Eropa Spanyol

Pemantik Zaman Baru Barcelona

Angin perubahan berhembus perlahan di sekitar Camp Nou. Geraknya belum sampai terasa di permukaan kulit, namun ia ada. Angin perubahan berhembus perlahan di sekitar Camp Nou. Gerakannya perlahan saja, menghimpun kekuatan, namun ia ada. Angin perubahan perlahan berhembus di sekitar Camp Nou, siap menyapu tuan rumah yang tak siap.

Kepindahan Neymar ke Paris Saint-Germain hanya salah satu petunjuk dari angin perubahan. Kepindahan yang membuat itu bukan pemantik, hanya akibat saja. Bukan sebab, karena ini kompleks. Sebuah zaman baru harus sudah disiapkan. Jika terlambat, Barcelona akan memasuki periode penuh tanda tanya, penuh keraguan.

Setidaknya ada beberapa petunjuk dari angin perubahan. Berikut dua di antaranya.

Senjakala para tulang punggung

Barcelona begitu dominan ketika anak-anak muda dari La Masia mentas, masuk ke tim utama. Dari posisi kiper, hingga juru gedor. Komplet, dari bek, hingga gelandang kreatif. Mulai dari Victor Valdes yang sembrono namun tak jarang superior, hingga Lionel Messi yang agung. Dari Carles Puyol yang garang, hingga Xavi Hernandez dan Andres Iniesta yang elegan.

Sejak mereka mengambil alih posisi utama dari para pendahulu, Barcelona memasuki periode penuh kebahagiaan. Segala trofi pernah mereka keruk habis. Sampai-sampai, tiga pemain akademi mereka mendominasi gala Ballon d’Or. Messi, Xavi, dan Andres Iniesta berdiri di panggung dengan siluet Johan Cruyff tersenyum manis di belakang mereka.

La Masia, Messi, Iniesta, dan Xavi, ketiganya punya dasar ilmu yang sama, yaitu visi Cruyff. Pun dalam diri pemain seperti Sergio Busquets, Pedro Rodriguez, hingga Sergi Roberto yang berbeda-beda posisi, visi Cruyff adalah sol sepatu mereka. Membentuk cara pandang pemain-pemain Spanyol ini tentang makna bermain sepak bola yang agung.

Dari setiap pemain yang menginjakkan kaki ke rumput Camp Nou yang hangat di bulan Agustus, Barcelona bergerak sebagai sebuah kesatuan yang dibangun di atas visi jelas. Dan di atas dek kapal megah itu, Pep Guardiola berdiri dengan mata memandang jauh ke depan. Menggerakkan kapal mewah Blaugrana seusai visi Cruyff yang dijiwai.

Waktu adalah perjalanan abadi. Selain waktu, semuanya fana. Tak terkecuali para penggawa, para jenderal pembawa panji oranye Johan Cruyff. Valdes, Xavi, dan Pedro hengkang. Puyol pensiun dengan iringan sendu haru. Sergi Roberto tak mendapat kepercayaan yang selayaknya dan si metronom yang ajaib itu, Sergio Busquets, mengalami penurunan performa.

Tinggal Messi dan Iniesta, yang memanggul panji kebesaran itu. Menyeret Barcelona untuk terus berlari. Mengasuh dua penyerang hebat dalam diri Neymar dan Luis Suarez. Meski Messi dan Suarez seumuran, semua orang pasti paham siapa yang menjadi pusat Barcelona. Dan di usia 30 tahun, di gerbang penghujung karier, Barcelona masih akan berusaha memerah tuah Messi.

Bagi Iniesta sendiri, di usia 33 tahun, ia bukan lagi gelandang kreatif yang bisa bermain di banyak lini. Usia membuat otot-ototnya semakin rapuh, kehilangan daya pegas yang dahulu membuatnya sulit dihajar tekel lawan. Iniesta bermain dengan kematangan, tak lagi soal fisik, tetapi berusaha lebih pintar ketimbang lawan.

Dan satu hal yang perlu menjadi waspada, kepergian Xavi tak pernah bisa ditanggulangi. Dari Messi, Iniesta, hingga Busquets, harus mengubah cara bermain mereka untuk menutup lini tengah yang kehilangan sang pilot. Usia yang semakin memburu, di awal senja itu, Barcelona akan menghadapi kesulitan baru, setidaknya dalam tiga musim ke depan.

Dari luar lapangan pun, dari meja manajemen, justru kesalahan yang menjadi warna tunggal.

Previous
Page 1 / 2