Ricardo Kaka adalah sosok pesepakbola yang melegenda di tanah Brasil. Sudah meraih berbagai trofi baik level individu atau level klub, bermain di berbagai klub raksasa di Benua Biru, hingga sering memperkuat tim nasional Brasil di berbagai event internasional.
Maka tak heran banyak anak-anak Brasil mulai dari pusat real estate di ibu kota Brasilia hingga sudut-sudut sempit favela Rio de Janeiro, mengidolai dia dan ingin mengikuti jejaknya. Dari berkarier dan meraih trofi di klub-klub ternama, hingga memakai seragam biru kuning kebanggaan Selecao.
Mungkin hal itulah yang dirasakan oleh salah satu anak kecil asal Sao Paulo, Lucas Piazon, yang menyaksikan Kaka sedang berada di puncak permainannya dengan seragam AC Milan dan timnas Brasil, baik melalui kotak televisi ataupun secara langsung di tribun stadion.
Kita bisa membayangkan rasa kagum yang tergambar di wajahnya saat melihat sang idola bermain-main dengan bola di kakinya dan menerobos pertahanan lawan, hingga akhirnya mencetak gol indah. Piazon muda pun memutuskan untuk hidup dengan bermain sepak bola seperti Kaka.
Piazon mulai belajar sepak bola di akademi Coritiba, lalu pindah ke akademi Atletico Paranese. Kemudian Sao Paulo, klub yang berasal dari kota kelahiran Piazon, memutuskan merekrutnya. Selama bermain bersama tim muda Tricolor (julukan Sao Paolo), anak dari pasangan Antonio Carlos dan Marizabel Domingues ini harum namanya hingga seantero negeri, karena memiliki prospek menjanjikan hingga dipanggil tim nasional Brasil U-15.
Banyak pihak meyakini sang pemuda sebagai ‘reinkarnasi’ Ricardo Kaka. Selain dari kemampuan yang bisa bermain sebagai playmaker dan dibekali visi bermain yang apik, mereka berdua sama-sama pernah berlatih di akademi Sao Paulo, salah satu akademi sepak bola terbaik di Brasil yang menempa pemain-pemain terbaik Negeri Samba seperti Marcos Cafu, Julio Baptista, dan Casemiro.
Selain itu, similaritas dari mereka berdua, meskipun tidak secara langsung berhubungan dengan sepak bola, adalah berbeda dari kebanyakan pesepak bola Brasil yang masa kecilnya hidup di bawah garis kemiskinan dan melatih kemampuan mereka di sepak bola jalanan yang keras. Baik Kaka dan Piazon berasal dari keluarga mapan dengan finansial yang berkecukupan.
Piazon pun belajar sepak bola melalui futsal pada awalnya. Dari latar belakang, belajar sepak bola di akademi yang sama, hingga gaya bermain yang mirip, membuat publik Brasil tentu menaruh harapan di pundak Piazon agar bisa menggantikan peran sang legenda di timnas dan membawa Brasil meraih gelar Piala Dunia setelah terakhir kali pada tahun 2002.
Tentu saja dengan prospek seperti itu dia mulai diincar oleh beberapa klub papan atas Eropa, hingga akhirnya sang pemain memutuskan berlabuh ke Chelsea dengan biaya transfer senilai 7,5 juta euro. Sebuah angka yang tidak murah untuk seorang pemain muda yang belum genap berumur 20 tahun dan belum pernah bermain untuk tim senior sekalipun.
Tentu saja dengan transfer ini para pendukung The Blues berharap bahwa Piazon muda bisa memimpin lini tengah Chelsea ke depannya, menggantikan para pemain seperti Frank Lampard dan lainnya.
Setelah kurang lebih semusim menghabiskan waktu di akademi Chelsea dan hanya bermain sekali di tim utama, pihak klub memutuskan untuk meminjamkan Piazon ke klub Spanyol, Malaga, pada awal tahun 2013. Meskipun bersama Malaga ia berhasil melaju ke babak perempat-final Liga Champions sebelum disingkirkan secara dramatis oleh Borussia Dortmund, Piazon hanya tampil sebanyak 9 kali sebagai pemain pengganti dari total 14 kali penampilan.
Setelah itu Piazon dipinjamkan lagi ke Vitesse Arnhem pada musim 2013/2014 yang merupakan “feeder club” dari Chelsea. Banyak dari pemain muda Chelsea yang disekolahkan di sana demi mendapatkan jam terbang dan karena atmosfer klub Vitesse dan Liga Belanda yang ramah terhadap pemain muda.
Selain Piazon, Matt Miazga, Bertrand Traore, dan Dominic Solanke adalah beberapa pemain (juga mantan) yang pernah bermain di klub asal Arnhem tersebut. Bersama klub Belanda tersebut Piazon tampil sebanyak 31 kali, mencetak 11 gol dan 8 asis, sekaligus mengantar Vitesse meraih posisi ke-enam pada musim tersebut.
