Cerita

Jangan Belajar (Sepak Bola) ke Negeri Cina

Ada pepatah berkata, “Belajarlah sampai ke negeri Cina” yang punya makna berarti tuntutlah ilmu sejauh mungkin kalau bisa sampai ke luar negeri. Namun nampaknya pepatah tersebut tak berlaku di sepak bola. Ada baiknya kalau PSSI jangan belajar (sepak bola) ke negeri Cina.

Anggapan ini tak sepenuhnya salah, tapi tak sepenuhnya benar juga. Sepak bola Cina dalam beberapa tahun terakhir tengah menggeliat, khususnya melihat pergerakan klub-klub CSL (Chinese Super League) di lantai bursa yang mendatangkan para pemain kelas dunia untuk merumput di Negeri Tirai Bambu.

Sebut saja beberapa pemain Brasil yang masih eksis hingga kini seperti Hulk dan Oscar yang memperkuat Shanghai SIPG, Yannick Carrasco (Belgia/Dalian Yifang), Javier Mascherano (Argentina/Hebei China Fortune), atau Sandro Wagner (Jerman/Tianjin TEDA) merupakan alumni klub-klub top Eropa yang kini berlaga di Asia. Namun sayang masuknya para selebritas lapangan hijau tersebut tak membuat sepak bola Cina kian cemerlang.

Di kancah antarklub Asia, wakil Cina musim ini menyisakan Guangzhou Evergrande dan Shanghai SIPG di babak perempat-final dari total 4 klub yang berlaga (3 lolos langsung ke fase grup, 1 play-off fase terakhir) dan mungkin sedikit lebih baik ketimbang performa wakil Indonesia dalam catatan sejarah.

Sepanjang sejarah Liga Champions Asia, baru ada tiga asal Cina yang berhasil melaju ke final. Guangzhou Evergrande menjadi tim tersukses dengan koleksi dua gelar di tahun 2013 dan 2015, sementara Liaoning Whowin yang juara di era 1990-an kini terdampar di kasta kedua. Sisanya, Dalian Shide yang jadi runner-up di 1998 harus merger dengan Dalian Aerbin di 2012 dan sejak 2015 berganti nama menjadi Dalian Yifang.

Apalagi bicara level timnas, jika patokan keberhasilan dalam sepak bola yang paripurna adalah menjuarai Piala Dunia (pria), maka timnas Cina pun belum pernah sekalipun merasakannya. Berbanding terbalik dengan Steel Roses, julukan untuk timnasita Cina, yang setidaknya pernah menjadi runner-up Piala Dunia Wanita 1999.

Baca juga: Zhao Lina yang Tolak Kesempatan Jadi Model Untuk Majukan Sepak Bola Perempuan Cina

Namun sepak bola Cina bukannya tak berbenah, bahkan pemerintah sampai ikut turun tangan untuk “men-sepak bola-kan” masyarakat Cina. Apalagi presiden Xi Jinping terkenal sebagai sosok yang gila bola.

Beberapa tahun terakhir banyak cara yang dilakukan mulai dari membangun puluhan lapangan untuk berlatih para pemain usia dini, hingga melakukan “diplomasi stadion” yakni pemberian bantuan dana kepada negara-negara seperti Nepal, Laos, Fiji, Samoa, bahkan Kosta Rika dan Kamerun untuk membantu pembangunan stadion megah di negara tersebut.

Teranyar, para pengusaha Cina juga mulai melakukan manuver bisnis lainnya dengan mulai menguasai saham atau kepemilikan klub-klub Eropa, menjadi sponsor klub yang memungkinkan nama perusahaan mereka mejeng di jersey teranyar hingga stadion klub dan lain-lain.

Usut punya usut, sepak bola menjadi lahan bebas rencana pemerintah Cina membuat Jalur Sutera Baru melalui pintu masuk Eropa yakni Italia.

Perlu dan tidaknya Indonesia meniru geliat sepak bola Cina

Lantas bagaimana dengan Indonesia? Situasi sepak bola Indonesia dan Cina ternyata hampir mirip. Jika bicara soal banyaknya pemain asing, meski kini tak ada lagi nama-nama seperti Roger Milla, Mario Kempes, Lee Hendrie, atau Michael Essien di Liga Indonesia, tetap saja pamor “liga terbaik ketiga” di Asia menurut eks Ketua Umum PSSI, Edy Rahmayadi, belum luntur.

