Cerita

Akar Rivalitas Sepak Bola Indonesia

Berbicara tentang rivalitas di sepak bola Indonesia, perseteruan antara Persib Bandung dengan Persija Jakarta atau Arema dengan Persebaya Surabaya tidak jarang menjadi yang pertama terbersit di kepala. Pertemuan tim-tim dengan basis suporter besar tersebut sering kali dilabeli big match, partai klasik, dan lain sebagainya.

Pertemuan antara Pangeran Biru dengan Macan Kemayoran atau Singo Edan dan tetangganya, Bajul Ijo, kerap kali berlangsung panas. Bila mereka bertemu dapat dipastikan tidak akan ada ruang tribun yang tersisa. Antusiasme pendukung yang menganggap pertandingan tersebut berbeda dengan pertandingan lain seolah tidak terbendung.

Bukan hanya saat pertandingan. Suhu panas antarsuporter biasanya sudah dapat dirasakan sebelum hari pertemuan. Saling ejek hingga saling tantang biasanya mudah ditemui di berbagai media sosial. Tak hanya itu, teror-teror bahkan ancaman seolah biasa ditebarkan. Mulai dari penyambutan dengan kembang api di penginapan pemain hingga serangan langsung pada anggota tim sangat sering terjadi.

Dengan panasnya tensi pertemuan mereka, sepak bola yang semula menyenangkan berubah seolah perang. Pengerahan pasukan pengamanan luar biasa, hingga pemain yang terpaksa menaiki kendaraan tempur menjadi pemandangan di hari pertandingan.

Baca juga: Oleh-oleh dari Wonosobo: Sepotong Cerita Sepak Bola Tarkam

Tapi bisa dikatakan rivalitas mereka adalah rivaitas yang lebih terbentuk di luar lapangan sepak bola. Rivalitas mereka lebih kepada gengsi suporter. Kisah-kisah pertikaian, pertumpahan darah, bahkan korban jiwa dari masing-masing kubu suporter mengondisikan pertemuan tim di atas lapangan seolah pertandingan yang luar biasa.

Akan berbeda ketika Persija Jakarta bertemu dengan Persebaya Surabaya. Rivalitas mereka adalah rivalitas yang tumbuh di lapangan pertandingan. Bukan hanya di era Liga Indonesia, gengsi antara dua kota terbesar di Indonesia, Jakarta yang banyak diperkuat pemain dari segala penjuru Nusantara dan Surabaya yang diperkuat putra daerah, dipertaruhkan.

Tidak jarang kedua kekuatan besar saling mengalahkan di final dan bergantian menjadi juara.

Pertemuan keduanya di partai puncak atau setidaknya di babak akhir, telah dimulai sejak masa awal Perserikatan. Tahun 1952 keduanya bertemu di babak enam besar yang merupakan babak akhir. Kala itu pasukan asal Surabaya unggul dengan menyapu bersih pertandingan babak enam besar, sedangkan Persija menjadi runner-up.

Baca juga: Sayap-Sayap Penopang Elang Jawa

Pertemuan yang tidak akan dilupakan tentu saja partai penentuan kompetrisi tahun 1973. Di pertandingan yang disaksikan sekitar 100.000 pasang mata dan disebut-sebut sebagai pertandingan terbaik, gantian Persija Jakarta unggul. Kecerdikan anak-anak ibu kota berhasil mengatasi kerasnya permainan khas Surabaya. Kemenangan 1-0 cukup memastikan juara untuk Persija.

Keduanya kembali bertemu di partai puncak lima tahun setelahnya. Di tahun 1978 Persebaya Surabaya berhasil mengalahkan generasi emas Persija era 1970-an. Disebut generasi emas karena bukan hanya di tahun 1973 mereka juara. Di tahun 1975 dan 1979 mereka berhasi kembali mengulangnya.

Di final 1978 sendiri Persija takluk 4-3. Dua gol Persebaya dicetak Hadi Iswanto, dua gol lain masing-masing milik Rudy Keltjes dan Joko Malis, sedangkan gol Persija diciptakan Taufik Saleh dua gol, dan Andi Lala satu gol.

Baca juga: Urgensi Pemakaian VAR di Liga 1

Catatan berlanjut di era Liga Indonesia. Ketika Macan Kemayoran menjadi juara di tahun 2001, mereka lebih dulu menjegal Bajul Ijo di semi-final, sedangkan Bajul Ijo memastikan gelar juara 2004 usai mengalahkan Macan Kemayoran di Tambak Sari, Surabaya.

Serasa wajar jika hingga kini pertandingan antara mereka berlangsung ketat. Dari perjalanan yang ada, gengsi itu tumbuh di lapangan. Klub lain yang juga boleh dikatakan rival adalah PSMS Medan dan PSM Makassar.

Gengsi dan rivalitas di antara mereka tumbuh dari seringnya bertemu di pertandingan-pertandingan penting. Bukan bumbu-bumbu di luar lapangan bahkan di luar sepak bola.