Suara Pembaca

Johan Cruyff, Seorang Filsuf di Lapangan Hijau

“Kita bermain sepak bola dengan kepala, kaki kita hanya membantu.”

“Bermain sepak bola sangat sederhana, namun memainkan sepak bola sederhana adalah hal tersulit yang pernah ada.”

“Dalam timku, penjaga gawang adalah penyerang pertama, dan penyerang adalah pemain bertahan pertama.”

“Kualitas tanpa hasil tidak ada artinya. Hasil tanpa kualitas membosankan.”

Di atas adalah beberapa kutipan seorang Johan Cruyff “anak kandung” Total Football-nya Rinus Michels, sang filsuf sepak bola, sosok revolusioner, serta legenda Ajax dan Barcelona.

Gaya bahasanya memang identik dengan skill sepak bolanya yang ibarat lukisan Picasso atau Turner yang menghasilkan kombinasi teknik revolusioner dan intuisi artistik pada masanya.

Di antara pesepak bola dekade 70-an yang kasar dan tak ragu meludah, menghardik, bahkan menginjak lawan, Cruyff bak titik tengah di antara Turner dan Picasso, dua seniman penghasil karya bernilai artistik tinggi yang revolusioner.

Baca juga: Memori Keabadian Johan Cruyff

Cruyff Turn suatu gerakan ikonik maestro yang dahulu terkesan sulit dilakukan, tapi kini ditiru hampir nyaris semua bintang sepak bola. Suatu gerakan yang mengejawantahkan dirinya dalam perwujudan visi dan skill sang filsuf yang paripurna.

Seumpama sepak bola adalah suatu seni, atau setidaknya memiliki elemen-elemen artistik, Cruyff Turn adalah suatu bukti bahwa terdapat korelasi antara kontrol fisik dan kreativitas. Cruyff dikenal tak pernah merendah, suatu kesempatan pernah berkata “di satu sisi, saya mungkin kekal”.

Ada yang puitis dalam fakta bahwa seorang pemenang macam Cruyff tak akan pernah memenangkan trofi Piala Dunia bersama timnas Belanda. Setiap cerita yang legendaris perlu sebuah elemen yang tragis, begitu pula semua bentuk seni perlu kesedihan, kemarahan bahkan kekacauan di dalamnya. Semua itu didapatnya kala merajut karier di timnas.

Benar, saya lahir terlampau terlambat untuk menyaksikan Cruyff dengan Total Football-nya menyihir dunia, dan saya pun seringkali salah kaprah dalam menerjemahkan Total Football, dan mengkerdilkannya sebagai “gaya main sepak bola ofensif”. Padahal Total Football jauh lebih menyeluruh. Total Football juga melingkupi pemahaman akan ruang dan sistem bertahan yang juga menuntut seluruh pemainnya untuk berkontribusi.

Baca juga: Berterima Kasih pada Italia dan Belanda di Piala Dunia 2018

Simak apa kata Cruyff menyoal bagaimana sebuah tim (atau seorang pemain) dalam bertahan. Dalam pandangan Cruyff, bagaimana sebuah tim bertahan bukan hanya terpaku pada kualitas pemain-pemain di lini belakang, tetapi juga bagaimana sebuah tim menjaga bentuk formasi dan jarak antar-pemain.

Total Football tadi, sebagai sebuah konsep, diterjemahkan ke mana-mana, berubah menjadi bentuk yang berbeda-beda, dan bagian-bagiannya hidup dalam berbagai sistem. Pada Piala Dunia 1974, ketika sekelompok pemain Belanda bergerak secara serentak dan berbarengan mengurung pemain lawan yang menguasai bola, kita telah melihat bentuk awal dari sebuah pressing ketat. Kini, kita bisa melihatnya pada gegenpressing atau heavy metal football-nya Juergen Klopp, pressmachine-nya Roger Schmidt, atau pada gaya main tim-tim ala Marcelo Bielsa.

Dan semakin saya membaca berbagai pemikirannya, pahamlah saya bahwa Cruyff mampu menjelaskan segala sesuatu yang kelihatannya rumit dengan amat mudah dan lugas. Oleh karenanya, kekaguman banyak orang padanya terjustifikasi dengan sendirinya.

Miguel Delaney, salah seorang penulis pernah menyebut Cruyff sebagai David Bowie-nya dunia sepak bola. Saya tidak tahu pasti apa yang membuatnya melabeli Cruyff demikian. Tapi, entah bagaimana, saya merasa bisa melihat korelasinya.

Bowie hidup sebagai musisi pada zaman yang jauh berbeda dengan masa sekarang. Musik dan tampilannya kemudian bertransformasi menjadi beragam bentuk seiring bergantinya dekade. Pada akhirnya, musik Bowie akhirnya melampaui zaman, turun temurun sebagai kaset berdebu dari bapak ke anak, dan akhirnya sampai ke telinga bocah-bocah yang barangkali baru menjajal masuk studio.

Kini, ada dua David Bowie di atas sana. Tapi, hanya ada satu Johan Cruyff -ia menjadi dirinya sendiri dan Bowie sekaligus.

Baca juga: Pemantik Zaman Baru Barcelona