Bahkan angka menjamurnya ekspatriat di kompetisi Indonesia terus bertambah, mengingat banyak juga pemain asing yang betah tinggal di Indonesia, kemudian mengganti kewarganegaraannya sampai kerap dijuluki pemain E-KTP oleh beberapa sportcaster di televisi.

Di Asia Tenggara sendiri penggunaan pemain asing di Indonesia terbilang wajar. Di Thailand satu klub bahkan dapat memiliki maksimal 7 pemain asing (3 non-Asia, 1 Asia, dan 1 Asia Tenggara), sedangkan di Malaysia 5 pemain asing (3 non-Asia, 1 Asia, dan 1 Asia Tenggara).

Batas maksimal pemain asing di Indonesia sama dengan Cina yakni 4, dengan catatan tambahan satu pemain “asing” dari luar wilayah mainland China (Hong Kong, Makau, dan Taiwan).

Otoritas liga Cina juga tidak mengenal aturan pemain asing Asia seperti yang diwajibkan PT. LIB dari beberapa musim ke belakang. Namun uniknya tiap klub di Cina diwajibkan untuk tidak mengontrak kiper asing.

Kondisi tersebut terbilang unik, karena ada anggapan bahwa hal tersebut baik untuk melatih kiper-kiper Cina mendapat pengalaman lebih berhadapan satu lawan satu dengan para penyerang kelas dunia seperti Hulk atau Wagner namun tak berlaku sebaliknya.

Akan tetapi, banyaknya bintang dunia tak lantas membuat kualitas liga Cina seperti liga-liga Eropa. Meski Liga Super Cina menyandang status liga ketiga terbaik di Asia (data resmi AFC, bukan diaku-akui seperti Pak Edy) tetap saja Liga Super Cina tak luput dari keributan antarpemain persis seperti yang terjadi di Liga 1.

Sama seperti Liga 1 yang sedang krisis klub-klub dari wilayah timur Indonesia, hal serupa juga terjadi di Cina. Bedanya di Cina kebanyakan klub yang berlaga di Liga Super Cina berada di timur, sementara wilayah barat yang dekat dengan negara-negara pecahan Uni Soviet dan India tak memiliki klub sepak bola yang mumpuni.

Maka setidaknya menjadi sebuah anti-tesis tersendiri jika Xi ingin “men-sepak bola-kan” masyarakat Cina, ia perlu mengembangkan sepak bola secara merata di seluruh negeri. Agar bakat-bakat dari komunitas minoritas Uyghur seperti Ötkür Hesen yang kini bermain di klub satelit milik City Football Group, bisa bertambah dan dibina dengan baik.

Baca juga: Tentang Papua dan Mutiara Sepak Bola Indonesia

Bicara soal pemain naturalisasi di level timnas, dalam sedekade terakhir tercatat puluhan nama pemain E-KTP yang membela Garuda di berbagai level. Mulai dari pemain keturunan seperti Stefano Lilipaly, Ezra Walian, atau Kevin Gomes. hingga yang tak punya darah Indonesia sama sekali seperti Cristian Gonzales, Victor Igbonefo atau Alberto Goncalves.

Uniknya kini giliran timnas Cina yang mencontek Indonesia dengan mulai menggunakan pemain naturalisasi untuk mempercepat datangnya prestasi ke Negeri Tirai Bambu. Adalah Nicholas Harry Yennaris alias Li Ke yang sosok pemain naturalisasi pertama untuk Team Dragon. Eks gelandang Arsenal berusia 26 tahun ini punya darah Cina dari ibunya dan sudah mengoleksi 2 penampilan internasional sejauh ini.

Namun lagi-lagi naturalisasi juga bukan jawaban instan untuk membuat timnas kedua negara ini memiliki level yang lebih baik, sama seperti liganya. Untungnya di kompetisi regional, Cina sudah merasakan gelar juara EAFF di 2005 dan 2010, sementara Garuda belum sekali pun memegang trofi AFF di level senior.

Jadi, bukan dengan deretan bintang dunia dan program naturalisasi, sepak bola suatu negara dapat berkembang. Perlu lebih dari sekadar revolusi untuk mengubah iklim sepak bola suatu negara mulai dari pengembangan sarana dan prasarana, sinergi dengan pemerintah, sampai melihat sepak bola sebagai bisnis atau penggerak roda ekonomi di suatu negara.