Namun penampilan apiknya selama di Belanda tidak berhasil meyakinkan manajemen Chelsea untuk membuat Piazon bergabung kembali bersama tim utama. Berkali-kali dia dipinjamkan, berkali-kali ia harus rela berpindah liga dan negara, dan berkali-kali pula ia harus berusaha lagi beradaptasi dengan lingkungan, bahasa, maupun gaya permainan yang baru dan berbeda.
Eitrancht Frankrut (Jerman), Reading (Inggris), Fulham (Inggris), dan Chievo Verona (Italia) adalah tim-tim yang Piazon (terpaksa) harus bergabung karena persaingan di skuat Chelsea yang sudah sesak dan selalu dihuni pemain bintang dan dalam usia emas.
Bagi pemain muda, dipinjamkan ke klub lain memang adalah salah satu jalan untuk meningkatkan kemampuan maupun mental, dengan cara bermain di kompetisi senior lebih sering atau yang biasa disebut dengan jam terbang. Sesuatu yang tidak bisa didapatkan di tim induk atau asal.
Namun jika sang pemain terlalu sering dipinjamkan ke klub lain bahkan tiap musim berganti tim dan liga, maka itu akan berpengaruh ke psikis dan kepercayaan diri pemain yang merasa bahwa tim asalnya tidak mempercayai dirinya, sehingga ketika suatu saat kembali ke tim asal, sering kali pemain tersebut menjadi tidak percaya pada kemampuannya dan terpinggirkan.
Bahkan kemampuan pemain mungkin akan tidak sama seperti dulu (kemungkinan besar mengalami penurunan) jika terus-terusan dipinjamkan ke tim lain yang berbeda-beda, karena satu tim dengan tim yang lain memiliki lingkungan maupun taktik yang berbeda, sehingga para pemain harus beradaptasi dengan cepat.
Bukan rahasia lagi jika Chelsea dikenal sebagai klub yang tidak ramah terhadap dengan pemain muda. Demi meraih prestasi dalam waktu singkat, klub asal London tersebut rela berinvestasi besar dengan membeli pemain-pemain bintang yang bisa memberi dampak instan, yang tentu saja berpengaruh terhadap pemain mudanya yang rela terpinggirkan dan dipinjamkan ke klub lain.
Padahal, Chelsea sendiri dikenal sebagai klub yang memiliki sistem pengembangan dan perekrutan bibit-bibit pemain muda yang termasuk nomor satu di dunia.
Hingga saat ini, setelah kuraang lebih 9 tahun perantaunnya ke tanah Britania, Lucas Piazon masih belum mendapat kepercayaan Chelsea meskipun pelatih Chelsea datang silih berganti. Mulai Roberto Di Matteo, Rafael Benitez, Jose Mourinho, Guus Hiddink, dan Antonio Conte, meminggirkan pemain yang saat ini berusia 25 tahun tersebut.
Di musim ini, saat pemain sentral mereka, Eden Hazard, pindah ke Real Madrid, Frank Lampard lebih percaya kepada pemain-pemain seperti Mason Mount dan Christian Pulisic, yang lebih muda dari Piazon. Bahkan di saat Chelsea terkena hukuman dilarang berkecimpung di bursa transfer dengan merekrut pemain per musim 2019/2020, kondisi ini seharusnya bisa menjadi kesempatan bagus bagi Piazon, karena saat itu tenaganya masih bisa dibutuhkan untuk kedalaman skuat.
Baca juga: Sepak Bola Menyenangkan ala Eden Hazard
Tentu sebuah skenario yang tragis. Di saat pemain-pemain yang satu generasi seperti Neymar, Alex Sandro, dan Casemiro berada di fase emas dengan bermain secara konsisten di klub papan atas Eropa, Lucas Piazon harus rela duduk di rumahnya melihat pemain-pemain Chelsea berlari demi meraih kemenangan di kompetisi yang dianggap glamor di dunia, saat namanya justru tidak masuk di daftar pemain cadangan.
Bahkan pemain-pemain tersebut mendapat panggilan negara bersama timnas Brasil untuk tampil di ajang akbar internasional seperti Piala Dunia dan Copa America. Sesuatu yang diimpikan oleh setiap pesepak bola Brasil termasuk Piazon, untuk bisa bertanding dengan seragam biru-kuning di badan dan menorehkan nama mereka dengan prestasi bersama para legenda seperti Ronaldo, Nelson Dida, dan Pele.
Kini sang Kaka baru, bersama pesepak bola Brasil lain yang dianggap memiliki prospek cerah namun akhirnya menghilang seperti Ganso ataupun Anderson, sudah dilupakan oleh orang-orang bahkan oleh pendukung Chelsea dan rakyat Brasil sendiri.
Tenggelam di bawah bayang-bayang pemain-pemain Chelsea dan para pemain Samba lain yang lebih menjanjikan. Jalan Piazon yang dulu terang benderang dan lurus, berganti menjadi terjal dan diselimuti kegelapan. Namun di setiap kegelapan tentu ada cahaya terang meskipun hanya setitik saja. Semoga.
*Penulis adalah seorang desainer grafis asal Yogyakarta. Bisa dihubungi di akun Twitter @pradipta_ale dan Instagram @pradiptale untuk melihat karya.