Suara Pembaca

Kenikmatan Sepak Bola Pinggiran

Seorang bapak berumur lebih 50 tahun dengan songkok hitam lusuh di kepala, terlihat mondar mandir di belakang gawang. Mulutnya bergerak kecil, seperti sedang berbisik-bisik. Mukanya tampak serius, memperhatikan pertandingan yang sedang berlangsung.

Ketika tim seberang menggiring bola mendekati area 12 pas, bapak itu berhenti sejenak. Saya pun terbelalak, saat satu peluang emas tim lawan, tidak berhasil membobol gawang kiper yang berada di hadapan bapak tersebut. Bola hanya menerpa mistar gawang.

Paruh kedua pertandingan, tim yang bertanding bertukar tempat. Bapak itu ikut pindah ke belakang gawang di sisi seberang. Seperti kejadian sebelumnya, tim lawan masih kesulitan menbukukan gol.

Setiap peluang emas yang tercipta malah berakhir di mistar, tiang, atau bahkan melayang jauh ke udara. Apesnya, mereka harus menerima kekalahan, usai tim yang diikuti bapak itu mencetak gol di menit akhir pertandingan. 

Bukan hanya urusan memikat perempuan, mencari kekayaan, hingga membalaskan dendam yang melibatkan dukun. Kemenangan di kompetisi sepak bola antarkampung (tarkam), kerap melibatkan praktik perdukunan. Kepercayaan masyarakat pada klenik, membuat praktek ini diterima begitu saja. Bahkan, kadang menjadi ajang adu hebat para dukun.

Baca juga: Mungkin, Tarkam adalah Sepak Bola Sesungguhnya

Sepak bola pinggiran, sepak bola kampung, atau sepak bola desa, memuat lebih banyak cerita, selain kehadiran dukun yang bisa mempengaruhi jalannya pertandingan. Cerita-cerita ini adalah narasi kecil, yang tertutup tirai besar kemegahan narasi utama sepak bola nasional dan dunia. Ada banyak keunikan yang kadang tersaji dalam sebuah pertandingan sepak bola di kampung-kampung. 

Penamaan tim sepak bola sebuah desa pun kerap dihubungkan dengan mitos-mitos tertentu. Misal, di daerah saya, ada tim yang menamai dirinya Pu’ Janggo’ (kakek berjanggut). Nama klub itu diambil dari seorang kakek yang menjadi legenda di wilayah tersebut.

Menurut cerita yang beredar, semasa hidup, kakek itu memiliki kekuatan gaib yang membuatnya sangat dihormati oleh penduduk setempat. Dengan menyandang nama tersebut, klub bola itu berharap tuah kekuatan untuk memenangkan setiap pertandingan.

Sebelum bertanding, sebuah klub tentu mempersiapkan aspek teknis, maupun fisik. Urusan teknis berkaitan dengan strategi, formasi, dan line-up dalam pertandingan nanti. Ternyata referensi mengenai aspek ini, dicomot dari gim sepak bola.

Penjelasan mengenai strategi dan formasi di gim mudah didapat dan diterjemahkan, karena klub kampung biasanya tidak memiliki pelatih, maka yang menentukan adalah seseorang memiliki pengetahuan lebih tentang gim sepak bola. Orang itu merangkap sebagai player-manager. Persis seperti Gianluca Vialli di Chelsea musim 1998/1999. 


Para pemain klub sepak bola kampung, berasal dari latar belakang pekerjaan dan usia yang berbeda. Ada yang petani, guru, staf desa, mahasiswa, bahkan anak sekolahan. Sangat menggambarkan kesetaraaan, bukan?

Belum lagi, mereka berbeda dari segi bentuk tubuh. Bila sepak bola modern membutuhkan pemain yang bertubuh ideal layaknya Cristiano Ronaldo, maka sepak bola kampung tidak memerlukan itu.

Asal bisa berlari cepat, maka akan ditempatkan sebagai pemain sayap, meskipun tubuh keliatan gempal. Seorang kiper adalah mereka yang fisiknya paling lemah, tapi dengan keberanian untuk terluka yang besar. Gelandang pengatur serangan tentu yang paling hebat di antara mereka. Biasanya pernah ikut trial di klub ibu kota kabupaten.

Lalu bagaimana dengan penyerang? Biasanya, yang menjadi juru gedor adalah yang paling tua dan berpengalaman bermain di Liga Tarkam. Terakhir, posisi bek diisi oleh mereka yang diberkahi dengan tubuh kekar dan urat-urat menjalar.

Cedera pesepak bola adalah momok menakutkan. Tapi, bagi pesepak bola tarkam, hanyalah hal biasa. Mereka masih sanggup bermain lagi dan lagi, bahkan ketika di pertandingan hari sebelumnya harus ditarik keluar akibat pergelangan kaki terkilir.

Baca juga: Beragam Metode Penanganan Cedera

Penyebab cedera pun, terkadang bukan karena benturan antarpemain, tetapi akibat kaki terperosok ke dalam lubang bekas patok untuk menambatkan tali binatang peliharaan. Lapangan sepak bola kampung punya fungsi macam-macam. Salah satunya adalah tempat memberi makan binatang peliharaan seperti sapi, kuda, dan kambing. 

Jeda babak pertama merupakan waktu yang tepat untuk memulihkan kondisi fisik dan mental. Sebuah tim menggunakan waktu ini untuk berdiskusi mengenai strategi di babak selanjutnya.

Nah, pesepak bola kampung juga melakukan hal yang sama, tapi dengan cara yang berbeda. Waktu lima belas menit sangat panjang untuk setidaknya menghabiskan tiga batang rokok. Mereka percaya, ngudud mampu memulihkan fisik dan memperkuat mental. Soal strategi, intinya mencetak gol dan menyerahkan pada dukun di belakang gawang sana.

Jangan kira sepak bola kampung hanya mempertontonkan sepak bola kerumunan –di mana bola berada maka semua pemain berkerumun di sana. Sepak bola kampung juga berkembang dari sisi permainan. Apalagi dengan kemampuan olah bola para pemainnya.

Di sebuah pertandingan, kadang kita bisa melihat skill ciamik dipertontonkan. Mulai dari The Cruyff Turn, Rabona Kick, The Elastico, The Rainbow Flick, hingga The Marseille Roullette-nya Diego Maradona.

Masih banyak lagi keunikan sepak bola pinggiran yang layak dinikmati. Di luar cerita kekerasan dan adu jotos antarpenonton, penikmat sepak bola mesti sesekali menyaksikan Liga Tarkam.

Barangkali, kita bisa menemukan kegembiraan sepak bola yang sesungguhnya. Melampaui apa yang disiarkan oleh tayangan sepak bola di televisi dan layanan streaming.

 

*Penulis adalah blogger dan jurnalis paruh waktu. Penikmat sepak bola dari pinggiran. Dapat ditemui di akun Twitter @bedeweib.