Cerita

Tentang Papua dan Mutiara Sepak Bola Indonesia

Berkulit gelap, berambut hitam, berlari cepat dan berbadan tegap. Meski terdengar sedikit peyoratif, kata-kata itu yang terbersit di benak kita saat berjumpa kawan-kawan dari Indonesia Timur.

Walau banyak wilayah yang mencakup Indonesia Timur, namun tak jarang kata Papua juga yang terbersit. Wajar, karena di pulau paling timur gugusan Nusantara itu tersimpan kekayaan para mutiara sepak bola Indonesia.

Papua sejak dahulu dikenal dengan kekayaan alamnya. Mulai dari hasil kekayaan alam seperti sagu, kopi, ataupun ubi jalar hingga hasil bumi yang tersimpan seperti marmer, granit, kemudian emas dan perak yang salah satunya ditambang oleh perusahaan raksasa asal Amerika Serikat, Freeport-McMoRan.

Dalam ranah olahraga sendiri, terlebih sepak bola, tanah Papua juga turut menyumbang mutiara sepak bola terbaiknya untuk membela tim nasional hingga kini. Sebagai seorang Jakarta, saya ingat betul pernah menonton para legenda sepak bola Papua sekelas Ortizan Solossa, Gerald Pangkali, hingga Melky Pekey bermain di ibu kota.

Ya, begitulah mereka! Berkulit gelap, berambut hitam, berlari cepat dan berbadan tegap, ciri-ciri itu yang langsung dapat kita kenali baik di dalam maupun luar lapangan, belum lagi keramahan mereka.

Masih segar juga dalam ingatan saya banyak talenta Papua yang mondar-mandir Senayan ketika saya menonton timnas di Gelora Bung Karno mulai dari Ellie Aiboy hingga Boaz Solossa.

Kalau boleh dibilang para pemain Papua ini punya semangat merantau yang luar biasa. Hampir semua klub dari Sabang sampai Merauke pasti ada satu atau dua pemain dari Papua yang bermain di klub non-Papua. Hampir dibilang pasti ada pemain Papua di sebagian besar tim Liga 1 2019.

Arema FC misalnya, yang baru saja menjadi juara Piala Presiden 2019. Peran pace Ricky Kayame sebagai motor serangan dan top skor turnamen (bersama Manuchekhr Dzhalilov dan Bruno Matos) tak bisa begitu saja ditepikan. Penampilan Ricky menjadi angin segar bagi Arema yang tak bisa bertumpu pada penyerang asing di turnamen pra-musim.

Baca juga: Arema FC: 2018 Hampir Degradasi, 2019 Dapat Trofi

Lawan Arema di final Piala Presiden 2019, Persebaya Surabaya, juga tak kalah kental aroma Papuanya. Dilansir situs resmi klub persebaya.id di tim Bajul Ijo bercokol empat nama pemain Papua di segala ini.

Mereka adalah bek kaya pengalaman Ruben Karel Sanadi, gelandang energik Nelson Alom, dan dua penyerang muda Elisa Basna serta Osvaldo Haay.

Nama terakhir memang sudah tak asing lagi. Musim lalu karier pemain kelahiran Jayapura, 1 Mei 1997 melejit dan ia dianugerahi gelar Pemain Muda Terbaik Liga 1 2018. Osvaldo pun kerap mondar-mandir timnas usia muda mulai dari asuhan Luis Milla hingga teranyar bersama Indra Sjafri di dua ajang Piala AFF U-22 dan Kualifikasi Piala Asia U-23. Dirinya bahkan sempat diundang berlatih di klub Spanyol, CD Numancia beberapa waktu lalu.

Tak hanya Persebaya, Barito Putera yang diarsiteki pelatih kawakan Jacksen F. Tiago juga memiliki empat penggawa asal Papua. Friska Womsiwor, Donny Harold Monim, Andri Ibo, dan Yakob Sayuri yang sempat mencuri perhatian di gelaran Piala Presiden lalu bergabung di klub asal Banua itu musim ini.

Teranyar pergerakan klub-klub untuk menambang mutiara sepak bola Indonesia asal Papua juga dilakukan Persela Lamongan yang pada akhir April lalu resmi mengikat eks penyerang sayap Perseru Serui, Anis Nabar dan Delvin Rumbino. Keduanya sendiri bukan nama baru di kancah sepak bola nasional.

