Analisis

Untung-Rugi Pengurangan Klub di Liga 1 2019

Lampu hijau sepak mula digelarnya kompetisi kasta tertinggi Indonesia sudah mulai digaungkan di Kongres tahunan PSSI Minggu (20/1) lalu. Namun jelang bergulirnya Liga 1 2019, wacana pengurangan kontestan pun menyeruak. Lantas bagaimana untung-rugi pengurangan klub di Liga 1 2019 nanti?

Liga 1 2019 dijadwalkan akan digelar pada awal Mei 2019 usai Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden yang berakhir 17 April mendatang. Molornya waktu kompetisi membuat Liga 1 kemungkinan selesai di tahun depan, apalagi Juni sudah memasuki bulan puasa dan adanya SEA Games 2019 di Manila, November nanti.

Di tengah polemik jadwal liga yang tak karuan, kembali muncul satu wacana terkait dengan jumlah kontestan Liga 1 2019 mendatang. Usut punya usut akan ada pengurangan klub di kompetisi kasta tertinggi, dan tak tanggung-tanggung bahkan dipangkas hingga kurang lebih setengahnya.

Wacana ini mencuat setelah BOPI (Badan Olahraga Profesional Indonesia) melalui ketuanya, Richard Sambera, menegaskan akan memperketat aturan untuk verifikasi klub. “Komitmennya jelas, kalau hanya sepuluh klub yang layak tampil di kompetisi. Ya, itu saja,” ujar Richard sebagaimana dikutip dari jawapos.com.

Sepuluh klub yang dimaksud sendiri adalah Arema FC, Bali United, Barito Putera, Bhayangkara FC, Borneo FC, Madura United, Persib Bandung, Persija Jakarta, Persipura Jayapura dan PSM Makassar. Mereka adalah tim-tim yang memiliki lisensi profesional dari AFC selaku otoritas sepak bola tertinggi di Asia.

Baca juga: Bedah Materi Pemain Asing: Bali United, Madura United. Arema FC, dan PSM

Apalagi belakangan PT. Liga Indonesia Baru juga tak mempermasalahkan pernyataan Richard. “Karena suatu kompetisi, liga dan juga klubnya menurut undang-undang harus melalui kami untuk mendapatkan verifikasi untuk berkompetisi,” ujar mantan perenang nasional itu pada acara di Narasi TV pada 11 Januari lalu.

Lantas bagaimana nasib sisa klub yang sampai saat ini belum memiliki lisensi pro dari AFC, mulai dari Perseru Serui yang masih bermasalah dengan penerangan stadion Marora hingga dua klub promosi, PSS Sleman dan Kalteng Putra, yang ikut masuk arus isu match fixing akhir-akhir ini?

Bicara keuntungan sepuluh tim di Liga 1 2019 tentu PT. LIB selaku operator tak akan dipusingkan dengan jadwal kompetisi. Berkurangnya jumlah klub tentu akan membuat jeda antar-pertandingan tidak akan semepet di musim-musim sebelumnya. Jeda yang cukup akan membuat masa pemulihan pemain dan klub, terlebih yang berpergian jauh, lebih maksimal.

Berkurangnya jumlah klub juga akan membuat jadwal bersinergi dengan jeda internasional, sehingga tak akan ada lagi jadwal bentrok dan timnas bisa tampil lebih prima. Klub tak perlu khawatir dengan siaran langsung di televisi swasta seperti yang pernah dikeluhkan presiden Madura United, Achsanul Qosasih, beberapa waktu lalu.

Namun kemungkinan masalah besar akan dihadapi mulai dari pendapatan liga dan terlebih klub-klub yang tak memenuhi lisensi tapi sudah terlanjur mengontrak pelatih dan pemain dari dalam maupun luar negeri.

Dampak lebih besar dari kerugian ini tentu komposisi dan perombakan struktur liga ke depannya. Apakah akan bertahan dengan 10 klub di musim-musim selanjutnya, atau adakah perubahan di kemudian harinya.

Akan lebih elok jika delapan klub Liga 1 lainnya sesegera mungkin mengurus hal-hal tetek-bengek agar dapat menyadang status profesional dari AFC sebelum Liga 1 benar-benar digulirkan. Hal ini semata-mata bukan hanya untuk semusim ke depan tetap untuk keberlangsungan hidup klub di masa yang akan datang.

Baca juga: PS TIRA dan Tugas Berat Musim Depan

Terbanyak di Asia Tenggara

Dengan luas wilayah yang terbesar di Asia Tenggara, maka tak heran jika liga Indonesia menjadi kompetisi dengan jumlah kontestan terbanyak di Asia Tenggara. Jumlah klub Liga 1 2018 lalu adalah 18 klub, bandingkan dengan kompetisi lainnya di Asia Tenggara.

Thailand baru-baru ini mereduksi jumlah klub yang tampil di Thai League 1 dari 18 klub menjadi 16 klub. Federasi sepak bola Thailand menganggap adanya 18 klub membuat jumlah pertandingan dalam semusim terlalu banyak, belum lagi mereka memiliki dua kejuaraan nasional: Thai FA Cup dan Thai League Cup.

Selain itu dengan berkurangnya jumlah peserta di Thai League 1 diharapkan akan membuat timnas Thailand di berbagai level memiliki kesempatan lebih untuk berlatih dan bertanding saat jeda internasional tiba.

Sementara itu Liga Super Malaysia juga berjumlah lebih sedikit dari Thai League 1 yakni 12 klub sejak musim 2013. Padahal di musim 2009-2012 liga domestik di Negeri Jiran ini sempat berisi 14 klub dan menjadi yang terbanyak dalam sejarah liga yang berdiri sejak 14 tahun lalu, menggantikan Liga Primer Malaysia yang kini jadi kompetisi kasta kedua.

Baca juga: Best XI Liga Super Malaysia 2018

Namun yang patut diapresiasi adalah setiap musim 12 klub peserta liga harus lolos verifikasi dari FAM dan AFC. Tak main-main, musim ini Felcra FC yang seharusnya lolos bersama Felda United tak bisa tampil di Liga Super Malaysia akibat pailit.

Pasalnya pihak Felcra sendiri dinilai tak menyanggupi biaya untuk mengarungi musim 2019 di Liga Super Malaysia. Bahkan ketua Felcra, Datuk Mohd Nageeb Abdul Wahab, sempat membuat pernyataan bahwa David Laly dan kolega tak cukup memberikan keuntungan kepada manajemen sekalipun finis sebagai runner-up di musim 2018.

Kemudian V.League 1 (14 klub) dan Singapore Premier League (9 klub) punya cara sendiri untuk menjaga kualitas klub. Keduanya melakukan sistem promosi-degradasi seminimal mungkin yakni hanya 1 klub terbawah yang terdegradasi digantikan tim juara liga divisi kedua di musim selanjutnya.

Lantas bagaimana tanggapan kalian dengan wacana pengurangan klub di Liga 1 2019 nanti jika benar-benar terwujud?