
Kabar mundurnya Perseru Serui dari Liga 1 karena faktor finansial, membuat wacana mengubah format liga ke dua wilayah kembali menguat. Dengan luasnya wilayah Indonesia, format dua wilayah termasuk opsi yang memungkinkan terjadinya penghematan biaya saat bertandang.
Tapi apakah format itu memang yang terbaik di Liga Indonesia? Opini berikut ini bisa jadi bahan pertimbangan.
Faktor geografi
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki wilayah yang cukup luas terbentang dari Sabang hingga Merauke dan dari Miangas hingga pulau Rote. Bahkan saking luasnya wilayah Indonesia, membuat Indonesia terbagi dalam 3 zona waktu.
Melihat kondisi geografi yang demikian itu, maka kompetisi sepak bola di Indonesia dalam hal ini Liga 1 akan lebih kompatibel jika digunakan format dua wilayah yang akan berimplikasi positif, khususnya terkait kondisi ekonomis klub. Dengan format kompetisi dua wilayah, jumlah pertandingan tentunya akan lebih sedikit dan jarak tempuh relatif juga lebih dekat. Pengeluaran klub pun akan dapat ditekan seminimal mungkin.
Untuk komparasi, Amerika Serikat sebagai negara yang memiliki wilayah yang cukup luas sebagaimana Indonesia juga menggunakan format dua wilayah bagi liga utama mereka yakni Major League Soccer. Apalagi ditinjau dari segi historis, format dua wilayah di Liga Indonesia juga bukanlah hal yang baru. Bahkan lebih dahulu digunakan dari pada format liga full season yakni di era perserikatan, yang kemudian dilanjutkan di era Liga Indonesia musim 1995-2002, dan terakhir digunakan pada musim 2014 silam.
Faktor ekonomi
Sepak bola Indonesia masih merangkak untuk menjelma sebagai lahan industri sebagaimana yang terjadi di Eropa dan beberapa negara Asia Timur seperti Cina dan Jepang. Di sana, perputaran uang dan bisnis menjadi komoditas pokok dalam sepak bola.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa kondisi ekonomi klub-klub di Indonesia relatif belum stabil bahkan kembang kempis. Hal ini dapat ditinjau setidaknya dalam dua hal.
Pertama, dari durasi kontrak pemain yang relatif hanya satu musim. Memang ada beberapa klub yang berani mengontrak pemainnya lebih dari satu musim, namun hanya sebagian kecil klub saja yang melakukannya. Kedua, narasi-narasi mengenai penunggakan gaji pemain yang masih menjadi isu kontemporer. Dua hal tersebut sudah lebih dari cukup untuk mengatakan bahwa kondisi ekonomi klub-klub di Indonesia relatif belum stabil.
Oleh karenanya, dengan penggunaan format dua wilayah bagi Liga 1 tentu akan berimbas positif dalam menekan anggaran keuangan klub sekaligus menstabilkan kondisi ekonomi klub, karena jumlah pertandingan dan jarak tempuh menjadi lebih sedikit dan relatif lebih dekat.
Baca juga: Untung-Rugi Pengurangan Klub di Liga 1 2019
Faktor keseruan
Sebagai konsekuensi digunakannya format dua wilayah, maka liga akan menghadirkan fase knockout. Di sinilah pertandingan akan menjadi seru, menegangkan, dan memacu adrenalin, khususnya di partai semi-final dan final. Dapat kita lihat dari musim 2014 yakni musim terakhir ketika liga kasta tertinggi Indonesia menggunakan format dua wilayah, yang melahirkan pertandingan-pertandingan epic dan memacu adrenalin pada babak knockout
Contohnya semifinal antara Persib vs Arema, dan partai final antara Persib vs Persipura yang berakhir dengan adu penalti. Format dua wilayah dapat menciptakan partai semi-final dan final, dan kompetisi Liga 1 akan terlihat lebih seru, menegangkan, sekaligus memacu adrenalin bagi para penonton dan penikmat sepak bola. Dengan catatan, tidak ada kerusuhan suporter maupun pemain, ya…
Faktor timnas
Dengan format dua wilayah, maka jumlah pertandingan ototmatis akan jauh lebih sedikit dibanding menggunakan format full season. Hal ini akan berimbas pada durasi berjalannya kompetisi yang lebih pendek, sehingga banyak tersisa waktu bagi timnas untuk melakukan persiapan. Baik itu pelatnas maupun uji coba, dalam menghadapi kejuaran seperti kualifikasi Piala Asia, Piala AFF, kualifikasi Piala Dunia, SEA Games, dll.
Selain itu, dengan durasi kompetisi yang lebih pendek, maka kecil kemungkinan terjadi benturan kepentingan antara agenda timnas degan agenda klub mengenai pemilihan pemain untuk timnas, sebagaimana yang sering terjadi beberapa tahun terakhir ini saat format kompetisi menggunakan full season.Bahkan pada Piala AFF 2016, pelatih timnas hanya berhak maksimal memilih dua pemain ke timnas bagi setiap klub Liga 1 lantaran terjadi benturan kepentingan secara bersamaan antara timnas dan klub. Sungguh miris.
Keempat faktor di atas adalah landasan argumentasi saya untuk mengatakan bahwa format kompetisi dua wilayah untuk Liga 1 lebih kompatibel dan memiliki dampak yang lebih positif dari pada format kompetisi full season.
Memang format dua wilayah juga memiliki beberapa kelemahan, misalnya kontrak pemain akan cenderung lebih pendek, kemudian sisi durasi hiburan sepak bola juga lebih pendek yang kemungkinan berimplikasi terhadap menurunnya minat sponsor, para pemain yang terpantau ke timnas cenderung pemain-pemain yang klubnya maju ke fase gugur. Hal ini tentunya dapat menciptakan sebuah kondisi kesenjangan tersendiri bagi pemain.
Meskipun begitu, di balik sisi-sisi kelemahan tersebut setidaknya format kompetisi dua wilayah memiliki nilai mudharat yang lebih kecil daripada format kompetisi full season, dengan empat dasar argumentasi yang saya jelaskan diatas.
Menurut hemat saya, sangat penting bagi PSSI untuk mengkaji guna menerapkan format kompetisi dua wilayah kembali. Memang format dua wilayah bukan format yang sempurna tanpa cela, namun ketika kita dihadapkan dengan dua pilihan yang sama-sama tidak sempurna, maka seyogyanya kita memilih yang sisi negatifnya paling sedikit.
Bagaimana menurutmu?