Jangan lupakan nama Yanto Basna yang hingga kini konsisten berkiprah di luar negeri selama beberapa tahun ke belakang. Yanto boleh berbangga hati, karena pace Papua yang satu ini dapat dibilang yang paling senior di antara para Garuda di tanah rantau seperti Saddil Ramdani (Pahang FA/Malaysia), Egy Maulana Vikry (Lechia Gdańsk) atau Ezra Walian (RKC Waalwijk/Belanda) dan Firza Andika (AFC Tubize/Belgia)

Meski boleh diakui karier Basna tak berjalan mulus di Thailand karena sejauh ini kurang mendapat menit bermain di klub barunya, Sukhothai FC. Hal ini murni karena pemain berusia 24 tahun tersebut kalah saing dengan bek asing lainnya, Joel Sami asal Prancis dan tentunya karena persaingan yang lebih ketat dibanding Thai League 2.

Persipura Jayapura

Menyisakan Persipura Jayapura sebagai tambang

Well, meski kata ‘tambang’ dan ‘mutiara’ terkesan tidak pas, whatever, tapi jelas kritik yang perlu diangkat terlepas dari fakta bahwa Persipura Jayapura kini menjadi satu-satunya klub asal Papua yang bertahan di Liga 1 2019.

Saya masih ingat ketika Persiwa Wamena menjadi salah satu kuda hitam dengan julukannya Badai Pegunungan Tengah, karena keangkeran Stadion Pendidikan. Bahkan salah satu kota yang menjadi favorit para wisatawan lokal dan mancanegara, Raja Ampat, pun pernah punya Persiram Raja Ampat dengan M’bida Messi sebagai salah satu pemain asing yang saya kenang.

Lantas ke mana mereka semua? Merger… merger… dan lama-lama hilang dan lenyap ditelan akuisisi.

Persiwa yang tak lagi Wamena harus direlokasi ke Jawa Barat, Persiram kini menjadi klub milik korps angkatan yang hobinya berpindah kandang dan nama. Teranyar ada Perseru Serui yang direlokasi ke Lampung dan berganti nama menjadi Badak Lampung FC.

Baca juga: Langkah Salah yang Diambil Perseru Badak Lampung FC

Kasus terakhir sedikit disayangkan, pada tautan tulisan saya lainnya di atas saya menceritakan bagaimana tidak sopannya manajemen mengganti identitas nama klub dan memutus kontrak para pemain lama. Di kemudian hari PSSI pun melalui Sekjen-nya, Ratu Tisha Destria, ikut menyemprot klub dengan tidak mengizinkan mereka menggunakan logo baru meski sudah dibeli salah satu pengusaha kawakan penggila bola, Marco Garcia Paulo.

Maka sangat disayangkan ketika Persipura Jayapura kini menjadi satu-satunya klub asal Papua yang sehat secara finansial dan mumpuni secara sarana-prasarana. Tak elok kiranya dengan segudang bakal calon mutiara sepak bola dari tanah Papua, Persipura dibiarkan menjadi satu-satunya penambang atau bahkan sekadar pemoles akhirnya sebelum didistribusikan ke klub-klub lain di luar Papua.

Atas nama kompetisi saya kira perlu meningkatkan sepak bola Papua, dan infrastruktur juga menjadi salah satu yang perlu. Stadion Papua Bangkit yang dibangun dalam rangka PON 2020 di Papua menjadi langkah kecil perbaikan sepak bola di Papua. Apalagi Persipura, si penambang itu, punya sejarah dan prestasi mentereng di kancah Asia.

Baca juga: Stadion Papua Bangkit: Proyek Ambisius untuk Menemani Kemegahan Gelora Bung Karno di Indonesia

Maka bolehlah saya menitip doa dan harap bagi PSBS Biak dan Persewar Waropen agar cepat-cepat naik kasta ke Liga 1 dan agar mereka juga tak terlena sehingga haknya diambil para pengusaha berkantong tebal. Karena niscaya dari dua klub Papua yang berlaga di Liga 2 2019 itulah para mutiara sepak bola Indonesia juga ditambang, tak hanya untuk Persipura semata tetapi juga untuk meramaikan persepakbolaan di klub-klub non Papua lainnya.

Bolehlah juga saya, dan kita masyarakat Indonesia, berterima kasih karena Papua tak hanya menjadi tanah terjanji yang berlimpah susu dan madu tetapi juga menjadi surga para pesepakbola berbakat, para atlet berbakat, dan dari ujung timur Indonesia kelak hadir talenta-talenta terbaik di segala bidang yang siap mengabdi untuk Indonesia!

Terlebih agar kita tak lupa bahwa Papua adalah Indonesia, dan Indonesia punya Papua!