profil dan prestasi mereka akan dimuat akan di kolom khusus mengenai wonderkid di berbagai surat kabar maupun di akun Twitter berita sepak bola terkenal lengkap dengan grafisnya yang aduhai. Jangan tanya followers mereka yang sudah mencapai angka ratusan ribu, bahkan jutaan.

Bisa dibayangkan ratusan sponsor dan endorser yang mengantre mendapatkan tanda tangan kontrak sang anak. Semua itu adalah hal-hal yang didambakan oleh setiap pesepak bola belia di seluruh dunia.

Baca juga: Naik-Turun Karier Billy Keraf, dari Wonderkid hingga Dipinjamkan

Ketika itulah ekspetasi dari publik akan semakin tinggi dan tentu saja mengharapkan sang wonderkid untuk langsung sukses dan memberikan dampak instan terhadap suatu klub. Bahkan tak jarang karena kemiripan gaya bermain atau style antara sang wonderkid dengan seorang pesepak bola yang sukses atau melegenda, publik langsung melabeli sang pemain dengan embel-embel ‘The Next’ .

Entah itu The Next Pele, The Next Lionel Messi, The Next Cristiano Ronaldo, ataupun The Next Bambang Pamungkas, para penggemar tentu akan berharap sang wonderkid muda akan menyamai ataupun melebihi pencapaian sang pemain. Hal itu bisa menjadi bahan bakar tersendiri bagi sang pemain.

Ketika sang pemain mulai dikenal dan mendapat label ‘The Next’ mereka akan berusaha menaikkan standar permainan agar bisa menjadi lebih baik, tidak puas dan terus mengevaluasi permainan mereka, bahkan berusaha memikul beban dan tanggung jawab yang tidak biasa dipikul oleh para pemain di usia mereka.

Hal itu membuat mereka lebih berkembang secara kemampuan dan lebih dewasa secara mental, dan tinggal menunggu waktu untuk mendapat kepercayaan di tim senior.

Namun label The Next bisa menjadi bumerang yang perlahan-lahan membunuh karier sang pemain. Label itu sendiri merupakan sebuah beban yang berisi ekspetasi yang tinggi dari para fans juga klub bagi sang pemain agar pemain bisa ‘jadi’ secepat-cepatnya.

Jika mereka memiliki mental kuat, tentu saja seperti yang disebutkan di paragraf sebelumnya mereka akan bisa menempa diri mereka sesuai ekspetasi para fans. Jika mereka tidak tahan banting, sekali mereka melakukan kesalahan atau dianggap lambat berkembang tentu saja akan dihujani kritik habis-habisan.

Apa lagi di era sosial media sekarang, di mana sang pemain dituntut untuk berkembang secepat-cepatnya dan para fans bisa bebas memberikan opini mereka di internet. Maka jangan heran  jika para wonderkid ini melakukan blunder sedikit saja, maka ratusan komentar yang mengkritik akan memenuhi Instagram sang pemain dalam waktu kurang dari sejam.

Dan juga bisa dibayangkan jika mereka malah terlena dan menyalahgunakan segala yang didapatnya. Dengan uang sponsor, gaji, dan bermacam-macam fasilitas mereka tentu bisa menyalahgunakan itu semua dengan berfoya-foya, berpesta, dan melakukan berbagai macam hal konyol lainnya, sehingga melupakan kewajiban utama mereka yaitu berlatih, memperbaiki kemampuan mereka, dan terus belajar.

Baca juga: Tujuh Wonderkid Piala Dunia yang Gagal Setelah Dipinang Klub Besar

Bisa diprediksi mereka terlambat berkembang bahkan karier mereka akhirnya layu dan akhirnya pensiun dini.

Belum lagi jika kesempatan yang didapatkan untuk bermain di tim senior tak kunjung datang. Mereka terpaksa harus bersabar menunggu di tim junior ataupun mereka harus rela dipinjamkan di tim lain agar bisa mendapatkan jam terbang di senior lebih cepat.

Tentu saja mereka harus mempunyai kemampuan cepat untuk nyetel dengan tim maupun lingkungan yang baru, atau jika tidak maka siap-siap saja harus duduk di bangku cadangan tanpa sekalipun menginjak lapangan hijau.

Meskipun sudah berkali-kali bermain bagus saat dipinjamkan, tetap saja mereka akan dianggap masih belum siap untuk bersaing dengan para pemain tim utama dan harus rela harus dipinjamkan lagi dari musim ke musim. Contoh kasusnya adalah Martin Odeegard dari Real Madrid.

Label The Next pada setiap Wonderkid memang buah simalakama. Di satu sisi julukan itu bisa menjadi tenaga tambahan dan spotlight tersendiri bagi para pemain muda untuk terus berkembang dan menjadi yang terbaik, namun bagi mereka yang bermental lemah malah akan membebani mereka dan membuatnya tidak berkembang atau yang lebih buruk, mereka malah terlena dan fokus di luar lapangan dengan berlebihan.

Tentu saja mereka harus terus belajar dan memperbaiki diri. Mereka bisa memilih mau menjadi Frenkie De Jong, Trent Alexander-Arnold, Alen Halilovic, atau Hachim Mastour.

Bagi para suporter maupun klub, mereka harus bersabar dan tidak memberi beban berlebihan kepada sang wonderkid agar sang pemain berkembang sebagaimana mestinya. Dan untuk semua pihak, ada baiknya mereka bisa mengikuti saran dari Sam Hinkie, mantan General Manager tim NBA Philadelpia 76ers,

“Trust the proccess”

 

*Penulis adalah seorang desainer grafis asal Yogyakarta. Bisa dihubungi di akun Twitter @pradipta_ale dan Instagram @pradiptale untuk melihat karya.