Suara Pembaca

Oleh-oleh dari Wonosobo: Sepotong Cerita Sepak Bola Tarkam

Akhir pekan kemarin saya menonton pertandingan sepak bola di suatu open tournament yang lazim disebut tarkam. Bagi pembaca Football Tribe Indonesia, istilah ini saya kira tidak perlu dijelaskan lagi. Sebenarnya menyebut “menonton pertandingan” kurang tepat karena saya lebih banyak mengarahkan pandangan ke penonton dan atmosfer di luar lapangan. 

Acara menonton ini tidak begitu direncanakan. Kebetulan saya sedang berada di Wonosobo untuk menengok orang tua. Selepas Jumatan, seorang kawan lama bercerita habis menonton turnamen itu kemarin.

Lama nggak ketemu kok yang dibicarakan bal-balan. Obrolan ini sepertinya menguatkan teori fungsi olahraga dalam masyarakat sebagai pengalaman emosional bersama serta sebagai interaksi sosial dan bahasa. 

Jarak dari rumah ke venue pertandingan sekitar lima kilometer. Untuk mencapai tempat tersebut, saya naik angkot jurusan Wonosobo-Garung turun di gerbang Desa Sendang Sari, Kecamatan Garung. Setelah itu, perjalanan saya berlanjut dengan berjalan kaki menanjak sekitar satu kilometer. 

Tiket dibanderol seharga sepuluh ribu rupiah. Setiap harinya digelar dua pertandingan, pada jam 14.15 dan jam 16.00. Saya tiba di venue sekitar jam tiga sore, menjelang babak pertama usai. Penonton belum begitu ramai, mungkin warga masih sibuk dengan pekerjaan sehari-hari mereka.

Baca juga: Kenikmatan Sepak Bola Pinggiran

Tiket berbentuk selembar kertas tanpa identitas, apalagi barcode. Meskipun begitu, para petugas penjaga gate lebih canggih daripada alat pendeteksi wajah. Mereka mampu mengenali mana warga yang boleh keluar masuk dan penonton dari luar yang harus bertiket.  

Tidak ada kategori untuk tiket yang dijual. Tidak ada kelas VIP atau ekonomi. Tidak ada perbedaan tribun utara atau selatan. Penonton bebas menentukan sendiri mau menonton dari sisi mana saja. Mau berdiri, jongkok atau lesehan di pinggir lapangan silakan saja.

Penonton mengitari lapangan pertandingan. Mereka hanya dibatasi oleh tali yang berjarak hanya dua langkah dari garis lapangan. Dua utas tali pembatas membuat lapangan sepak bola lebih mirip ring tinju.

Jika beberapa dekade yang lalu klub-klub Liga Inggris merombak desain stadion menjadi tanpa pagar dan mendekat ke lapangan, tarkam lebih maju lagi, dalam pengertian yang sebenarnya.

Kondisi tersebut tentu saja mengundang isu soal keamanan baik bagi pemain maupun wasit, apalagi hakim garis. Saya tidak tahu dengan pertandingan lain, namun di pertandingan yang saya saksikan, keamanan cukup terjaga. Saat terjadi gol, beberapa suporter memang menyerbu lapangan namun bisa segera ditertibkan. 

Mungkin karena nama turnamen ini Koramil Cup, personel tentara ikut menjaga keamanan. Saya jadi bertanya-tanya, apakah ini contoh yang sempurna bagaimana militer seharusnya terlibat dalam sepak bola Indonesia? Mereka mengambil peran sebagai bagian dari penyelenggara dan menyediakan arena kepada masyarakat sipil untuk bertanding, bukannya malah ikut-ikutan bermain.

Menjelang pertandingan kedua, suasana semakin ramai. Di sekitar lapangan terlihat anak-anak berlarian, remaja putra dan putri tampil modis, sepasang suami dan istri membawa serta anak mereka yang masih balita, orang-orang tua tidak ketinggalan dengan fesyen sarung dan pecinya. Olahraga benar-benar mengejawantahkan dirinya sebagai sebuah fenomena sosial.

Dari arah jalan masuk ke lapangan, berduyun-duyun datang sekelompok suporter. Mereka memakai atribut yang seragam. Alunan alat musik perkusi segera membahana. Chant yang dinyanyikan adalah lagu-lagu PSS Sleman. Teriakan “Bianco verde ale…” segera terdengar di telinga saya. Tunggu dulu, di lapangan hanya ada tim kuning dan hitam.

Baca juga: Sayap-Sayap Penopang Elang Jawa

Kultur suporter Sleman tampaknya telah menjalar ke daerah-daerah sekitarnya yang bahkan “tidak memiliki” klub lokal yang cukup eksis. Budaya ini sendiri diakui oleh penghayatnya diimpor dari Italia. Tidak pelak lagi, globalisasi menemukan spesimen yang sempurna di sepak bola.

Saya jadi teringat Franklin Foer yang “berkeliling dunia” ketika menulis buku How soccer explains the world: An unlikely theory of globalization. Sayangnya, ia tidak mampir Wonosobo, sehingga sepakbola tarkam di kaki gunung luput dari pandangannya. Saya pun agak sok menggantikan perannya yang berusaha “memahami dunia lewat sepak bola.”

Aroma jagung bakar berseliweran di udara, berkelindan dengan kabut tipis yang mulai turun. Saya masih ingin menikmati suasana ini dan berusaha memahami dunia lewat sepak bola. Tapi apa daya, saya harus bergegas sebelum gelap agar tidak kehabisan angkutan yang membawa saya pulang.

Baca juga: Mungkin, Tarkam adalah Sepak Bola Sesungguhnya